Jumat, 26 Juni 2015

Menolak Pelemahan KPK

Menolak Pelemahan KPK

  M Nafiul Haris,  ;   Alumnus Fisipol Universitas Wahid Hasyim, Semarang
KORAN TEMPO, 23 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kondisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kali ini benar-benar menyesakkan, menyusul adanya serangkaian upaya pelemahan atas lembaga antirasuah itu. Dibanding sebelumnya, upaya pelemahan kali ini lebih sistematis karena Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah melalui Wakil Presiden Jusuf Kalla serta Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly terus mendorong sejumlah usul revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Dewan menganggap ada ketidaksempurnaan dalam undang-undang tersebut, yang berujung pada beberapa kekalahan Komisi dalam sidang praperadilan penetapan tersangka korupsi. Fakta di atas seolah membenarkan tudingan publik bahwa pemerintah Presiden Jokowi sejalan dengan sikap pemerintah sebelumnya, yang tak berpihak kepada KPK dan upaya pemberantasan korupsi dan memilih berdiam diri dalam kasus perseteruan Kepolisian RI versus KPK. Ironisnya, dari dalam KPK sendiri juga ada upaya mengurangi peran KPK.

Pelaksana tugas Ketua KPK, Taufiequrachman Ruki, menganggap revisi undang-undang tersebut sudah mendesak dilakukan. Ia mengusulkan agar Komisi memiliki wewenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atas perkara yang ditanganinya. Semua pihak yang peduli akan pemberantasan korupsi dan terwujudnya pemerintahan bersih di negeri ini patut merasa risau atas upaya pelumpuhan KPK yang sedang berlangsung saat ini. Sebuah kemunduran besar jika atmosfer perlawanan terhadap kejahatan luar biasa, yang sudah terbangun melalui keberadaan KPK, itu akhirnya direduksi demi kepentingan-kepentingan yang mengatasnamakan rakyat. Padahal, sesungguhnya hal itu justru membelakangi perasaan dan kehendak rakyat.

Presiden Jokowi harus menggunakan kewenangannya sebagai kepala negara untuk tidak membiarkan pelemahan KPK terjadi. Kalau Presiden mendapat tekanan dari pihak-pihak tertentu atau parlemen, rakyat Indonesia pasti akan membela. Toh, saat masa kampanye, Jokowi berjanji akan memberantas korupsi. Karena itu, ia harus konsisten memenuhi janjinya dengan cara tidak membiarkan terjadinya pelemahan KPK.

Hal tersebut ditegaskan dalam Nawa Cita poin keempat, yang berbunyi, "Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya". Secara khusus, Jokowi menggarisbawahi, "Kami mendukung keberadaan KPK, yang dalam praktek pemberantasan korupsi telah menjadi tumpuan harapan masyarakat." Meski sering kali yang terjadi justru kekuatan kepentingan elite politik mengalahkan moral publik.

Atau jangan-jangan para "pemilik" negeri ini malah sudah tak berkenan: KPK terlalu berisik dan mengganggu mereka. Jika benar demikian, demi KPK, rakyat serta seluruh elemen masyarakat antikorupsi, generasi muda, dan mahasiswa harus bergandeng tangan dengan tokoh masyarakat. Mereka harus merapatkan barisan dan mengambil langlah-langkah konkret untuk mencegah pembusukan KPK. Mungkin pula perlu gerakan massal agar pemerintah secepatnya mengembalikan keutuhan KPK. Untuk melawan mafia kepentingan politik-ekonomi-kekuasaan, sikap kita jelas: menolak upaya macam apa pun untuk memperlemah, apalagi meniadakan KPK yang tetap merupakan lembaga ekstra untuk kejahatan ekstra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar