Tanggung Jawab atas Pendidikan
Ignas Kleden ; Sosiolog;
Ketua
Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
|
KOMPAS, 25 Juni 2015
Sering terdengar
slogan bahwa kemajuan dan kesejahteraan suatu bangsa tak terutama tergantung
kepada sumber daya alam, yang di Indonesia sudah hampir terkuras habis,
tetapi kepada sumber daya manusia. Korea Selatan dan Singapura bisa disebut
contoh dekat. Namun, dalam slogan itu jarang diungkapkan perbedaan antara
kedua sumber daya itu. Sumber daya alam (SDA) diberi oleh alam yang pemurah,
sementara sumber daya manusia (SDM) harus dibuat manusia sendiri. SDA
bersifat given, sedangkan SDM
merupakan suatu kualitas yang harus diproduksi manusia.
Beberapa minggu lalu
Presiden Joko Widodo membuat pernyataan yang patut diperhatikan, dan
membangunkan kita dari kesadaran yang tidur nyenyak. Berkata Presiden, tahun
1970-an Indonesia booming minyak.
Negara seakan terapung di atasnya. Tetapi, akhirnya kita tak dapat suatu apa
kecuali bahwa Pertamina hampir saja bangkrut. Tahun 1980-an ada booming kayu, tetapi yang didapat
negara hanya gundulnya hutan tropis di Sumatera dan Kalimantan, dan
meningkatnya kerentanan terhadap banjir setiap hujan turun. Tahun 2000-an ada
booming mineral, seperti batubara,
tetapi tak ada yang tertinggal untuk negara dan bangsa. Hasilnya, hancurnya
lingkungan dengan depresiasi yang luar biasa berhadapan dengan 95 persen
eksportir yang tak punya nomor pokok wajib pajak. Satu-satunya yang masih
terselamatkan hanyalah laut, sehingga pencurian kekayaan laut harus
dihentikan dengan tegas.
Tentu saja Presiden
Jokowi menyadari pentingnya SDM sekalipun hal itu tak disinggung dalam
pernyataannya. Kita tahu, SDM harus dibuat, harus diproduksikan. Adapun jalan
untuk menghasilkan SDM adalah pendidikan. Horace Mann, pemikir pendidikan
yang sering dikutip filsuf John Dewey berkata education is our
only political safety, outside of this ark is the deluge (pendidikan adalah
pengamanan politik kita satu-satunya, di luar bahtera ini hanya ada banjir
dan air bah).
Menurut Mann,
pendidikan umum merupakan penemuan terbesar manusia. Organisasi-organisasi
sosial lain semuanya hanya kuratif dan remedial sifatnya. Sekolah saja yang
dapat mencegah dan menangkal kesulitan dan bencana. Namun demikian, hanya
pendidikan dengan asas-asas dan praktik yang benarlah yang dapat menjadi
pengamanan politik dan menciptakan SDM, yaitu orang-orang yang dilengkapi
tingkat kecerdasan tertentu dengan watak dan prinsip-prinsip tertentu.
Orang-orang yang dididik dengan baik dapat membantu proses produksi dalam
ekonomi dan memperkuat integrasi sosial dalam kelompoknya. Sebaliknya,
pendidikan yang centang-perenang, tanpa arah dan tujuan jelas, hanya akan
menghasilkan orang-orang yang menjadi beban masyarakatnya dan sumber masalah
yang mempersulit kehidupan bersama.
Pendidikan dan pengajaran
Ada pandangan yang
membedakan pendidikan dan pengajaran. Kurang jelas apakah pembedaan ini
maksudnya menunjukkan pembagian tugas, seakan-akan sekolah hanya mengurus
pengajaran, sementara pendidikan anak didik menjadi tanggung jawab
masing-masing keluarga. Apa pun maksud pembedaan itu, satu hal perlu
ditegaskan di sini, yaitubahwa pengajaran dan pendidikan bisa dibedakan,
tetapi tak pernah bisa dipisahkan. Alasannya, pengajaran yang diajarkan di
sekolah tak dimaksudkan hanya untuk menjadi transfer pengetahuan. Pengajaran
memang bertujuan menyampaikan pengetahuan, tetapi pengetahuan yang ditransfer
itu harus menjadi sarana bagi pendidikan anak didik dan unsur dalam
pembentukan kepribadian mereka.
Dalam pengajaran itu
mereka dilatih berpikir, bertanya, dan perlahan-lahan memahami bagaimana
pengetahuan disusun dengan metode dan sistematika tertentu, dan bagaimana
pula pengetahuan itu telah diperoleh dan apakah dapat diuji kesahihannya.
Melalui pengetahuan itu terbuka wawasan tentang alam dan masyarakat, dan
bagaimana mestinya orang bersikap terhadap alam dan berperilaku terhadap
anggota masyarakat. Singkat kata, pengajaran menyampaikan pengetahuan, dan
pengetahuan mempertajam nalar, membentuk watak, dan mematangkan kepribadian.
Pengajaran yang tak
dihayati sebagai sarana pendidikan akan berubah mekanis dan membuat otak anak
didik seolah-olah file komputer yang hanya berfungsi menampung informasi. Bertrand Russel, filsuf Inggris
terbesar abad XX dan pemenang Nobel untuk kesusastraan, mengajukan kritik
tajam dan sengit terhadap pendidikan yang diperlakukan hanya sebagai
pengajaran. Menurut dia, kita memang sanggup menciptakan berbagai perlengkapan dan
membuat alat-alat, namun kita bisa tetap primitif dalam metode dan teknik,
kalau kita mengira pendidikan hanya menjadi transfer pengetahuan yang sudah
baku, dan bukannya sarana membentuk kebiasaan dan sikap ilmiah.
Ciri utama orang kurang terdidik adalah sikap
tergesa-gesa dalam membentuk pendapatnya, yang kemudian dipertahankan secara
mutlak. Sebaliknya, seorang terpelajar akan sangat berhati-hati dalam
berpendapat dan selalu berbicara dengan modifikasi. Latihan-latihan dalam
pendidikan melalui pengajaran lambat laun akan membentuk intellectual conscience atau nurani intelektual yang ditandai
oleh dua hal utama, yaitu sikap untuk percaya hanya kalau ada bukti-bukti
yang bisa dipegang, dan kesediaan mengakui bahwa bukti-bukti itu pun masih
bisa salah.
Pembentukan nalar yang
berhasil dalam pendidikan dapat mengubah pandangan seseorang secara radikal,
seperti sikap lebih menghargai seni dan keindahan daripada kekayaan dan
kemewahan, atau lebih mengutamakan kecerdasan dan rasa percaya diri daripada
kebanggaan terhadap status dan jabatan. Perubahan sikap inilah yang menandai
munculnya masa Renaisans di Eropa yang bermula di Italia pada abad XIII-XIV
dan diteruskan beberapa abad kemudian. Untuk kita, pendidikan dapat membuat
orang sanggup mengontrol insting posesif berlebihan. Materialisme praktis
yang dibawa masuk ke Tanah Air oleh kapitalisme, sudah membuat orang
menganggap sama dua hal yang berbeda sekali, yaitu menikmati dan memiliki.
Sulit sekali menemukan
orang bermodal yang membiarkan bukit anggrek indah di hutan dinikmati banyak
orang tanpa harus membeli dan memilikinya untuk diri sendiri. Orang bisa
menikmati tanpa harus memiliki, dan lebih sering orang memiliki tanpa sanggup
menikmati. Dalam bidang sosial gejala ini terlihat dalam bertambah kayanya
sekelompok kecil elite, tanpa ada perhatian dan keterbukaan hati untuk
menikmati kemajuan orang lain berkat bantuan yang diberikan. Filantropi
rupanya asing pada awal kapitalisme. Keserakahan merupakan Kinderkrankheit des Kapitalismus atau
penyakit kanak-kanak dalam kapitalisme.
Mentalitas dan sikap ilmiah
Studi tentang sejarah
ilmu pengetahuan pernah dilakukan filsuf Alfred North Whitehead dan
dikemukakan dalam serangkaian kuliah di Universitas Harvard pada paruh
pertama 1920-an dan kemudian diterbitkan sebagai buku Science and The Modern World. Sebuah tesis yang dipertahankannya
dengan berbagai bukti historis ialah bahwa pembentukan
mentalitas dan sikap ilmiah sering kali lebih penting dan lebih mendorong
kemajuan dibandingkan kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri.
Hadirnya teknologi di suatu negara tak dengan sendirinya menunjukkan kemajuan
negara itu dalam ilmu dan teknologi, karena produk teknologi selalu bisa
dibeli. Suatu negara dapat dikatakan maju kalau dapat memproduksi teknologi
itu, bahkan menemukan jalan memproduksi teknologi baru.
Lukisan perkembangan
ilmu dan teknologi di Eropa oleh AN Whitehead dapat mengilustrasikan hal ini.
Entakan besar dalam ilmu pengetahuan alam dan humaniora terjadi di berbagai
negara Eropa pada abad XVII yang disebutnya abad para genius. Dalam
kesusastraan ada Miguel de Cervantes di Spanyol yang menulis Don Quixote; di Inggris berkibar
Shakespeare yang memberi watak kepada sastra dan bahasa Inggris. Keduanya
wafat pada 27 April 1616. Dalam filsafat muncul Descartes di Perancis,
Francis Bacon dan John Locke di Inggris, Baruch Spinoza di Belanda, dan
Leibniz di Jerman. Dalam fisika berderet nama, seperti Newton di Inggris,
Robert Boyle di Irlandia, dan Huygens di Belanda. Dalam astronomi kita kenal
Galileo Galilei di Italia dan Johannes Kepler di Jerman. Dalam matematika ada
Blaise Pascal di Perancis dan dalam biologi ada William Harvey di Inggris
yang menemukan sistem peredaran darah kita.
Nama-nama ini hanya
sebagian kecil dari daftar panjang para genius yang berkarya abad XVII. Para
ahli sejarah ilmu pengetahuan masih meneliti mengapa lahir demikian banyak
genius pada masa ini. Menurut Bertrand Russel yang menulis buku sejarah
filsafat Barat yang banyak dipuji, abad XVI adalah abad yang mengalami
kegersangan filsafat karena peperangan antaragama. Perang Tiga Puluh Tahun
antara pihak Katolik dan Protestan, akhirnya menimbulkan anggapan bahwa
kesatuan dalam dogma agama yang diidamkan dalam Abad Pertengahan sudah tak
mungkin tercapai lagi. Setiap orang sebaiknya berpikir sendiri untuk dirinya,
juga mengenai soal-soal fundamental. Hasrat untuk kebebasan berpikir dan
keengganan kepada soal-soal teologis lambat laun melahirkan kegairahan baru untuk
hal-hal sekuler, yang bermuara kepada ilmu pengetahuan. Mentalitas baru
inilah yang melahirkan para genius.
Di Indonesia, almarhum
Prof Sartono Kartodirdjo dari Universitas Gadjah Mada pernah menceritakan
anekdot perilaku mahasiswanya, termasuk mahasiswa asing. Mahasiswa Jepang yang membeli sepeda motor baru
memanfaatkan hari liburnya pada akhir pekan untuk membongkar seluruh sepeda
motor dan memereteli berbagai bagiannya, kemudian disusun kembali untuk
mengetahui struktur mesin dan sistem mekaniknya. Sebaliknya, mahasiswa
Indonesia yang membeli sepeda motor baru akan segera mengunjungi pacarnya,
mengajaknya keliling kota, dan melewatkan acara malam minggu bersama.
Dari segi mentalitas,
mahasiswa Jepang itu punya mentalitas teknologis, sementara mahasiswa kita
masih hidup dalam mentalitas konsumeristis. Diterapkan di sekolah, pengajaran
dan pendidikan bukan saja menyajikan science
products (produk ilmu pengetahuan), tetapi mendorong science production (bagaimana ilmu diproduksikan). Berbagai bentuk pengajaran dan pendidikan tujuan utamanya
bukanlah melakukan transfer pengetahuan sebanyak-banyaknya, melainkan menciptakan
suasana dan motivasi agar peserta didik didorong mencari dan menghasilkan
pengetahuan baru dalam suatu bidang penelitian, entah dengan mengidentifikasi
bidang-bidang penelitian yang belum banyak dikaji dan dapat dijadikan obyek
penelitian agar melengkapi penelitian-penelitian yang sudah ada, atau dengan
mencoba metode dan teknik penelitian baru yang menyorot aspek tertentu dari
suatu obyek penelitian yang sudah diteliti sebelumnya, tetapi yang kemudian
dijelaskan dengan cara lebih komprehensif.
Pada titik ini dua
kepentingan patut diperhatikan. Pertama, kepentingan validasi, yaitu
pengujian pengetahuan agar pengetahuan itu terjamin kesahihannya, sebelum
digunakan lebih banyak orang. Pengetahuan yang akan digunakan berbagai pihak,
haruslah terhindar sejauh mungkin dari kekeliruan dan kesalahan entah
mengenai data yang dikumpulkan, atau penjelasan tentang data itu. Pengetahuan
fisika, biologi, kimia atau pengetahuan ilmu-ilmu sosial yang menjadi
konsumsi publik, harus terjamin kesahihannya oleh validasi yang memenuhi
syarat pengujian, agar pemakaian atau penerapan pengetahuan itu oleh pihak
lain tak merugikan atau membahayakan mereka.
Kedua, pendidikan dan
pengajaran harus dapat menunjukkan pentingnya aspek penemuan dalam ilmu
pengetahuan. Prinsipnya, pengetahuan bukan saja harus dijaga dan dirawat dari
masa ke masa, tetapi perlu diperbarui dengan temuan baru. Inilah dimensi
heuristik dalam ilmu pengetahuan. Temuan baru itu dapat berupa obyek baru
dalam sebuah bidang studi dan penelitian. Temuan juga dapat berupa penjelasan
baru tentang data lama yang sudah dikumpulkan dan obyek penelitian yang sudah
diketahui sebelumnya.
Diterjemahkan ke istilah
yang lebih sederhana validasi ilmu pengetahuan butuh sikap kritis di antara
para peserta didik, dan kemampuan heuristis dalam ilmu pengetahuan tak
berarti lain dari sikap kreatifanak didik dalam menghadapi tugas belajar
mereka. Sikap kritis hanya dimungkinkan oleh pandangan yang menghadapi ilmu
pengetahuan sebagai suatu disiplin, sedangkan sikap kreatif akan muncul dari
penghayatan ilmu pengetahuan sebagai suatu art atau seni, yang butuh
kebebasan dan keleluasaan dalam menanggapinya. Apakah kritik dan kreativitas,
disiplin dan kebebasan, metodologi dan imajinasi, menjadi perhatian di
sekolah-sekolah kita sekarang, dan dikembangkan dalam perimbangan yang
optimal, itulah pertanyaan dasar tentang pendidikan kita di Indonesia
sekarang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar