Sabtu, 27 Juni 2015

Demokrasi Rasa Mobokrasi

Demokrasi Rasa Mobokrasi

  M Subhan SD,  ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 27 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Politik itu melelahkan. Figur seperti Prabowo Subianto saja yang dulu sangat kondang di TNI mengakui politik memang lebih melelahkan daripada militer. Padahal, militer kurang apa: siasat, trik, tenaga, kekuatan, kecepatan, akurasi, daya gempur, daya tahan, mental baja, pantang menyerah, dan sebagainya. Namun, rupanya politik lebih berat lagi.

Runyamnya, politik negeri kita yang sudah begitu melelahkan kini pada taraf menyebalkan. Panggung politik semakin tidak keruan. Banyak pemegang amanat negeri ini bicara, berperilaku, dan bertindak semaunya. Keputusan mereka membuat rakyat resah. Bukannya makin menyelami dan memahami kehendak rakyat dengan keputusan-keputusan yang menyejukkan dan mencerahkan, para penyelenggara negara ini malah membuat dahi rakyat berkerut.

Tengoklah ke Senayan. Selasa (23/6), meski diinterupsi dan ditolak tiga fraksi (PDI-P, Nasdem, dan Hanura), dana aspirasi daerah pemilihan tetap saja disetujui. Padahal, keputusan itu sudah ditolak publik. Tampak sekali pengambilan keputusan itu lebih tiranik ketimbang cara-cara demokratis. Inilah politik otot-ototan. Lima tahun lalu dana sejenis sudah ditolak.

Dalihnya untuk mempercepat pembangunan di dapil masing-masing karena banyak pembangunan mandek. Jujur saja, sulit dipercaya. Konsep trias politika sudah membagi fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. DPR itu legislatif, bukan eksekutif, bukan pula yudikatif. Fungsi legislatif adalah penganggaran, legislasi, pengawasan.

Soal penganggaran, terlalu sering terdengar DPR "bermain" proyek pembangunan. Makanya, tak sedikit anggota DPR yang dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi karena terlibat korupsi. Soal legislasi, selalu dapat rapor merah. DPR periode 2009-2014, misalnya, cuma menghasilkan 145 UU dari target 247 RUU (45 persen). Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015, DPR menargetkan 41 RUU. Tetapi, sampai pertengahan tahun (Juni) ini, baru rampung dua UU. Selama 2014-2015, DPR menurunkan targetnya menjadi 160 RUU dalam Prolegnas dan 37 RUU prioritas. Kita lihat saja bagaimana hasilnya.

Soal pengawasan, seharusnya DPR menjadi pengontrol yang kuat, termasuk mengawasi akselerasi pembangunan. Kalau pemerintah lamban, DPR harus keras. Kalau pemerintah gagal, gunakan hak-hak DPR, dan jika perlu makzulkan. Bukan dengan cara sekarang ngerecoki urusan eksekutif. Kalau pembangunan mandek karena anggaran kurang, tugas DPR untuk meningkatkan jumlah anggaran di dalam proses penganggaran bersama eksekutif. Jadi, maaf saja jika dana aspirasi dibaca sebagai siasat DPR yang tak mau kehilangan konstituen. Mereka ingin elektabilitas di dapil masing-masing tetap terjaga.

Di Senayan pula, agenda rapat tiba-tiba berubah. Itulah yang menimpa Komisi Pemilihan Umum, Senin (22/6), saat diundang rapat dengan Komisi II. Di surat undangan tertulis: evaluasi pelaksanaan Peraturan KPU. Namun, saat rapat digelar agendanya berubah: minta penjelasan KPU mengenai laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan atas pelaksanaan anggaran pemilu 2013-2014. Saat diingatkan, KPU malah dicerca, terutama oleh politisi Partai Golkar. Anehnya, beberapa anggota F-PG di komisi lain dipindahkan ke Komisi II hanya untuk rapat itu. KPU memang menetapkan partai yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM yang bisa ikut pilkada. Partai Golkar masih bersengketa. Dua pengurus "berdamai" sesaat untuk ikut pilkada. Benar-benar tekanan terhadap KPU.

DPR pula yang getol merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Pekan lalu, Menkumham Yasonna Laoly memasukkan revisi UU itu dalam Prolegnas 2015. Aneh juga pemerintah awalnya hendak merevisi UU itu. Kalau DPR, sih, tentu bukan berita baru. DPR tak pernah berhenti berkonfrontasi dengan KPK. Sekarang ini apa pun motif revisi, terlihat sebagai pelemahan KPK. Maklum, selama ini DPR termasuk yang menjadi korban KPK.

Dulu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menolak rencana revisi UU itu, masak sekarang Presiden Jokowi mau melemahkan KPK? Apalagi UU itu masih sangat efektif. Buktinya, dengan UU itu KPK menangkap pejabat dan anggota DPRD Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Jumat (19/6). Bayangkan jika penyadapan dipangkas, koruptor bebas bergentayangan.

Padahal, KPK tengah galau setelah serangan balik bertubi-tubi. Sampai-sampai tidak banyak yang mau menjadi calon komisioner KPK. Polri dan Kejagung lain lagi. Dua institusi itu mengusulkan anggotanya untuk dicalonkan sebagai komisioner KPK. Memang tidak ada larangan. Tetapi, aneh saja. Dahulu KPK dibentuk karena Polri dan Kejagung tidak mampu menjalankan amanat reformasi: memberantas korupsi. Kalau mau serius memberantas korupsi, daripada mengirim "utusan", Polri dan Kejagung lebih baik berbenah di dalam. Sebab, aroma mau mengontrol KPK lebih tercium. Inilah momentum memperbaiki kinerja dua institusi itu.

Menonton adegan-adegan politik belakangan ini sungguh melelahkan: politik gaduh terus, ekonomi ngos-ngosan, revolusi mental mungkin terpental. Terjebak dalam labirin kegaduhan. Barangkali inilah akibat, yang menurut Thomas Hobbes (1588-1679), manusia saling bermusuhan (bellum omnium contra omnes) karena sifat-sifat manusia: saling bersaing (competitio), selalu membela diri (defentio), dan haus dipuja (gloria). Entah mengapa demokrasi kita terasa mobokrasi (kekuasaan dikendalikan massa). Kamus Besar Bahasa Indonesia menulis, mobokrasi adalah pemerintahan yang dipegang oleh rakyat jelata yang tidak tahu seluk-beluk pemerintahan. Dan, negeri ini pun bukan milik segelintir penguasa. Kita, kata penyair Taufiq Ismail, adalah pemilik sah republik ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar