Diam Kita Ikut Membunuhnya
Rahkman Ardi ; Dosen Fakultas Psikologi Universitas
Airlangga;
Kandidat
Ph.D di Universitas Warsawa
|
KOMPAS, 25 Juni 2015
Kita turut berduka
ketika jenazah gadis kecil, Engeline, ditemukan setelah sebulan dinyatakan
hilang. Ia dikubur dengan boneka di tangan, dekat kandang ayam di rumahnya.
Engeline ternyata tak
hilang. Ia sengaja ”dihilangkan” di rumah yang seharusnya menjadi tempat ia
berlindung. Beberapa tanda kekerasan ada pada jenazahnya.
Rasa kemanusiaan kita
mendadak dibangunkan. Apa salah dan dosa gadis kecil itu sehingga
diperlakukan demikian brutal?
Gadis kecil yang
seharusnya tumbuh dan berkembang dalam keceriaan dan rasa cinta, justru hidup
kesepian dan ketakutan.
Beberapa hari setelah
hilangnya Engeline menyebar di media Mei lalu, terkuak berita bahwa Engeline
sebenarnya sering mendapatkan perlakuan tidak layak dari orang-orang
terdekatnya. Kesaksian masyarakat di sekitar membuhul ke kesimpulan, bahwa
Engeline tidak diperlakukan dengan wajar. Namun, tak ada laporan bahwa
masyarakat yang tahu itu kemudian bertindak.
Fenomena diam dan
menjadi pengamat tidak hanya terjadi dalam kasus ini saja. Orang kebanyakan
hanya menjadi pengamat justru saat ia seharusnya dapat melakukan sesuatu
untuk menolong atau menyelamatkan nyawa orang lain. Manusia tampaknya hanya
acuh dengan dirinya atau tak berani keluar dari diamnya meski terkait nyawa
orang lain.
Fenomena diam
Dalam psikologi
sosial, fenomena ini disebut bystander
effect (Darley dan Latane, 1968). Istilah bystander mengacu kepada kejadian tragis yang menimpa Kitty
Genovese. Genovese berusia 28 tahun diserang, diperkosa, dan ditikam hingga
mati oleh sekelompok orang pada malam tahun 1965 di New York, Amerika
Serikat. Ia berteriak-teriak meminta tolong, namun tak seorang pun keluar
dari apartemen, sekalipun mereka mendengar teriakan Genovese.
Fenomena bystander effect jamak terjadi. Secara
psikologis hal ini berlangsung karena beberapa sebab. Sebagian orang
barangkali tidak mau terlibat konflik dengan pihak lain, karena sekali saja
seseorang membantu si anak, seperti pada kasus Engeline, maka mereka akan
dianggap penyerang oleh pihak keluarga. Belum lagi ketakutan jika terjadi
kesalahan penilaian terlepas dari tanda-tanda tak wajar yang seharusnya sudah
memicu kecurigaan.
Orang juga sering tak
bertindak karena takut mengambil risiko. Mereka tak mau dianggap mencampuri
urusan orang lain. Di Polandia, ada idiom terkenal, ”not my circus, not my monkey”. Itu bukan urusan saya.
Orang juga cenderung
bersikap pasif karena berharap orang lain yang melakukan. Darley dan Latane
(1968) menyebutnya sebagai difusi tanggung jawab. Sehingga, walau tahu bahwa
bertindak adalah hal yang benar, namun mereka terjebak dalam sikap saling
menunggu.Semakin banyak pengamat di sekitar,semakin besar peluang setiap
orang untuk diam-diam melempar tanggung jawab kepada pihak lain.
Hal-hal tersebut
sering membuat orang menghadapi pilihan dilematis: melakukan sesuatu yang
bisa menyelamatkan anak atau hanya menjadi pengamat bisu, sungguhpun mereka
mengetahui bahwa ada yang salah.
Tidak ada yang
berpikir bahwa semua orang dapat menjadi inisiator tanpa harus menunggu orang
lain bila sesuatu yang tak wajar terjadi.
Sedikit yang bertindak
Survei Safe Horizon (2008),
lembaga di AS yang melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga,
menunjukkan bahwa 78 persen orang mempunyai cukup alasan untuk melaporkan
kekerasan terhadap anak, namun hanya 19 persen dari mereka yang menghubungi
layanan perlindungan anak, dan 6 persen yang memberitahu polisi.
Pencegahan kasus
kekerasan domestik dalam keluarga adalah tanggung jawab semua orang, namun
pada kenyataannya hanya sebagian kecil yang berani bertindak nyata dan keluar
dari sekadar pengamat bisu.
Sebenarnya, tanpa disadari
masyarakat sudah mampu mengenali gejala ketidakwajaran anak yang mengalami
abuse, seperti anak terlihat lusuh, kurus, kurang gizi, penyendiri.
Masyarakat juga sering melihat langsung anak yang dibentak dan dipukul, namun
kenyataannya tak banyak dari kita yang berani berinisiatif bertindak, bahkan
untuk sekadar mencari tahu apakah yang sesungguhnya terjadi. Sadar atau
tidak, kita telah terlibat dalam aksi pembiaran kekerasan di sekitar kita.
Siapa pun kita, punya
peran penting untuk bisa menghentikan kekerasan domestik di lingkungan
sekitar. Jangan hanya menjadi bystander, yang hanya menjadi bagian difusi
tanggung jawab dengan melempar insiatif bertindak kepada orang lain.
Kasus Engeline terjadi
karena semua orang diam. Kebisuan kita secara tak langsung ikut berperan
terhadap kepergiannya.
Jangan lagi ada
tragedi ini. Mari bersama berjanji bahwa kita tidak akan pernah lagi diam dan
membiarkan kekerasan terjadi di sekitar kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar