Urgensi Dialog Barat dan Dunia Muslim
Rakhmat Hidayat ; Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Negeri
Jakarta (UNJ); Research Fellow di Universitat Leipzig, Jerman
|
KORAN SINDO, 25 Juni 2015
Saya baru saja mengikuti kegiatan
International Joint Conference yang diselenggarakan Universitat Leipzig dan
Universiti Sains Malaysia (USM) pada 3-5 Juni 2015. Judul seminarnya adalah ”Pupils’ Diversity and Success in Science
Education in Germany and Muslim Countries”.
Dalam seminar tersebut disajikan presentasi
beberapa hasil riset dosen Jerman dan Malaysia yang terkait pendidikan,
Islam, dan sosial dari perspektif Jerman dan Malaysia. Mereka yang hadir
adalah profesor, dosen, dan mahasiswa doktoral. Selama tiga hari kami
berdiskusi dan bertukar pikiran dalam suasana yang hangat, bersahabat, dan
setara. Saya satu-satunya peserta dari Indonesia.
Saya hadir ke acara tersebut secara tidak
sengaja. Satu hari sebelum konferensi dimulai secara kebetulan saya melihat
sebuah poster yang dipasang di papan pengumuman Kampus Leipzig terkait acara
tersebut. Saya kemudian langsung mendaftar ke panitia dan secara resmi
diterima sebagai peserta aktif. Banyak hal yang saya dapatkan selama
berlangsungnya acara tersebut.
Secara lebih khusus saya banyak memperbaharui
berbagai perkembangan pendidikan, teknologi, dan budaya di Malaysia melalui
presentasi dan diskusi informal dengan peserta dari Malaysia. Tetapi, yang
lebih menarik adalah kegiatan yang melibatkan akademisi dari Malaysia itu
juga baru saja kami ikuti dalam waktu dekat. Jadi, kegiatan yang melibatkan
akademisi Malaysia itu kerja sama antara Fakultas Ilmu Pendidikan Universitat
Leipzig dan Universiti Sains Malaysia (USM).
Sementara delegasi Indonesia diwakili oleh
Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Universitas Brawijaya dengan partnernya
adalah Fakultas Hukum dan Fakultas Ilmu Sosial-Filsafat Universitat Leipzig.
Kegiatan kami bertajuk Exploring Legal
Culture (ELC 2015). Jika dosen dan mahasiswa tinggal di Leipzig selama
dua minggu, tetapi saya tinggal di Leipzig selama satu bulan karena menjadi research fellow.
Sponsor dan payung kegiatannya sama yaitu dari
German Academic Service Change
(DAAD) dalam payung kegiatan Higher
Education Dialog with Muslim World. Kegiatan kami hanya berbeda host-nya yaitu fakultas yang berbeda.
Tetapi, jenis kegiatan dan peserta kegiatannya adalah sama yaitu dosen yang
melibatkan mahasiswa.
Kehadiran saya di konferensi Jerman-Malaysia
tersebut tentu sangat bermanfaat buat saya karena selain dari segi substansi
konferensi, saya juga banyak berdiskusi dengan kolega-kolega dari Malaysia
maupun dari Universitat Leipzig. Pada posisi ini sekaligus saya banyak juga
menjelaskan posisi Islam di Indonesia dalam beberapa sesi diskusi atau tanya
jawab.
Menurut saya, setelah saya menghadiri
konferensi tersebut, Islam di Indonesia lebih menarik dan dinamis
dibandingkan dengan Malaysia. Paling tidak secara demografis, jumlah penduduk
Indonesia hampir 85% adalah muslim. Sementara Malaysia memiliki 50% muslim
yang mayoritasnya adalah warga Melayu.
Alasan demografis ini kemudian didukung dengan
konteks sosial budaya yang berkembang dalam masyarakat muslim Indonesia. Pada
akhir konferensi ketika saya berbincang singkat dengan ketua konferensi yaitu
Prof Anatoli Rakhochkine bahwa Islam Indonesia memiliki tingkat dinamika dan
kompleksitas dibandingkan Malaysia. Tentu saya tidak asal berbicara.
Beberapa data tambahan saya jelaskan singkat
ke profesor asal Rusia tersebut seperti berbagai riset tentang Islam, budaya,
politik, hukum, ekonomi, hingga kelompok-kelompok garis keras/fundamentalis
yang marak di Indonesia. Singkatnya, pesan saya ke profesor muda tersebut
adalah Islam Indonesia itu seksi bagi dunia Barat.
Simbiosis Mutualisme
Jika ditelusuri secara lebih jauh, dunia Islam
saat ini perlahan- lahan menunjukkan transformasinya dari objek menjadi
subjek. Paling tidak saya melihatnya dari perspektif akademik. Keberadaan
negara-negara muslim yang diwakili akademisinya menjadi partner yang
dibutuhkan oleh dunia Barat sebagai upaya dan jembatan dialog dunia Barat dan
dunia muslim.
Sejauh ini saya menangkap kesan ada batas
ideologis yang jelas seolah vis a visantara dunia Barat dan dunia muslim.
Dunia Barat direpresentasikan sebagai sekularisme dan dunia Islam
diperlihatkan sebagai religiusitas. Cara pandang yang dikotomis dan menurut
saya menyesatkan karena produksi tipologi tersebut dalam konteks masyarakat
yang terus berubah drastis dan sudah semakin cair dengan revolusi teknologi.
Kita tak bisa lagi untuk menegaskan diri bahwa
Barat adalah sekularisme. Tesis ini sebenarnya terbantahkan dengan sendirinya
melalui hasil riset tentang negara-negara diduniabaikEropamaupun Amerika yang
justru sekuler, tetapi menerapkan nilai-nilai islami. Jauh lebih islami
praktik hidupnya dibandingkan dengan negara-negara muslim sendiri.
Mari kita lihat hasil riset yang dilakukan dua
akademisi di George Washington University USA, Hossen Askari dan Scherherazde
S Rehman. Hasil riset ini dipublikasikan tanggal 11 Juni 2014. Hasilnya
sangat mengejutkan bagi kita. Irlandia adalah negara yang paling islami di
dunia. Berikutnya menyusul Denmark, Swedia, dan Inggris.
Mereka mempraktikkan nilainilai dan
perilaku-perilaku islami yang justru tidak dilakukan di negara-negara muslim
seperti korupsi, kolusi, disiplin, dan sebagainya. Dengan demikian, akar
soalnya adalah bukan semata-mata perspektif teologis yang sering kita pahami
secara serampangan. Kita terjebak pada teologi yang simbolik, tetapi defisit
dengan teologi sosial budaya yang justru lebih implementatif dalam ruang
sosial masyarakat Indonesia.
Itulah yang kita alami dengan defisit teologi
sosial. Agama kehilangan visi sosial budayanya. Kita terlalu sibuk dengan
urusan fikih yang justru tak pernah habisnya. Dalam konteks itulah,
keberadaan dialog-dialog yang menghubungkan dengan akademisi Barat harus
ditempatkan sebagai pintu masuk untuk merajut cara pandang yang salah tentang
Barat, termasuk juga tentang Islam misalnya, isu-isu tentang terorisme, Islamophobia,
fundamentalisme Islam atau dalam konteks Indonesia adalah wacana tentang
hukuman mati atau poligami.
Tema-tema ini yang bisa kita perdebatkan dalam
suasana dialog yang hangat, setara, dan membumi. Tak ada posisi superior dan
inferior. Dialog yang dibangun adalah berdasarkan simbiosis mutualisme.
Mereka berkepentingan dengan dunia Islam untuk ”belajar” tentang dunia muslim
langsung dari akademisi yang dianggap memiliki pengaruh kepada publik.
Selama ini mereka yang membaca dunia Islam
dengan varian isunya dari media terutama media online yang seringkali juga
bias kepentingan. Tetapi, dengan berdialog langsung secara formal dan
informal (melalui makan siang, makan malam, minum kopi bersama) cara pandang
mereka tentang Islam yang terbentuk perlahan-lahan mulai terbangun cara
pandang yang baru.
Bagi akademisi negara muslim, dialog ini
menjadi penting karena mereka bisa belajar langsung bagaimana masyarakatnya
mempraktikkan nilai-nilai dan budaya yang berbeda dengan dunia muslim, tetapi
lebih islami. Misalnya terlihat dari ketertiban lalu lintas, ketaatan asas
birokrasi, dan sebagainya.
Mereka bisa mencairkan suasana kebekuan
tentang Barat yang ditempatkan secara diametral dengan Islam. Ternyata dengan
kehadiran langsung ke negaranya, mereka bisa menjumpai suasana yang cair dan
bisa menjadi sumber pembelajaran bagi dosen maupun mahasiswanya.
Dalam konteks itulah, saya melihat ini sebagai
upaya dialog peradaban yang harus terus dipupuk untuk menghapus berbagai
distorsi tentang dunia Barat dan dunia Islam karena keduanya menjadi bagian
penting dalam peradaban dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar