Penguatan Basis Komunitas Pedesaan
Tyas Retno Wulan ; Dosen Jurusan Sosiologi FISIP,
Kepala
Pusat Penelitian Gender, Anak, dan Pelayanan Masyarakat LPPM
Universitas
Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto
|
SUARA MERDEKA, 13 Juni 2015
KETERUNGKAPAN kasus
perdagangan manusia (human trafficking)
yang menimpa 10 perempuan berusia 18-20 tahun asal Banyumas, Banjarnegara,
dan Cilacap yang dipekerjakan sebagai wanita penghibur di Batam (SM, 29/5/15)
membuka mata bahwa fenomena itu sangat dekat dengan lingkungan kita.
Iming-iming
memperbaiki kehidupan dengan imbalan gaji tinggi membuat mereka (dan orang
tuanya) lupa bahaya yang mengancam keselamatan, harga diri, dan nyawa. Kasus
itu juga menambah daftar panjang laporan tingginya angka trafficking di
Indonesia.
International
Organization for Migration mencatat tahun 2014 sedikitnya 7.193 orang
Indonesia, 82% di antaranya perempuan, menjadi korban. Migrant Care
memperkirakan 43% buruh migran menjadi korban perdagangan manusia.
Kemenlu AS merilis
data saat ini Indonesia menduduki posisi tier 2. Tier adalah peringkat suatu
negara dalam upayanya memerangi perdagangan manusia. Meskipun hal itu lebih
baik dibanding tahun 2001 yang menempati posisi tier 3, kondisi itu
menunjukkan pemerintah kita belum bisa memenuhi standar minimal Trafficking Victims Protection Act
(TVPA), atau regulasi proteksi korban perdagangan manusia. Kendati
realitasnya kita telah memiliki UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU tentang PTPPO).
Selain itu, pemerintah
tidak menunjukkan upaya kuat untuk menyelidiki, mengadili, dan menghukum
pelaku, termasuk aparat penegak hukum yang terlibat. Pengimplementasian UU
itu, terutama penegakan hukum bagi pelakunya, masih jauh panggang dari api.
Padahal hingga saat ini bekerja di luar negeri masih jadi impian banyak
perempuan di pedesaan, sebagai katup pengaman ekonomi yang sangat
menjanjikan.
Fenomena itu
mengisyaratkan perlunya mekanisme strategis untuk memberikan informasi kepada
calon tenaga kerja dan keluarganya tentang migrasi yang aman guna mencegah
trafficking.
Kajian Ecosoc (2007)
dan Wulan (2010) menunjukkan bahwa 80% persoalan yang dialami buruh migran
kita di luar negeri justru berawal dari dalam negeri melalui pemalsuan
dokumen. Penelitian Wulan (2012) juga mengindikasikan keminiman informasi
migrasi yang diterima masyarakat ataupun pemerintah desa. Buruh migran dan
keluarganya memperoleh informasi hanya dari calo atau sponsor. Padahal calo
atau sponsor memiliki banyak trik untuk merayu calon korban supaya mau
bekerja ke luar negeri.
Penelitian Wulan
(2010) di Banyumas dan Wonosobo menemukan fakta bahwa keberangkatan ke luar
negeri bergantung dari informasi dan sepak terjang calo.
Deteksi Awal
Tidak tertutup
kemungkinan calo mengupayakan segala cara untuk bisa memenuhi persyaratan
dokumen yang dibutuhkan, termasuk memalsu tanda tangan, data atau identitas
calon buruh migran yang direkrut. Pada titik inilah penting untuk
meningkatkan peran pemerintah desa dan komunitas desa supaya bisa menjadi
basis migrasi yang aman.
Pemerintah desa selama
ini belum menyediakan informasi yang cukup mengenai prosedur migrasi yang
benar dan aman. Jika pemerintah desa memiliki informasi lengkap tentang
prosedur migrasi yang aman, termasuk PJTKI yang legal, serta memahami UU
tentang PTPPO, niscaya trafficking bisa terdeteksi sejak titik awal
pemberangkatan.
Sebagai pintu keluar
pertama proses migrasi, pemerintah desa bisa memperkuat kebijakan, semisal
dengan menganggarkan dana untuk sosialisasi migrasi yang aman serta
memperkuat keberadaan basis komunitas desa guna pengawal migrasi yang aman.
Peran itu sudah dilakukan oleh LSM, semisal Seruni yang bermarkas di Desa
Datar Kecamatan Sumbang Kabupaten Banyumas.
LSM itu, melalui situs
www.seruni.or id yang mereka kelola, menyampaikan informasi migrasi yang aman
serta menyiapkan diri mengadvokasi kasus yang dialami buruh migran. Di sisi
lain, pemerintah Desa Lipursari Kecamatan Leksono, Desa Mergosari Kecamatan
Sukoharjo, dan Desa Kuripan Kecamatan Garung, semuanya di Kabupaten Wonosobo,
komit untuk menguatkan basis komunitas desa sebagai pusat informasi migrasi
yang aman.
Penegakan hukum bagi
pelaku trafficking harus dikawal hingga mereka memperoleh hukuman setimpal.
Namun pencegahan perdagangan manusia melalui penguatan peran pemerintah desa
dan basis komunitas supaya bisa memberikan informasi migrasi yang aman,
justru lebih penting dilakukan. Upaya itu guna mencegah timbulnya korban
perdagangan manusia berikutnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar