Senin, 29 Juni 2015

Netizen di Tengah Kepungan Kabar Hoax

Netizen di Tengah Kepungan Kabar Hoax

  Rahma Sugihartati ;   Dosen Departemen Ilmu Informasi dan Perpustakaan
FISIP Universitas Airlangga Surabaya
JAWA POS, 29 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

JATI Diri Jawa Pos edisi Jumat, 26 Juni 2015, menulis kekhawatiran harian ini terhadap penggunaan media sosial oleh berbagai pihak untuk menyebarluaskan kabar hoax atau berita bohong. Bagi netizen yang tidak bersikap kritis, bukan tidak mungkin mereka akan menelan mentah-mentah kabar hoax, terprovokasi, kemudian melakukan aksi-aksi yang kurang elok.

Seperti dilaporkan, belum lama ini netizen di Indonesia hampir saja menjadi korban hoax tentang jamaah yang seolah-olah dilarang menjalankan ibadah di sebuah masjid dengan dihalang-halangi Pemprov DKI Jakarta yang memasang barikade tembok dan kawat berduri. Dalam berita hoax itu, dikesankan yang tengah terjadi di Jakarta seperti yang terjadi di Jalur Gaza: Kaum muslim Palestina dibatasi untuk beribadah. Untuk menambah kesan dramatis, hashtag yang dipasang #GazaInJakarta. Belakangan kemudian terbukti kabar itu tidak benar dan terlalu didramatisasi.

Korban Kabar Hoax

Dewasa ini, siapa pun memang dengan mudah memanfaatkan media sosial dan internet untuk menciptakan berbagai isu yang kontroversial, terlepas apakah isu itu benar atau hanya setting-an. Kehadiran media sosial dan dunia digital saat ini benar-benar masif serta telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Karena itu, dalam hitungan detik, apa yang dilempar ke dunia digital akan menyebar ke berbagai belahan dunia seketika itu.

Berdasar data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), tercatat pada 2013 jumlah netizen di Indonesia 71,2 juta. Lalu, pada 2014 jumlah netizen naik menjadi 88,1 juta. Artinya, gadget kini tidak sekadar dimanfaatkan untuk menelepon dan berkomunikasi dengan keluarga atau kenalan, tetapi juga berselancar di dunia maya: membangun jaringan sosial, mencari informasi, berkirim pesan instan, membaca berita terkini, serta mengunduh video. 

Masalahnya sekarang: Dampak sosial seperti apakah yang timbul sehubungan dengan makin masifnya kepemilikan teknologi informasi dan dunia digital?
Kendati akselerasi dan luas cakupannya berbeda-beda, kehadiran teknologi informasi diakui atau tidak telah terbukti mengubah segala sesuatu di dalam dunia di mana kita tinggal. Saat ini, boleh dibilang, tidak akan ada satu pun dari institusi, orang, bahkan pemerintahan yang tidak terkena serta harus menanggung dampak perkembangan teknologi informasi. Paul DiMaggio et al. (2001), misalnya, menggambarkan bahwa internet atau jejaring komputer di dunia maya memiliki potensi untuk secara radikal mengubah bukan hanya bagaimana cara seseorang bertransaksi bisnis dengan orang lain, tetapi juga esensi atau hakikat keberadaan manusia di dalam lingkungan masyarakat.

Penggunaan jejaring komputer yang semula hanya bisa diakses oleh sekelompok kecil elite, menurut Smith dan Kollock (2005), kini telah makin luas dan menjadi subjek perdebatan politik, kepentingan masyarakat, serta bagian dari budaya populer. Berbagai istilah seperti cyberspace, net, online, web, dan lain sebagainya kini tidak lagi terasa asing di telinga masyarakat. Juga, apa pun istilah yang digunakan, tampak jelas kehadiran jejaring komputer telah membuat orang bisa menciptakan ruang sosial baru di mana satu dengan yang lain dapat bertemu dan berinteraksi di dunia maya yang lintas batas serta melampaui ruang dan waktu.

Dengan memanfaatkan jaringan media interaksi seperti e-mail, chat, dan sistem konferensi seperti Usenet, masyarakat kini telah membentuk ribuan kelompok untuk membahas banyak topik, saling melontarkan unek-unek, berdiskusi, bahkan berperang di dunia maya. Kehadiran jejaring komputer dan media sosial menyebabkan orangorang tidak lagi terkungkung dalam dunia yang sempit.

Cuma, yang menjadi masalah, ketika netizen kita belum memiliki kesadaran dan sikap kritis yang memadai, risiko untuk menjadi korban kabar hoax menjadi sangat besar. Karakteristik komunitas virtual di cyberspace memungkinkan orang untuk berkomunikasi dengan cepat meskipun berada di tempat yang berbeda dan memungkinkan anggotanyauntukmenyembunyikan identitas (anonim) sehingga berpeluang muncul multiplikasi peran serta jati diri. Maka, yang terjadi kemudian adalah risiko netizen menjadi korban hoax. Netizen yang tidak bersikap kritis, tanpa memeriksa terlebih dahulu, bisa saja termakan provokasi dan melakukan aksi-aksi yang merusak tatanan.

Efek Samping Media Sosial

Berbeda dengan telepon yang hanya berfungsi sebagai sarana telekomunikasi yang terbatas, media sosial dan internet pada hakikatnya adalah sebuah dunia imajiner. Setiap orang dapat melakukan apa saja ketika berselancar di dunia maya, bahkan melakukan sesuatu yang mungkin belum pernah ada dalam kenyataan sehari-hari. Media sosial dewasa ini makin digemari masyarakat. Sebab, ia sesungguhnya adalah substitusi dari ruang publik nyata yang belakangan ini makin menghilang.

Bagi pihak-pihak yang ingin mengail di air keruh, kehadiran media sosial saat ini telah menjadi ladang persemaian baru untuk mengacaukan ketenteraman masyarakat, bahkan menjadi alat politik kotor. Kehadiran Facebook dan media komunikasi di dunia maya yang dramatis dalam dua–tiga tahun terakhir mungkin benar telah membuka belenggu isolasi serta menjadikan wawasan dan jaringan sosial netizen makin luas. Namun, pada saat yang sama, tawaran keterbukaan informasi itu ternyata juga menyebabkan netizen yang tak siap rentan teperdaya.

Munculnya kabar-kabar hoax adalah salah satu efek samping perkembangan teknologi informasi yang tidak kita inginkan. Selain kabar hoax, efek samping yang tak kalah mencemaskan adalah munculnya kasus perdagangan dan pelacuran anak yang pemasarannya menggunakan jalur online Facebook. Di beberapa daerah lain, juga dilaporkan kasus remaja putri yang menghilang, minggat dari rumah gara-gara kecantol lelaki idola yang dikenal hanya lewat Facebook. Pendek kata, makin menjamurnya pengguna media sosial, jika tidak diimbangi dengan sikap kritis netizen, bisa merugikan kita sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar