Islam Nusantara II
Sarlito Wirawan Sarwono ;
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia
|
KORAN SINDO, 28 Juni 2015
Semasa SMA saya paling
payah dalam ilmu kimia. Meski begitu saya masih ingat bahwa O2 disebut
oksigen atau zat asam. Tapi kalau sudah ditambah dengan hidrogen (zat air)
menjadi H2O, namanya sudah berubah menjadi air dan kalau ditambah lagi dengan
sulfur menjadi H2S04, namanya berubah lagi menjadi asam sulfat walaupun dalam
kedua senyawa itu masih ada unsur oksigen. Hakikat dari suatu zat akan
langsung hilang begitu dicampur dengan unsur lain. Jadi kalau oksigen ya
oksigenlah. Tidak ada oksigen Arab, oksigen Pakistan, atau oksigen Nusantara.
Tapi itu dalam ilmu
kimia, satu cabang dari ilmu fisika. Coba sekarang kita beralih ke luar ilmu
kimia. Kita semua tahu “kursi”, kan? Kursi di mana-mana juga kursi, yaitu
suatu benda yang dibuat manusia untuk dijadikan tempat duduk. Mau di Mekkah
atau di Cibinong, yang namanya kursi ya kursi. Tapi coba sekarang tambahkan
unsur lain, misalnya “kayu”, kursi kita menjadi kursi kayu, ada sifat kayunya
tetapi masih tetap kursi, kan?
Atau boleh kita tambah
lagi dengan “hijau”, menjadi “kursi kayu hijau”, tetapi sifat kekursiannya
masih melekat. Atau boleh ditambah terus sehingga menjadi misalnya “kursi
kayu hijau saya di sudut kamar tidur mama”. Banyak sekali tambahan unsurnya,
tetapi tetap tidak kehilangan sifat kekursiannya. Itulah yang ada dalam ilmu
metafisika atau filsafat.
Filsafat adalah ilmu
tentang berpikir. Dalam berpikir, manusia menggunakan ide yang diwujudkan
dalam kata atau istilah. Ada ide-ide yang bersifat universal (berlaku di mana
saja, kapan saja, di seluruh dunia), ada yang bersifat partikular (khusus,
bagian dari universal), bahkan ada yang singular (individual). “Kursi”,
misalnya, adalah ide universal, sedangkan “kursi hijau” adalah ide partikular
(khusus kursi yang berwarna hijau, tidak termasuk yang warna lain), sedangkan
“kursi hijau saya” adalah ide singular, hanya ada satusatunya, yaitu kursi
hijau yang itu, yangadadikamarmama. Tapi khususnya dalam ilmu kimia tidak ada
universal, partikular, singular, karena hal-hal yang lebih khusus
(partikular) itu senantiasa identik dengan yang umum (universal). Begitu juga
dalam matematika, angka “2” berarti dua, kapansaja, dimanasaja, apakah dia
umum maupun khusus. Ketika ditambah dengan angka lain, hakikatnya langsung
berubah, misalnya 22, 2.000, 2.000.000 (semua berubah hakikat, bukan lagi
dua).
Begitu juga dengan ide
tentang Islam Nusantara. Beberapa waktu lalu, sebelum puasa, di depan Munas
NU diMasjid Istiqlal, Presiden Jokowi meluncurkan istilah baru itu. Maksudnya
tentu saja adalah Islam yang dipraktikkan di Indonesia, yang sejuk, damai,
inklusif, moderat, dan toleran. Istilah ini langsung jadi kontroversial.
Mereka yang tidak setuju melayangkan protes kepada Presiden Jokowi.
Argumentasi mereka, Islam ya Islam, tidak perlu ditambah embel-embel, karena
rujukannya sudah jelas: Alquran dan hadis. Yang keluar dari itu malah bisa
menjadi aliran sesat.
Tapi argumentasi
seperti itu salah karena agama bukan tergolong ilmu kimia atau matematika.
Dalam ilmu kimia, memang benar tidak ada O2 lain dan dalam matematika tidak
ada angka 2 lain, selain yang sudah dimaksud dari sono-nya karena memang
tidak ada partikular atau singular yang berbeda dari universalnya.
Namun agama bukan
kimia dan juga bukan matematika. Analogi agama (termasuk Islam) yang lebih
tepat adalah “kursi” bukan “oksigen”. Islam yang universal memang ada, yaitu
hakikat yang diturunkan oleh Allah SWT melalui Rasulullah Muhammad SAW. Tapi
ketika Islam itu dipraktikkan oleh manusia biasa, langsung terjadi Islam yang
partikular.
Masalahnya, dalam mempraktikkan
agama, manusia selalu mengandalkan pikirannya (satu-satunya alat dalam sistem
psiko-fisik manusia untuk menganalisis masalah), maka terjadilah penafsiran.
Ketika masuk unsur tafsir, masuklah faktor kebiasaan, adat, kesenangan,
kepentingan kelompok, kebudayaan, dan 1.001 faktor lain yang memecah-mecah
keuniversalan Islam menjadi partikular, bahkan individual atau singular.
Karena itulah ada
Islam Sunni, Islam Syiah. Islam mazhab Syafii, Islam mazhab Hambali, Islam
Afghanistan, Islam Arab Saudi, dan Islam Nusantara. Di Nusantara ada Islam
Minangkabau yang patriarkat, Islam Tapanuli yang beradat persis sama dengan
Kristen Batak, Islam Jawa Tengah yang percaya kepada Nyai Loro Kidul, dan
bertradisi selamatan seperti orang Hindu, Islam Kudus yang masjidnya
bermenara seperti kuil Hindu dan tempat wudunya berornamen arca Hindu, dan
masih banyak lagi. Semua itu tidak kehilangan hakikat keislamannya walaupun
tidak sama dengan Islam yang di Arab.
Pada suatu waktu di
masa lalu, kebetulan saya dan dua orang Indonesia lain pernah salat Idul
Fitri di sebuah masjid di Birmingham, Inggris. Masjid itu adalah masjid
komunitas Pakistan setempat. Banyak penganan dijajakan (namanya juga
Lebaran), tetapi kami tidak tertarik karena penganan-penganan itu terlalu
manis buat lidah kami.
Maka kami pun langsung
masuk dan duduk mengambil tempat di dalam masjid dan mendengarkan khotbah
dalam bahasa Urdu yang tidak kami pahami.
Untunglah ketika
takbir dan salat dimulai, ayat Alfatihah yang dibacakan akrab di telinga kami
sehingga kami pun merasa khusuk seperti di rumah sendiri, sampai tibalah
saatnya di pengujung surat Alfatihah imam membaca ... “waladhdhoollin”..., maka dengan semangat 45 kami bertiga yang
berislam Nusantara segera menyahut keras-keras beramai-ramai ... “amiiinnn“.
Tapi ternyata hanya
kami bertiga yang mengamini secara penuh semangat. Jamaah yang lain diam
saja. Di situlah kami bertiga menyadari bahwa Islam Nusantara ya hanya
berlaku di Indonesia dan tentunya Islam yang non-Nusantara tidak bisa
dimasukkan ke Indonesia, apalagi dengan cara paksaan dan kekerasan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar