Agar Bidan Tak Ingkar pada Perannya
Oscar Yogi Yustiano ; Penulis lepas; Anggota Komunitas MannaDoa
|
JAWA POS, 24 Juni 2015
BIDAN merupakan petugas yang dikhususkan untuk
menolong persoalan kesehatan kaum perempuan dan anak. Bagaimana jika sang
bidan tidak menjalankan perannya sebagai penolong proses kelahiran? Apa yang melatarbelakangi
keadaan tersebut?
Beberapa waktu lalu, sebuah berita mengejutkan
datang dari Jakarta. Selasa (2/6/2015) seorang ibu melahirkan seorang bayi di
tangga Pasar Tanah Abang setelah ditolak dua bidan yang bertugas di klinik di
sekitar tempat itu (http://www.youtube. com/ watch? v= PHPkelgu0iM).
Peristiwa serupa pernah terjadi pada Husniyati, warga Kampung Kuwaro, Desa
Wanakerta, Kecamatan Sindang Jaya, Banten. Dia terpaksa melahirkan di toilet
karena ditolak bidan Puskesmas Balaraja ( http://
www.detakbanten.com/bantenhome/item/159-dicueki-bidan-husniyati-melahirkan-di-toilet).
Bidan yang notabene seorang perempuan
seharusnya mampu berempati atas penderitaan pasien yang akan melahirkan.
Namun, dengan berbagai alasan, mereka justru tega menolak untuk menolong
orang yang hendak bersalin. Mengapa peristiwa semacam itu bisa terjadi? Dari
beberapa peristiwa tersebut, seharusnya kita bisa menarik pelajaran berharga.
Pergeseran Nilai
Keberadaan bidan di negara ini memang tidak
dapat dikesampingkan. Sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan perempuan,
bidan diharapkan bisa menjadi mitra bagi perempuan, terutama di daerah
pedesaan, untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Bukan sebatas penolong dalam
persalinan. Idealnya, bidan juga bisa menjadi sahabat terbaik untuk mencari
informasi mengenai kesehatan organ reproduksi, perkembangan kehamilan, maupun
kondisi anak yang dilahirkan perempuan.
Namun, kenyataannya, masih banyak perempuan,
terutama dari kalangan miskin, yang tidak mendapat pelayanan kesehatan yang
sewajarnya. Robin Lim ( http://m.
news.viva.co.id..news/271456-robinlim-menentang-komersialisme-bersalin),
bidan yang mengabdi dengan melayani masyarakat di Bali, berkisah bahwa banyak
pasangan miskin yang terpaksa meninggalkan buah hati mereka di rumah sakit
karena tidak mampu membayar ongkos bersalin. Komersialisasi persalinan
merupakan kenyataan pahit di kebanyakan rumah persalinan di Indonesia.
Persoalan tidak berhenti di situ saja.
Pertumbuhan jumlah bidan di masyarakat, rupanya, belum diikuti kualitas
pelayanan kesehatan bagi kaum perempuan. Dr Emi Nurjasmi MKes selaku ketua
Ikatan Bidan Indonesia (IBI) resah atas kualitas bidan Indonesia yang terus
menurun. Dari hasil uji kompetensi oleh Kementerian Kesehatan terhadap
sejumlah bidan, ditemukan bahwa kemampuan mereka tidak sesuai dengan harapan.
Hal tersebut ditengarai terjadi karena semakin
menjamurnya sekolah tinggi kebidanan di Indonesia. Kurangnya pengawasan
mengakibatkan kualitas lulusan berbagai sekolah kebidanan itu kurang
terjamin. Persoalan-persoalan tersebut, jika terus dibiarkan, tentu akan
membahayakan nyawa perempuan dan anak dalam sebuah proses persalinan.
Saat untuk Becermin
Sudah saatnya negara ini membenahi pelayanan
kesehatan perempuan. Hari Bidan Nasional yang diperingati setiap 24 Juni
kiranya tepat dijadikan momentum untuk melakukan perubahan. Apalagi, menurut
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, angka kematian ibu saat melahirkan
di Indonesia meningkat dari 228 per 100 ribu kelahiran pada 2012 menjadi 359
per 100 ribu kelahiran.
Tanpa bermaksud membandingbandingkan profesi
yang ada, sesungguhnya bidan merupakan profesi yang mulia karena turut andil
dalam proses kehadiran seorang manusia di muka bumi. Bidan juga bisa dianggap
’’pahlawan’’ yang membantu seorang ibu bertarung antara hidup dan mati ketika
melahirkan bayinya. Jadi, profesi bidan tidak bisa dipandang sebelah mata.
Seorang bidan seharusnya bangga atas profesi yang
dipilihnya itu. Sudilah kiranya para bidan dan calon bidan menengok tujuan
mereka dalam bekerja. Apa sebenarnya motivasi Anda memilih profesi bidan ini?
Benarkah niat Anda ingin menolong orang lain atau sekadar mencari uang? Sudah
selayaknya pula seorang bidan melakukan pekerjaannya dengan segenap hati dan
jiwa, tidak sekadar mengumpulkan pundi-pundi semata. Sebab, sesungguhnya
nyawa ibu dan anak ada di tangan bidan.
Pemerintah sebagai pengambil keputusan atas
negara ini juga tidak bisa lepas tanggung jawab begitu saja. Sudah
sepantasnya pemerintah memperketat pengawasan terhadap sekolah kebidanan di
Indonesia agar bisa menghasilkan lulusan bidan yang berkualitas. Pemerintah
juga harus menindak para bidan yang nakal atau enggan melayani pasien. Dengan
demikian, di kemudian hari, tidak ada lagi kasus bidan yang menolak pasien.
Pemerintah melalui dinas-dinas terkait
sebaiknya terus membina para bidan dan tenaga kesehatan dengan memberikan
pelatihan. Selain itu, perlu pembinaan mental para petugas kesehatan secara
terus-menerus agar mereka bisa mengedepankan keramahan saat menangani pasien.
Bidan harus dilatih untuk mampu berempati dengan keadaan pasien.
Sebagai anggota masyarakat, kita patut
menghargai profesi bidan. Bagi Anda para pejuang kesehatan, kami ucapkan,
Selamat Hari Bidan Nasional! Teruskan perjuangan menyelamatkan para ibu dan
anak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar