Laut untuk Nelayan
Bernhard Limbong ; Alumnus Program Doktor Universitas
Padjadjaran
|
MEDIA INDONESIA, 27 Juni 2015
DALAM enam bulan lebih, Menteri Kelautan dan
Perikanan Susi Pudjiastuti telah memikat hati banyak orang. Itu berkat cara berpikirnya
yang praktis dan lurus, bicara lugas tanpa diplomasi basabasi, dan
berpendirian teguh.
Ia pengusaha sukses, tapi penampilannya
sederhana dan merakyat.
Ia seorang wanita, tapi tak gentar melawan mafia
perikanan dengan menenggelamkan kapal-kapal asing pencuri ikan. Ia berpikir
dan bekerja cepat, sering kali out of
the box. Susi pun dinilai pemimpin genuine
dan copy-paste dari Presiden
Jokowi. Semua itu mendapat apresiasi publik seperti tergambar pada hasil
survei yang menempatkan Susi sebagai menteri paling populer dan sukses dalam
200 hari Kabinet Jokowi-JK.
Di atas semua itu, kekuatan Susi terletak pada
keteguhannya terhadap filosofi , visi, dan misi kerakyatan yang diyakininya.
Dalam talkshow di sebuah televisi swasta, Susi menegaskan tujuan pertama dan
paling utama kerja kementerian yang dipimpinnya ialah pemberantasan mafia
perikanan dan penenggelaman kapal pencuri ikan. Kemudian melindungi
kedaulatan dan menyejahterakan nelayan secara berkelanjutan. Susi menempatkan
tujuan meningkatkan pendapatan negara pada nomor dua, bukan nomor satu.
Pandangan dan sikap Susi sangat mendasar
sehingga patut dicermati sungguh-sungguh oleh para elite pemimpin di negeri
ini. Pasalnya, pandangan dan sikap Susi tersebut menyangkut aspek
sentral-substansial dari amanat Pancasila (Sila Kelima), tujuan NKRI, dan
perintah Konstitusi UUD 1945, khususnya Pasal 33 Ayat (3). Pertama, nilai
ideologis ‘Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia’ seharusnya memang
pertama dimaknai sebagai keadilan bagi masyarakat lokal.
Dalam konteks Kementerian yang dipimpin Susi,
itu berarti keadilan bagi nelayan lokal dan masyarakat daerah pesisir yang
hidup-matinya bergantung pada sumber daya laut.
Kedua, amanat sila kelima Pancasila itu
dipertegas dalam tujuan pertama dan kedua berdirinya NKRI, yaitu melindungi
seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum. Susi
menerjemahkannya sebagai menjaga kedaulatan wilayah laut Indonesia dari
pencuri ilegal dan penangkap ikan legal yang rakus. Itu semua demi kedaulatan
nelayan dalam bingkai kesejahteraan negara (welfare state).
Ketiga, amanat sila kelima Pancasila dan
Tujuan NKRI itu kemudian diturunkan ke Konstitusi UUD 1945, terutama Pasal 33
Ayat (3), yaitu ‘Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara untuk dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.’
Dalam visi maritim kerakyatan Susi, rakyat
yang dimaksud pertama-tama ialah nelayan lokal dan masyarakat yang hidup di
daerah pesisir serta pulau-pulau kecil dan terpencil.
Susi pun mengingatkan bahwa kesejahteraan
nelayan harus berkelanjutan. Karena itu, tindakan tegas tanpa kompromi
menjadi penting dalam penghentian pencurian ikan oleh kapal asing atau
moratorium penangkapan ikan bagi kapal ikan eksasing, pemakaian alat tangkap
pukat, dan bongkar muat hasil tangkapan di tengah laut.
Maknanya, kekayaan yang terkandung dalam laut
Nusantara bukan hanya untuk kesejahteraan nelayan hari ini, melainkan juga
untuk kesejahteraan nelayan generasi-generasi mendatang.
Paradigma baru
Meski tidak luput dari riak-riak protes,
sejauh ini Susi berada di jalur yang benar
dalam mewujudkan Visi Poros
Maritim Dunia yang dicanangkan pemerintahan Jokowi-JK Widodo. Hanya, sepak terjang
Susi sebagai motor penggerak paradigma baru pembangunan berbasis kemaritiman
menuntut payung hukum dan kebijakan dari hulu ke hilir yang progresif,
integratif, dan cepat.
Undang-undang Perikanan maupun UU Kelautan
yang baru disahkan akhir September 2014 lalu perlu segera direvisi untuk
memperkuat pelaksanaan Visi Poros Maritim Dunia. Setidaknya, beberapa PP
sebagai peraturan pelaksanaannya harus segera diterbitkan untuk mengimbangi
langkah cepat Susi.
Selain regulasi, berbagai kebijakan, terutama
politik anggaran, harus memperlihatkan keberpihakan yang nyata untuk
pembangunan infrastruktur kemaritiman dan penguatan nelayan lokal dan
masyarakat pesisir. Sekali lagi, bukan menggenjot pajak pendapatan untuk
negara.
Konsekuensinya, paradigma konglomerasi
korporasi yang berbasis kapitalisme neoliberalisme untuk mengejar pertumbuhan
ekonomi harus diganti dengan ekonomi kerakyatan yang berbasis sumber daya
lokal.
Dalam kaitan itu, rencana pemerintah membangun
24 sentra pelabuhan besar berstandar internasional seharusnya diikuti
kebijakan setiap pemerintah daerah/kota dengan membangun pelabuhanpelabuhan
berskala kecil dan menengah berikut gudang pendingin.
Jika konsentrasi alokasi anggaran hanya untuk
membangun 24 sentra pelabuhan besar, berarti orientasinya hanya pada urusan
ekspor-impor hasil perikanan atau produk sektor kelautan lainnya.
Pertanyaannya, bagaimana dengan hasil tangkapan dan budi daya nelayan kecil
di daerah pesisir yang terpencil dan pulau-pulau kecil?
Politik anggaran (APBN dan APBD) sudah
seharusnya diarahkan untuk pemerataan pembangunan infrastruktur pelabuhan
kecil dan menengah berikut gudang pendingin untuk sekitar 11.000 desa daerah
pesisir di seluruh Nusantara. Bukan hanya itu, dana APBN yang cukup besar
untuk sektor kemaritiman dan perdesaan pesisir bisa dioptimalkan untuk
subsidi pakan ikan, bantuan kapal motor berukuran kecil dan sedang, kemudahan
modal usaha, jalur distribusi, dan akses pasar.
Dalam budi daya ikan, misalnya, pakan yang
merupakan komponen biaya terbesar hingga 70%, justru 80% bergantung pada
impor. Persoalan menjadi kompleks karena tidak ada jaminan pasar. Di sisi
lain, nelayan dan petambak harus meraih keuntungan 30% untuk bisa bertahan.
Itulah tugas berat Menteri berikutnya, baik
regulasi maupun politik anggaran harus memastikan sarana produksi dibangun
dekat dengan nelayan. Infrastruktur jalan dan pelabuhan harus dibangun di
seluruh wilayah pesisir dan di pulau-pulau kecil yang tersebar di seantero
Nusantara. Jika tidak, nelayan dan petani ikan akan tetap bertarung dalam
kemiskinan permanen.
Konsekuensi paradigma baru yang diperjuangkan
Susi ialah nelayan yang miskin dan hidup di daerah-daerah terpencil dan
pulau-pulau kecil harus menjadi `subjek utama', bukan `pelengkap penyerta'.
Karena itu, tugas dan tanggung jawab negara ialah mengelola kekayaan sumber
daya laut sebaik-baiknya untuk melindungi dan menyejahterakan mereka.
Peningkatan pendapatan negara tentu penting,
tetapi ditempatkan pada nomor dua. Tidak dibalik! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar