Arabisasi dan Tantangan Bangsa
Adjie Suradji ; Alumnus Fakultas Sains, Universitas Karachi,
Pakistan
|
KOMPAS, 29 Juni 2015
Eksistensi Negara
Islam di Irak dan Suriah tiba-tiba mendunia. Keinginan memperluas kekuasaan
dari Andalusia, Spanyol, sampai Jakarta, Indonesia, menjadi ambisinya.
Di Indonesia, ide
untuk mendirikan negara Islam-bagian dari imperium Theokrasi Arab-bukan hal
baru. Diawali dengan berdirinya kerajaan Islam di Demak, berlanjut dengan
Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), hingga Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) adalah bukti hadirnya gerakan separatis yang ingin mendirikan negara
Islam.
Sekarang lebih dari 15
kelompok ekstrem Islam di Indonesia ingin bersekutu dengan Negara Islam di
Irak dan Suriah (NIIS), dalam korelasi dengan daulah Islamiyah-negara
Islam-global.
Kelompok-kelompok
tersebut di antaranya adalah Mujahidin Indonesia Barat (BIB), Mujahidin
Indonesia Timur (MIT), Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), hingga Laskar Jundullah.
Mengapa para "Muslim pribumi" ini masih beranggapan bahwa
Indonesia, Tanah Air mereka, sebagai dar-ul-harb
alias medan perang?
Mengapa mereka ingin
menerapkan hukum Islam, menjalankan tradisi budaya serta bahasa dan gaya
Arab? Apakah kecintaan kepada Arab lebih besar dibandingkan kecintaan pada
budaya dan Tanah Air sendiri?
Arabisasi
Dalam kajian
fenomenologi, realitas sosial keinginan menerapkan hukum Islam dan Arabisasi
(menganut budaya Arab) adalah bentuk eksoterisme, yaitu perilaku simbolistik
yang menerjemahkan agama dalam simbol-simbol budaya.
Menurut Andree
Feillard dan Remy Madinier dalam La Fin
de l'Innocence, tak sedikit kaum intelektual yang mengaitkan fenomena
Arabisasi dalam kehidupan umat Islam di Indonesia sebagai proses geopolitik,
di mana fase radikalisasi keagamaan memang tengah terjadi di Indonesia.
Ada dua indikasi yang
menandai fenomena Islam radikal sejak akhir Orde Baru hingga sekarang.
Pertama, penyederhanaan ideologi. Kedua, manipulasi politik yang berkembang
menjadi Islam politik dengan pengaderan terorganisir-melalui pengajaran
praktis doktrin negara-agama.
Namun, apakah benar
dengan mencontoh kebiasaan atau berkiblat kepada budaya Arab, lantas bisa
meningkatkan kesalehan manusia Islam Indonesia?
Ternyata, budaya Arab
berbeda dengan ajaran Islam. Arabisasi adalah praktik mempertontonkan diri
demi memengaruhi masyarakat untuk menjadi bersikap dan berbudaya, seperti
orang Arab. Sedang ajaran Islam memiliki sifat "shalihun likulli zaman wa makan". Artinya, Islam
relevan untuk segala zaman dan tempat.
Sebagai ilustrasi,
kasus korupsi yang menjerat 325 kepala dan wakil kepala daerah, 76 anggota
DPR dan DPRD, serta 19 menteri dan pejabat lembaga negara (Kompas,
24/12/2014), adalah contoh ketika Islam hanya menjadi topeng kesalehan.
Bahkan, ditahannya
Suryadharma Ali (mantan Menteri Agama) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait pengadaan barang
dan jasa haji di Kementerian Agama tahun anggaran 2012-2013, adalah bukti
sekaligus penegasan bahwa tak sedikit penyelenggara negara yang terjangkit
Arabisasi: hanya mencontoh kebiasaan atau berkiblat kepada budaya Arab, namun
tak menjalankan ajaran Islam secara baik dan benar.
Kalau Islam tidak lagi
menjadi tuntunan moral dan spiritual, apa arti agama bagi mereka?
Pendekatan Arabisasi
secara masif, seperti pemberlakuan penggunaan jilbab bagi anggota Polisi
Wanita (Polwan) berdasarkan Keputusan Kapolri Nomor: 245/III/2015, juga tidak
menjamin bisa meng-hijab perilaku pemakainya.
Bahkan, dari berbagai
sumber riset yang dilakukan BPS, CRCS UGM, Yayasan Al Atsar Al-Islam
(Magelang) dan Mercy Mission-setidaknya dalam sepuluh tahun
terakhir-pertumbuhan Islam di Indonesia justru menurun. Kondisi ini
mengisyaratkan bahwa Arabisasi-pendekatan dengan menggunakan simbol-simbol
budaya Arab-tidak efektif jika tidak diikuti keteladanan perilaku moral.
Semakin berat
Islam Indonesia adalah
Islam yang moderat "tawasuth", tidak ekstrem. Hal itu dibuktikan
dengan Islam yang menjunjung tinggi multikulturalisme "tasamuh" dan
Muslim yang mencintai Tanah Airnya, bukan mencintai tanah di Jazirah Arab.
Maka, penting bagi Muslim Indonesia memahami "hubbul wathan minal
iman", cinta Tanah Air adalah sebagian dari iman.
Menjadi Muslim yang
baik berarti menjadi warga negara yang loyal kepada NKRI, menjunjung tinggi
nasionalisme dan Pancasila. Sesungguhnya bangsa Indonesia tak perlu mengekor
budaya bangsa lain (Arabisasi).
Eksistensi beberapa
kelompok ekstrem Islam-berkiblat kepada budaya Arab, ingin bergabung dengan
NIIS atau bahkan ingin menegakkan daulah Islamiyah, harus disikapi dengan
bijak. Artinya disesuaikan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Kultur pun
mengacu filosofi dasar bangsa Indonesia, yaitu anti kekerasan.
Tidak identik
Oleh sebab itu, ajaran
Islam tidak serta-merta bisa di identikkan dengan budaya Arab. Namun, perlu
disadari bersama bahwa di Indonesia masih banyak orang Islam yang lebih gemar
mempertontonkan budaya Arab daripada menjalankan ajaran Islam secara baik dan
benar.
Ke depan, tantangan
Islam semakin berat. Hasil riset yang menyatakan bahwa dalam sepuluh tahun
terakhir pertumbuhan Islam di Indonesia menurun-tak boleh dianggap enteng.
Bagaimana pun,
kehidupan telah memasuki terra incognito-daerah tak dikenal; wilayah masa
depan yang tak terpetakan (Alfin Toffler). Di era globalisasi-era informasi
global (Third Industrial Revolution)
apa pun bisa terjadi. Adanya sebutan Islam Modern dan Islam Tradisional,
Islam Moderat dan Islam Fundamental, tidak seharusnya menjadi pembeda.
Pengembangan budaya Islam harus tetap bersumber pada Al Quran.
Banyaknya pribumi
(Islam) yang lupa jati diri dan nasionalismenya sebagai warga masyarakat
Indonesia-dengan berpakaian, berbicara, bergaya, dan berperilaku, seperti
warga Jazirah Arab-pantas dikasihani.
Sikap hati-hati
terhadap infiltrasi budaya asing yang bisa mengaburkan identitas bangsa
adalah langkah bijak.
Selamat berpuasa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar