Senin, 29 Juni 2015

Hibah

Hibah

  Putu Setia  ;   Pengarang; Wartawan Senior Tempo
TEMPO.CO, 28 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Suasana rapat di sebuah desa di lereng gunung yang mayoritas penduduknya masih bertani. Kepala Desa melaporkan renovasi balai desa yang belum selesai. Iuran warga tahun lalu dan dana hibah dari anggota DPRD belum mencukupi. "Bulan depan kita memasuki panen kopi, saya kira warga masih bisa memberi iuran lagi," kata Kepala Desa.

Seseorang berteriak: "Interupsi, Pak Kades. Sebentar lagi ada pilkada, kita coba cari dana hibah dari calon-calon bupati dan juga dari DPRD seperti selama ini." Interupsi (warga kampung sering salah ucap dengan: erupsi) menyusul dari warga lain. "Pak Kades, balai desa belum penting benar, tunggu saja tahun depan. Nanti ada dana aspirasi yang lebih besar. Menarik iuran dari masyarakat sudah kuno."

Apakah Anda paham dana hibah? Dana hibah atau disebut dana bansos (bantuan sosial) adalah dana yang dikucurkan lewat APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) untuk membantu proyek yang digagas masyarakat. Proyek itu melewati proses proposal yang. diajukan ke pemda provinsi. Kalau proposal disetujui, maka dana mengucur lewat pemda kabupaten/kota. Tapi ada pula dana hibah yang merupakan jatah anggota DPRD yang sudah ditentukan jumlahnya. Namun anggota DPRD tak memegang uang itu. Jika proposal disetujui anggota DPRD, proyek pun berjalan lewat kucuran dana dari pemda kabupaten/kota.

Hibah DPRD populer di pedesaan. Beberapa proyek pun diterangkan lewat papan pengumuman. Misalnya, "Jalan ini dibantu hibah DPRD Fraksi Golkar" atau "kolam pancing ini dari hibah DPRD Fraksi PDIP" dan tertera nama anggota DPRD itu. Meski dana mengucur dari pemerintah, masyarakat tak perlu repot mengurusnya. Anggota DPRD itu yang mencairkannya, lalu menyerahkan uang ke masyarakat sebagai "dana untuk membina konstituen". Bahwa uang yang diterima masyarakat tidak sebesar kuitansi yang diteken, itu sudah umum. 

Masyarakat telanjur puas, tak perlu mengusut di mana uang itu berkurang, di anggota DPRD atau di pemda kabupaten, atau sudah ada "pembagian".
Dana hibah atau dana bansos ini rupanya rawan penyelewengan. Karena itu, Menteri Dalam Negeri membuat peraturan untuk mengendalikan pemanfaatan hibah dan bantuan sosial yang dananya bersumber dari APBD itu. Yakni lewat Permendagri Nomor 32 Tahun 2011. Di situ ditekankan tertib aturan mengucurkan dana hibah. Kepada masyarakat diminta pertanggungjawabannya atas dana itu dan akan ada pemeriksaan dari intern aparat pemda maupun dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Menindaklanjuti Peraturan Menteri, para gubernur bersikap. Di Bali, misalnya, ada Peraturan Gubernur Nomor 67 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Provinsi Bali. Karena rawan korupsi, penerima hibah diperketat. Yang menarik jatah hibah lewat DPRD juga diperketat dan diperkecil—yang sempat menimbulkan kehebohan. Konon jatah setiap anggota DPRD dibatasi cuma Rp 300 juta dari Rp 2 miliar sebelumnya.

Dana aspirasi yang sudah disahkan DPR ini sesungguhnya mengadopsi dana hibah yang sudah dikenal di daerah-daerah. Kalau aliran dana Rp 300 juta saja penuh kerawanan, bagaimana dengan Rp 20 miliar? Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD memang menyebutkan anggota Dewan berhak memperjuangkan program pembangunan di daerah pemilihannya. Tetapi caranya bukan menentukan sendiri proyek dan besaran dananya. "Kerawanan" yang jauh lebih besar lagi adalah dana hibah dan dana aspirasi (jika disetujui pemerintah) akan membuat swadaya masyarakat dalam membangun desanya jadi hilang. Kepala desa dan stafnya hanya sibuk membuat proposal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar