Netizen di Tengah Kepungan Kabar Hoax
Rahma Sugihartati ;
Dosen Departemen Ilmu Informasi dan
Perpustakaan
FISIP
Universitas Airlangga Surabaya
|
JAWA POS, 29 Juni 2015
JATI Diri Jawa Pos edisi Jumat, 26 Juni 2015,
menulis kekhawatiran harian ini terhadap penggunaan media sosial oleh
berbagai pihak untuk menyebarluaskan kabar hoax atau berita bohong. Bagi
netizen yang tidak bersikap kritis, bukan tidak mungkin mereka akan menelan
mentah-mentah kabar hoax, terprovokasi, kemudian melakukan aksi-aksi yang
kurang elok.
Seperti dilaporkan, belum lama ini netizen di
Indonesia hampir saja menjadi korban hoax tentang jamaah yang seolah-olah
dilarang menjalankan ibadah di sebuah masjid dengan dihalang-halangi Pemprov
DKI Jakarta yang memasang barikade tembok dan kawat berduri. Dalam berita
hoax itu, dikesankan yang tengah terjadi di Jakarta seperti yang terjadi di
Jalur Gaza: Kaum muslim Palestina dibatasi untuk beribadah. Untuk menambah
kesan dramatis, hashtag yang dipasang #GazaInJakarta. Belakangan kemudian
terbukti kabar itu tidak benar dan terlalu didramatisasi.
Korban Kabar Hoax
Dewasa ini, siapa pun memang dengan mudah
memanfaatkan media sosial dan internet untuk menciptakan berbagai isu yang
kontroversial, terlepas apakah isu itu benar atau hanya setting-an. Kehadiran
media sosial dan dunia digital saat ini benar-benar masif serta telah menjadi
bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Karena itu, dalam hitungan
detik, apa yang dilempar ke dunia digital akan menyebar ke berbagai belahan dunia
seketika itu.
Berdasar data Asosiasi Penyelenggara Jasa
Internet Indonesia (APJII), tercatat pada 2013 jumlah netizen di Indonesia
71,2 juta. Lalu, pada 2014 jumlah netizen naik menjadi 88,1 juta. Artinya,
gadget kini tidak sekadar dimanfaatkan untuk menelepon dan berkomunikasi
dengan keluarga atau kenalan, tetapi juga berselancar di dunia maya:
membangun jaringan sosial, mencari informasi, berkirim pesan instan, membaca
berita terkini, serta mengunduh video.
Masalahnya sekarang: Dampak sosial
seperti apakah yang timbul sehubungan dengan makin masifnya kepemilikan
teknologi informasi dan dunia digital?
Kendati akselerasi dan luas cakupannya
berbeda-beda, kehadiran teknologi informasi diakui atau tidak telah terbukti
mengubah segala sesuatu di dalam dunia di mana kita tinggal. Saat ini, boleh
dibilang, tidak akan ada satu pun dari institusi, orang, bahkan pemerintahan
yang tidak terkena serta harus menanggung dampak perkembangan teknologi
informasi. Paul DiMaggio et al. (2001), misalnya, menggambarkan bahwa
internet atau jejaring komputer di dunia maya memiliki potensi untuk secara
radikal mengubah bukan hanya bagaimana cara seseorang bertransaksi bisnis
dengan orang lain, tetapi juga esensi atau hakikat keberadaan manusia di
dalam lingkungan masyarakat.
Penggunaan jejaring komputer yang semula hanya
bisa diakses oleh sekelompok kecil elite, menurut Smith dan Kollock (2005),
kini telah makin luas dan menjadi subjek perdebatan politik, kepentingan
masyarakat, serta bagian dari budaya populer. Berbagai istilah seperti
cyberspace, net, online, web, dan lain sebagainya kini tidak lagi terasa
asing di telinga masyarakat. Juga, apa pun istilah yang digunakan, tampak
jelas kehadiran jejaring komputer telah membuat orang bisa menciptakan ruang
sosial baru di mana satu dengan yang lain dapat bertemu dan berinteraksi di
dunia maya yang lintas batas serta melampaui ruang dan waktu.
Dengan memanfaatkan jaringan media interaksi
seperti e-mail, chat, dan sistem konferensi seperti Usenet, masyarakat kini
telah membentuk ribuan kelompok untuk membahas banyak topik, saling
melontarkan unek-unek, berdiskusi, bahkan berperang di dunia maya. Kehadiran
jejaring komputer dan media sosial menyebabkan orangorang tidak lagi
terkungkung dalam dunia yang sempit.
Cuma, yang menjadi masalah, ketika netizen
kita belum memiliki kesadaran dan sikap kritis yang memadai, risiko untuk
menjadi korban kabar hoax menjadi sangat besar. Karakteristik komunitas
virtual di cyberspace memungkinkan orang untuk berkomunikasi dengan cepat
meskipun berada di tempat yang berbeda dan memungkinkan
anggotanyauntukmenyembunyikan identitas (anonim) sehingga berpeluang muncul
multiplikasi peran serta jati diri. Maka, yang terjadi kemudian adalah risiko
netizen menjadi korban hoax. Netizen yang tidak bersikap kritis, tanpa
memeriksa terlebih dahulu, bisa saja termakan provokasi dan melakukan
aksi-aksi yang merusak tatanan.
Efek Samping Media
Sosial
Berbeda dengan telepon yang hanya berfungsi
sebagai sarana telekomunikasi yang terbatas, media sosial dan internet pada
hakikatnya adalah sebuah dunia imajiner. Setiap orang dapat melakukan apa
saja ketika berselancar di dunia maya, bahkan melakukan sesuatu yang mungkin
belum pernah ada dalam kenyataan sehari-hari. Media sosial dewasa ini makin
digemari masyarakat. Sebab, ia sesungguhnya adalah substitusi dari ruang
publik nyata yang belakangan ini makin menghilang.
Bagi pihak-pihak yang ingin mengail di air
keruh, kehadiran media sosial saat ini telah menjadi ladang persemaian baru
untuk mengacaukan ketenteraman masyarakat, bahkan menjadi alat politik kotor.
Kehadiran Facebook dan media komunikasi di dunia maya yang dramatis dalam
dua–tiga tahun terakhir mungkin benar telah membuka belenggu isolasi serta
menjadikan wawasan dan jaringan sosial netizen makin luas. Namun, pada saat
yang sama, tawaran keterbukaan informasi itu ternyata juga menyebabkan
netizen yang tak siap rentan teperdaya.
Munculnya kabar-kabar hoax adalah salah satu
efek samping perkembangan teknologi informasi yang tidak kita inginkan.
Selain kabar hoax, efek samping yang tak kalah mencemaskan adalah munculnya
kasus perdagangan dan pelacuran anak yang pemasarannya menggunakan jalur
online Facebook. Di beberapa daerah lain, juga dilaporkan kasus remaja putri
yang menghilang, minggat dari rumah gara-gara kecantol lelaki idola yang
dikenal hanya lewat Facebook. Pendek kata, makin menjamurnya pengguna media
sosial, jika tidak diimbangi dengan sikap kritis netizen, bisa merugikan kita
sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar