Menolak Pelemahan KPK
M Nafiul Haris, ; Alumnus Fisipol Universitas Wahid Hasyim,
Semarang
|
KORAN TEMPO, 23 Juni 2015
Kondisi Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) kali ini benar-benar menyesakkan, menyusul adanya
serangkaian upaya pelemahan atas lembaga antirasuah itu. Dibanding
sebelumnya, upaya pelemahan kali ini lebih sistematis karena Dewan Perwakilan
Rakyat dan pemerintah melalui Wakil Presiden Jusuf Kalla serta Menteri Hukum
dan HAM Yasonna H. Laoly terus mendorong sejumlah usul revisi Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dewan menganggap ada
ketidaksempurnaan dalam undang-undang tersebut, yang berujung pada beberapa
kekalahan Komisi dalam sidang praperadilan penetapan tersangka korupsi. Fakta
di atas seolah membenarkan tudingan publik bahwa pemerintah Presiden Jokowi
sejalan dengan sikap pemerintah sebelumnya, yang tak berpihak kepada KPK dan
upaya pemberantasan korupsi dan memilih berdiam diri dalam kasus perseteruan
Kepolisian RI versus KPK. Ironisnya, dari dalam KPK sendiri juga ada upaya
mengurangi peran KPK.
Pelaksana tugas Ketua
KPK, Taufiequrachman Ruki, menganggap revisi undang-undang tersebut sudah
mendesak dilakukan. Ia mengusulkan agar Komisi memiliki wewenang mengeluarkan
surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atas perkara yang ditanganinya.
Semua pihak yang peduli akan pemberantasan korupsi dan terwujudnya pemerintahan
bersih di negeri ini patut merasa risau atas upaya pelumpuhan KPK yang sedang
berlangsung saat ini. Sebuah kemunduran besar jika atmosfer perlawanan
terhadap kejahatan luar biasa, yang sudah terbangun melalui keberadaan KPK,
itu akhirnya direduksi demi kepentingan-kepentingan yang mengatasnamakan
rakyat. Padahal, sesungguhnya hal itu justru membelakangi perasaan dan
kehendak rakyat.
Presiden Jokowi harus
menggunakan kewenangannya sebagai kepala negara untuk tidak membiarkan
pelemahan KPK terjadi. Kalau Presiden mendapat tekanan dari pihak-pihak
tertentu atau parlemen, rakyat Indonesia pasti akan membela. Toh, saat masa
kampanye, Jokowi berjanji akan memberantas korupsi. Karena itu, ia harus
konsisten memenuhi janjinya dengan cara tidak membiarkan terjadinya pelemahan
KPK.
Hal tersebut
ditegaskan dalam Nawa Cita poin keempat, yang berbunyi, "Menolak negara
lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas
korupsi, bermartabat, dan terpercaya". Secara khusus, Jokowi
menggarisbawahi, "Kami mendukung keberadaan KPK, yang dalam praktek
pemberantasan korupsi telah menjadi tumpuan harapan masyarakat." Meski
sering kali yang terjadi justru kekuatan kepentingan elite politik
mengalahkan moral publik.
Atau jangan-jangan
para "pemilik" negeri ini malah sudah tak berkenan: KPK terlalu
berisik dan mengganggu mereka. Jika benar demikian, demi KPK, rakyat serta
seluruh elemen masyarakat antikorupsi, generasi muda, dan mahasiswa harus
bergandeng tangan dengan tokoh masyarakat. Mereka harus merapatkan barisan
dan mengambil langlah-langkah konkret untuk mencegah pembusukan KPK. Mungkin
pula perlu gerakan massal agar pemerintah secepatnya mengembalikan keutuhan
KPK. Untuk melawan mafia kepentingan politik-ekonomi-kekuasaan, sikap kita
jelas: menolak upaya macam apa pun untuk memperlemah, apalagi meniadakan KPK
yang tetap merupakan lembaga ekstra untuk kejahatan ekstra. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar