Bahasa, Agama, dan Budaya
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri
Syarif
Hidayatullah, Jakarta
|
KOMPAS, 26 Juni 2015
Dari nama saja sudah
bisa diduga bahwa saya seorang Muslim. Belajar Islam sejak kecil di
lingkungan keluarga dan masjid. Setelah tamat pesantren lalu meneruskan ke
Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 1974, yang
sekarang berkembang menjadi UIN, Universitas Islam Negeri.
Di samping sebagai
anak kandung ayah-ibu, saya adalah anak kandung budaya yang mengasuh dan
membesarkan diriku. Produk pengasuhan budaya itu terlihat paling nyata dalam
aspek bahasa, yaitu bahasa Jawa dan Indonesia. Ada ungkapan klasik: language
carries cultures. Dalam bahasa terkandung budaya. Dalam bahasa tersimpan
nilai-nilai yang diekspresikan dan diwariskan dari generasi ke generasi
melalui tradisi.
Jadi, dalam diriku
terekam dan tertanam nilai-nilai yang berakar kepada tradisi Jawa, Indonesia,
dan Islam. Tradisi kejawaan dan keindonesiaan telah berbaur dan sulit
dipisahkan. Mungkin juga antara keislaman dan kearaban di Timur Tengah juga
saling terkait.
Dalam pengasuhan budaya
Membayangkan
keislamanku, pasti telah bercampur dengan nilai-nilai kejawaan,
keindonesiaan, dan kearaban. Ditambah lagi mungkin pengaruh studi dan
pengalaman saya tinggal di luar negeri non-Arab. Oleh karena itu, saya tak
berani menyebut diriku menganut Islam murni.
Bagi saya, istilah dan
pembatasan Islam murni itu mengundang perdebatan. Konsepnya belum jelas.
Meski terlahir sebagai orang Jawa, bagi saya yang namanya Jawa murni itu
tidak ada. Seseorang itu tumbuh dalam pengasuhan budaya yang di dalamnya
terdapat unsur-unsur agama. Terlebih sekarang kita hidup di era informasi
yang telah memungkinkan terjadi banjir informasi merambah ke berbagai
kelompok masyarakat tanpa bisa dibendung. Ditambah lagi informasi yang hadir
dalam bentuk bahasa gambar membuat dunia terasa semakin sempit sekaligus
plural. Perjumpaan antarbudaya dan agama telah melahirkan konflik, tetapi
sekaligus juga pengayaan yang berlangsung setiap saat.
Ketika membaca
keislaman saya sendiri, sering kali saya merasakan terjadi dialog dan konflik
antara pengaruh tradisi kejawaan, komitmen keindonesiaan, kesetiaan kepada
Islam dan juga pengaruh keilmuan literatur filsafat Barat yang pernah saya
pelajari. Hati saya sering tergetar dan kagum ketika membayangkan
pemuda-pemuda angkatan 1928 yang telah berjuang untuk membangun dan merajut
bangsa Indonesia, tetapi tetap menghargai dan menjaga identitas suku serta
kekayaan daerah yang begitu beragam. Mereka menghadapi tantangan tidak saja
dari imperialis Belanda, tetapi juga dari penguasa-penguasa lokal yang tengah
menikmati kekuasaan dan bersahabat dengan penjajah. Cita-cita dan tekad
mereka secara resmi menjelma dalam rumah besar negara yang berdaulat pada 17
Agustus 1945, meski proses pematangan konsep kebangsaan masih terus
berlangsung hingga hari ini.
Keterikatan saya
kepada tradisi Jawa dan cita-cita keindonesiaan bertemu dengan komitmen
keislaman saya dalam rumah epistemologis-ideologis yang bernama Pancasila.
Jika sila ketuhanan diposisikan dalam titik sentral, maka yang dimaksudkan
adalah kebertuhanan yang menumbuhkan komitmen kemanusiaan yang bermuara
kepada kesejahteraan yang berkeadilan bagi rakyat Indonesia. Kalaupun sila
kemanusiaan yang menjadi pijakan sentral, yang diharapkan adalah perilaku
kemanusiaan yang berketuhanan dan yang peduli kepada agenda keadilan dan
kesejahteraan bangsa.
Dengan demikian, saya
tidak mau memperhadapkan antara tradisi kejawaan saya dengan semangat
keindonesiaan dan keislaman. Lebih dari itu, setiap ajaran agama selalu
memerlukan rumah dan teritori negara sebagai tempat untuk tumbuh berkembang.
Membayangkan dunia hanya diisi dan dikuasai oleh satu bahasa, etnis, budaya,
dan agama adalah mustahil. Di samping itu juga tidak menarik dihuni.
Dengan segala
keterbatasan yang melekat, saya belajar ilmu keislaman yang disajikan
terutama dalam bahasa Arab dan Inggris. Meskipun Al Quran saya yakini sebagai
wahyu Allah, tetapi bahasa mediumnya adalah lisan Arab yang terikat dengan
tradisi dan kaidah budaya.
Oleh karena itu, jika
disebutkan salah satu kemukjizatan Al Quran terletak kepada dimensi keindahan
dan keunggulan bahasanya, terus terang saya tidak mudah menghayati dan
menyelaminya karena saya bukan ahli sastra Arab. Saya cukup percaya saja
kepada pendapat yang ahli bahasa Arab. Bahkan ketika berdoa dalam bahasa
Arab, otak dan hati saya berbicara kepada Tuhan dengan bahasa Indonesia atau
Jawa. Bibir saya mengucapkan bahasa Arab-Al Qur an, tetapi hati saya
berbahasa Indonesia. Dengan demikian, saya sembahyang menggunakan
multibahasa. Jika kekhusyukan shalat itu di hati, maka hati saya
jangan-jangan shalat dengan bahasa ibu. Agama dan budaya saling membantu
dalam shalat saya.
Mengingat kitab suci lahir
dan terbakukan dalam ranah budaya, maka tanpa mengetahui bahasa dan budaya
tempat lahir sebuah kitab suci banyak pesannya yang tidak tertangkap. Bagi
diri saya yang lahir dan tumbuh di Indonesia, untuk memahami pesan Tuhan yang
terkandung dalam kitab suci Al Quran terdapat banyak hambatan serius.
Pertama, hambatan bahasa. Saya memahami dan mereproduksi ulang pesan Al Quran
dalam benak saya yang menggunakan bahasa Indonesia. Padahal, karakter bahasa
Arab dan Indonesia memiliki perbedaan serius. Jumlah kosa kata bahasa Arab
lebih kaya dibandingkan bahasa Indonesia sehingga banyak sekali kata dan
istilah dalam Al Quran yang tidak ditemukan padanannya dalam bahasa
Indonesia. Akibatnya, terjadilah distorsi dan penyempitan makna ketika
diterjemahkan mengingat banyak diksi dalam kitab suci yang bersifat
konseptual sehingga memerlukan penjelasan panjang lebar.
Universalitas dan lokalitas
Yang sangat membantu
diri saya untuk menangkap pesan dasar agama dan kemanusiaan adalah adanya
konsep universalitas yang didukung penalaran rasional. Apa pun bahasa, agama,
dan budaya seseorang mereka sepakat bahwa dalam perilaku dan pergaulan
internasional terdapat nilai-nilai universal yang sama-sama ingin dijaga dan
ditegakkan. Misalnya, konsep dan keinginan untuk menegakkan keadilan,
kejujuran, perdamaian, dan hidup saling hormat-menghormati.
Dalam kajian psikologi
moral dikatakan, setiap pribadi ingin meraih well being, hidup yang baik,
benar, dan bahagia. Untuk meraih itu, salah satu syarat mutlak yang mesti
dipenuhi adalah mampu membangun a good relationship, hubungan yang baik
dengan orang-orang di sekitarnya dan yang memiliki kepentingan dengannya. Hal
ini meniscayakan sikap untuk selalu menghormati perbedaan, menerima
perbedaan, dan merayakan perbedaan itu. Jadi, menghargai keragaman merupakan
keniscayaan jika ingin hidup damai.
Bahwa dalam sejarah
terjadi konflik, peperangan dan kejahatan, semua itu kenyataan yang tak
terhindarkan. Manusia terlahir dengan membawa nafsu dan kecenderungan
egoistik serta tega memangsa yang lain. Namun, rasanya nalar sehat sepakat
mengatakan bahwa kebaikan, kebenaran, keindahan, dan kedamaian serta keadilan
merupakan realitas yang diidealkan dan selalu didambakan sepanjang sejarah.
Semua itu sejalan dengan pesan agama, sehingga peperangan dan kejahatan
dianggap melawan ajaran dasar agama dan peradaban.
Mengingat semua agama
diyakini datang dari Tuhan pencipta manusia, maka nilai-nilai dasar agama
memiliki perhatian kepada agenda kemanusiaan universal, sekalipun agama lahir
dan terbentuk dalam jubah budaya dan bahasa yang bersifat lokal. Oleh karena
itu, pesan universalitas agama terwadahi dalam format lokalitas bahasa dan
budaya. Hanya saja ketika jumlah penduduk bumi semakin banyak, tak sebanding
dengan jumlah penduduk di saat agama-agama itu lahir, dan perjumpaan lintas
pemeluk agama juga berlangsung secara intens dan masif, maka nilai- nilai
universal agama sering kali tertutupi dengan bungkus lokalnya.
Bungkus yang semula
merupakan budaya lokal serta profan lalu disakralkan. Membela budaya seakan
identik dengan membela agama. Arabisme dan Islamisme lalu tak terpisahkan.
Sementara itu, agama Kristen yang juga lahir di wilayah Timur Tengah sekarang
ter-"Barat"-kan.
Keberagamaan di
Nusantara ini bisa menjadi dalam berbagai aspeknya lebih esensial,
substantif, tetapi oleh sebagian orang dipandang dangkal, pinggiran. Mungkin
sekali umat Islam Indonesia lebih bersemangat dalam melaksanakan ibadah.
Lebih toleran dan senang menjaga keamanan ketimbang masyarakat Arab yang
ribut bertengkar dan berperang dengan membawa jargon keagamaan.
Misalnya saja konflik
Sunny-Syiah, itu warisan lama perebutan kekuasaan politik umat Islam Arab
sepeninggal Rasulullah. Sementara di Indonesia, para sultan rela membubarkan
diri demi lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jadi, mengapa
perebutan politik di Timur Tengah mau dibawa-bawa ke Indonesia dengan baju
keagamaan? Kita mesti bedakan antara universalitas Islam dan lokalitas bahasa
serta budaya yang menjadi medium dan kendaraannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar