Ketika
KPK Berada di Tubir Jurang
Saldi Isra ; Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur
Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
|
MEDIA INDONESIA, 01 Juni 2015
PERJALANAN waktu sekitar lima bulan terakhir benar-benar
menjadi mimpi buruk lembaga antirasywah Komisi Pemberantasan Korupsi. Paling
tidak, dalam bulan-bulan tersebut, lembaga yang diberi otoritas khusus untuk
memberantas korupsi itu seperti berjuang sendiri guna menghadapi serangan
mematikan dari berbagai penjuru mata angin. Bahkan, bila mengikuti
perkembangan dari hari ke hari, boleh jadi, lembaga yang dibentuk berdasarkan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 itu tengah menunggu nasib serupa dengan
lembaga antikorupsi yang pernah ada, yaitu tengah menunggu kematian.
Seperti masuk lingkaran sejarah yang selalu
berulang (l’histoire se repete),
tragedi yang menimpa KPK seperti akan mengulangi ujung tragis dari
lembaga-lembaga antirasywah yang pernah ada untuk memberantas korupsi.
Misalnya, di awal kekuasaan Orde Baru, Tim Pemberantasan Korupsi yang
dibentuk melalui Keppres No 28/1967 dengan fungsi represif dan preventif
harus gulung tikar di tengah kuatnya praktik perekonomian perkoncoan di tubuh
pemerintah. Bahkan, pada 1970, pembentukan Komisi Empat yang dipimpin mantan
Wakil Presiden Muhammad Hatta juga mengalami kondisi layu sebelum berkembang.
Perkembangan berikutnya, nasib tak jauh berbeda
juga dialami Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Dalam
posisi lembaga `sementara' yang dibuat Presiden Abdurrahman Wahid melalui PP
No 19/2000, melalui pengajuan judicial
review, Mahkamah Agung membatalkan dasar hukum pembentukan TGPTPK.
Pembatalan tersebut menyebabkan lembaga itu berakhir sebelum mampu
menunjukkan capaian yang berarti dalam memberantas tindak pidana korupsi,
termasuk kemungkinan membongkar balutan penyalahgunaan wewenang di sekitar
megaskandal BLBI.
Setelah rentetan kejadian itu, harapan besar
memberangus korupsi tumbuh subur dengan pembentukan KPK. Dengan segala wewenang yang diberikan UU No 30/2002, KPK
mampu menyentuh hampir semua lembaga yang dalam waktu cukup lama tidak
tersentuh oleh lembaga penegak hukum konvensional. Namun, sepak terjang yang
mungkin di luar perkiraan banyak kalangan menimbulkan resistensi terhadap KPK. Karena langkah itu, KPK harus berjuang melawan keganasan
zaman yang makin hari kian tak nyaman dengan KPK. Sejauh ini, KPK
bekerja dalam dua arah sekaligus: memberantas korupsi dan sekaligus berjuang
menghadapi tekanan yang nyaris tidak pernah surut.
Kriminalisasi
Sejak muncul kekhawatiran terhadap sepak
terjang KPK, banyak kalangan menilai bahwa manuver kekuatan-kekuatan politik di DPR menjadi ancaman
serius bagi kelangsungan lembaga antirasywah ini. Salah satu bentuk ancaman
yang diperkirakan sangat potensial dilakukan ialah memangkas wewenang
KPK dalam UU No 30/2002. Apabila diikuti dan dilacak perkembangan sekitar sewindu
terakhir, keinginan memangkas wewenang KPK nyaris tidak pernah surut. Bahkan,
sebagai bagian dari keinginan tersebut dibangun pula pandangan bahwa KPK
merupakan lembaga ad hoc.
Namun, setelah keinginan tersebut berlangsung
begitu lama, upaya merevisi UU No 30/2002 tidak mudah dilakukan. Salah satu
penyebabnya, kelompok masyarakat yang sejak semula sangat mendukung
eksistensi keberlanjutan agenda pemberantasan korupsi secara konsisten
melakukan perlawanan terhadap setiap keinginan membatasi wewenang KPK. Selain
itu, secara konstitusional, upaya mengubah sebuah undang-undang tak hanya
dapat ditentukan secara tunggal oleh kekuatan-kekuatan politik di DPR.
Berdasarkan Pasal 20 ayat (2) dan (3) UUD 1945, proses legislasi selalu
memerlukan keterlibatan eksekutif.
Artinya, bilapun semua kekuatan politik di DPR
menghendaki perubahan UU No 30/2002 dengan maksud mengurangi wewenang KPK,
selama pemerintah tak memiliki keinginan serupa, perubahan tidak akan
terjadi. Terbukti, sejak munculnya wacana untuk merevisi UU No 30/2002
keinginan sebagian kekuatan politik di DPR tidak berjalan karena pemerintah
(baca: presiden) memiliki pandangan berbeda. Paling tidak, dengan pandangan
berbeda pihak pemerintah, KPK terselamatkan dari segala upaya yang mencoba
menggunakan jalur legislasi.
Ketika ancaman melalui proses legislasi
tidak mudah direalisasikan, kriminalisasi benar-benar menggoyahkan KPK. Dimulai dari kasus
cecak vs buaya jilid I sampai cecak vs buaya jilid II. Pada kasus pertama,
pimpinan KPK Bibit S Rianto dan Chandra Hamzah mengalami kriminalisasi
terkait dengan kasus yang melibatkan Anggodo Widjojo. Dalam kasus itu, polisi
sengaja mencari-cari kesalahan kedua pimpinan KPK agar bisa dijadikan tersangka
sehingga memiliki dasar hukum menonaktifkan mereka. Dugaan kriminalisasi menggunakan institusi kepolisian
`membunuh' KPK ternyata benar karena hasil temuan Tim 8 membuktikan tidak
cukup bukti menetapkan Bibit-Chandra sebagai tersangka.
Begitu pula dengan jilid II, ujung dari
langkah KPK membongkar indikasi korupsi driving simulator memicu ketegangan
baru KPK dengan institusi kepolisian. Berawal dari rebutan penanganan kasus
tersebut, muncul kriminalisasi baru terhadap penyidik KPK. Beruntung, ujung
kejadian driving simulator ini tidak sampai menghentikan langkah KPK dalam
memberantas korupsi. Meskipun tidak berujung pada kelumpuhan KPK, peristiwa itu
telah menyeret kedua lembaga dalam ketegangan yang memilukan wajah penegakan
hukum negeri ini.
Ibarat perseteruan yang tak pernah usai, ujung penetapan
Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka dapat dikatakan sebagai titik kulminasi
pertikaian KPK dan kepolisian. Tidak sebatas menetapkan dua pemimpin KPK Bambang Widjojanto
dan Abraham Samad sebagai tersangka, perseteruan itu hampir berujung pada
kriminalisasi berbagai elemen di KPK. Contoh terakhir dari rangkaian
kriminalisasi tersebut ialah penetapan dan penangkapan penyidik KPK Novel Baswedan.
Dari semua kejadian itu, rangkaian kejadian
terakhir dapat dikatakan sebagai kejadian yang benar-benar membuat KPK
porak-poranda. Dalam batas penalaran yang wajar, sejak penetapan Bambang
Widjojanto dan Abraham Samad sebagai tersangka, KPK mati suri. Apalagi,
banyak peristiwa yang muncul kemudian seperti by design menggerus posisi KPK.
Misalnya, seorang penegak hukum dengan posisi sebagai
Kabareskrim Polri merasa tidak memiliki kewajiban apa pun untuk menyampaikan
laporan harta kekayaan kepada KPK. Selain menimbulkan penilaian yang tidak
wajar, sikap tersebut sangat jelas menisbikan kewajiban hukum sebagai penyelenggara negara. Celakanya, ketidakpatuhan
tersebut diaminkan wakil presiden.
Penyidik KPK
Selain soal ketegangan hubungan dengan
kepolisian, hantaman terbaru yang menimpa KPK ialah serangkaian putusan hakim
dengan menggunakan jalur praperadilan. Semua itu bermula dari dikabulkannya
permohonan praperadilan Komjen Budi Gunawan. Ketika pintu praperadilan dibuka
untuk mempersoalkan penetapan tersangka, dapat dipastikan penetapan tersangka
oleh KPK akan menjadi sasaran utama untuk dimohonkan. Terbukti, setelah
dikabulkan permohonan Budi Gunawan, KPK seperti mendapat tugas baru:
menghadapi proses praperadilan. Semuanya semakin sulit dihindarkan setelah
Mahkamah Konstitusi membenarkan penetapan tersangka menjadi objek
praperadilan.
Dari
beberapa putusan praperadilan yang dikabulkan, kekhawatiran tidak hanya pada
terpecahnya fokus KPK, tetapi juga ancaman lumpuhnya lembaga itu karena
dinilai melakukan tindakan yang bertentangan dengan aturan hukum. Salah satu yang
membuat resah KPK ialah adanya substansi putusan praperadilan dalam kasus
Hadi Poernomo yang menyatakan penyelidik dan penyidik independen KPK dianggap menyalahi UU No 30/2002 alias ilegal. Tidak hanya putusan
pengadilan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
Yuddy Chrisnadi pun memiliki pandangan serupa (Media
Indonesia, 30/5).
Terkait dengan masalah itu, dengan menggunakan
penafsiran sistematis, pendapat yang menyatakan KPK hanya dibatasi menggunakan
penyelidik dan penyidik dari kepolisian dan kejaksaan tidak sejalan dengan UU
No 30/2002. Ihwal masalah itu, dalam Penjelasan
UU No 30/2002 dinyatakan bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenang
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, KPK di samping mengikuti hukum
acara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan UU No
31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan
UU No 20/2002 juga dalam UU No 30/2002 dimuat hukum acara tersendiri sebagai
ketentuan khusus (lex specialis).
Dari penjelasan tersebut, UU No 30/2002
memiliki hukum acara tersendiri, selain yang diatur dalam UU No 30/1999
maupun dalam ketentuan KUHAP. Di tengah `rimba' hukum acara, tentu asas hukum
lex specialis derogat legi generalis
akan menjadi acuan utama.
Misalnya, Pasal 21 ayat (4) UU No 30/2002 menyatakan
pimpinan KPK juga merupakan penyidik dan penuntut umum. Ketentuan itu makin
menegaskan kewenangan penyidik tidaklah monopoli kepolisian. Praktik selama ini, pimpinan KPK tak hanya berasal dari
polisi, artinya selain polisi dapat menjadi penyidik. Dalam tataran praktik
kewenangan penyidik ini tentu bisa dilaksanakan dan didelegasikan staf atau
pegawai yang direkrut sendiri oleh KPK.
Secara hukum, ihwal penyidik KPK harusnya
merujuk kepada ketentuan Pasal 43 dan 45 UU No 30/2002. Dinyatakan,
penyelidik adalah penyelidik pada KPK diangkat dan diberhentikan KPK.
Kemudian, penyelidik sebagaimana dimaksudkan ketentuan tersebut melaksanakan
fungsi penyelidikan tindak pidana korupsi. Sementara itu, penyidik adalah penyidik
pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Ditegaskan lagi, penyidik
melaksanakan fungsi penyidikan tindak pidana korupsi. Kalaupun ada pembatasan, Pasal 51 ayat (1) UU No 30/2002
menyatakan penuntut berasal dari jaksa penuntut umum.
Berdasarkan penjelasan tersebut, isu pokok di
sekitar penyelidik dan penyidik KPK ialah ada-tidaknya pengangkatan oleh
pimpinan KPK. Sejauh diangkat, penyidik dapat menyidik kasus korupsi yang
ditangani KPK. Dengan merujuk ketentuan itu pula, seorang penyidik yang
berasal dari kepolisian pun tidak dapat menjadi penyidik KPK bila tidak
diangkat pimpinan KPK. Karena posisi penyidik KPK bergantung pada
pengangkatan pimpinan KPK, UU No 30/2002 mensyaratkan penyelidik dan penyidik
yang berasal dari polisi dan jaksa diberhentikan sementara.
Terlepas dari perdebatan di sekitar
masalah-masalah itu, sekiranya keinginan untuk mengurangi KPK tidak dihentikan, banyak celah yang dapat
digunakan dan dasar argumentasinya dapat dicarikan sehingga kelihatan logis.
Namun, di tengah
keberadaan KPK yang makin tidak menguntungkan, lembaga seperti kepolisian
harus mengubah cara pandang mereka kepada KPK. Selain itu, pimpinan tertinggi
negeri ini harus menunjukkan keberpihakan kepada KPK. Presiden yang dipilih
langsung oleh rakyat harus mau berdiri pada garda terdepan untuk melindungi
KPK. Tanpa itu, tidak saja sulit menarik KPK menjauh dari tubir jurang,
tetapi juga akan muncul praduga bahwa negara ini tidak pernah serius
mengenyahkan korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar