#AyoMondok Menjawab Persoalan Besar Bangsa
Anton Prasetyo ; Pengajar di Pondok Pesantren Nurul Ummah,
Yogyakarta
|
MEDIA INDONESIA, 22 Juni 2015
MUTAKHIR, gerakan nasional #AyoMondok ramai
diperbincangkan. Pertanyaannya, kenapa gerakan yang digagas Rabithah Ma’ahid
Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI-NU) ini cepat mendapat respons positif dari
pemerintah dan mayoritas masyarakat? Bukankah di negeri ini sudah banyak
lembaga pendidikan yang lebih maju? Sementara, pondok pesantren masih dikenal
sebagai lembaga pendidikan tradisional yang –oleh sebagian golongan– dianggap
ketinggalan zaman.
Jawaban utama atas semua pertanyaan tersebut
pasti bukan karena pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua dan
khas di Indonesia. Khoirul Anam (2015) menuliskan bahwa pada 1718 di
kabupaten Pasuruan telah berdiri sebuah pesantren yang terkenal dengan nama
Sidogiri. Beberapa tahun kemudian, pesantren-pesantren ‘pionir’ turut
bermunculan, di antaranya Pesantren Jamsa ren, Solo (1750), Miftahul Huda,
Malang (1768), Buntet, Cirebon (1785), dan Darul Ulum Banyuanyar, Madura
(1787).
Jika yang dipermasalahkan ialah kualitas
intelektual siswa (santri) pondok pesantren lebih mendalam jika dibanding kan
dengan jebolan lembaga pendidikan lain, jawabannya bisa `ya'. Namun, jawaban
itu tidak mutlak karena negara kita ¬selain mengirim TKI ke negara tetangga
pada setiap tahunnya¬ selalu mengirimkan anak-anak muda yang menguasai ilmu
pengetahuan brilian, dan banyak dari mereka bukan lulusan pondok pesantren.
Realitas semacam ini sejatinya menunjukkan
bahwa kedalaman intelektual tidak menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat
akan kenyamanan hidup. Ada sisi lain, selain intelektual, yang diharapkan
masyarakat dari pondok pesantren. Harapan tersebut ialah jawaban atas persoalan-persoalan
yang selama ini mendera bangsa Indonesia, bahkan dunia.Masyarakat memiliki trust bahwa pondok pesantren merupakan
lembaga pendidikan yang mampu menyelesaikan persoalan-persoalan besar
tersebut.
Dua persoalan besar
Gerakan radikal dan krisis moral merupakan dua
permasalahan utama bangsa. Keduanya membuat bangsa menjadi tidak aman, busung
lapar, anak putus sekolah di manamana, hukum bak pisau yang tumpul ke atas,
hingga virus korupsi semakin merebak dan menggerogoti para penggawa bangsa.
Sampai sekarang, upaya-upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan
masalah-masalah tersebut hasilnya masih nihil.
Gerakan radikal dimasukkan ke draf persoalan
besar bangsa karena segala tindak tanduknya selalu mengusik ketenteraman
masyarakat. Bagi masyarakat umum, mereka selalu waswas untuk melakukan
aktivitas rutin yang oleh kaum radikal dianggap menyimpang.Terlebih, kaum
radikal juga acap kali menyebar teror yang tidak menyedapkan. Belum lagi
mengingat rekam jejak pergerakannya, berulang kali bom diledakkan di
tempattempat umum hingga merusak fasilitas publik dan menelan korban nyawa
masyarakat tidak berdosa.
Ketidaknyamanan juga dirasakan sesama penganut
agama (Islam). Terhadap sesama kaum muslimin (umat Islam) yang tidak sepaham,
kaum radikal selalu melontarkan perkataan-perkataan tidak sedap. Bahkan,
tradisi-tradisi keagamaan --yang notabene ciptaan para waliyullah dan ulama--
dan sudah lama mendarah daging di kalangan umat pun tak lepas dari hujatan. Mereka
seakan merasa menjadi tangan kanan Tuhan yang mendapatkan hak prerogatif
untuk masuk ke surga.Terbukti, terhadap kelompok yang berseberang dengannya,
mereka sering membidahkan, mengafirkan, bahkan mengancam terjerumus ke
neraka.
Oleh sebagian besar pendapat, tumbuh-suburnya
gerakan radikalisme di negara ini disebabkan oleh dangkalnya ilmu
agama.Pelaku radikalisme mempelajari ilmu agama secara instan tanpa peduli
kekuatan fondasi. Padahal, terkait dengan hal ini, Imam Ibnul Qayyim (691–751
H) pernah berpesan, “Barang siapa yang ingin meninggikan bangunannya, maka
hendaknya ia menguatkan dan mengukuhkan fondasinya serta bersungguh-sungguh
memperhatikannya. Karena sesungguhnya, ketinggian bangunan sesuai dengan
kadar kekuatan dan kekukuhan fondasinya.”
Di Indonesia, kaum radikal banyak yang belajar
agama (hanya) dengan buku-buku terjemahan. Banyak dari mereka tidak menguasai
bahasa Arab, bahkan membaca saja tidak lancar. Padahal, bahasa komunikasi
antara Tuhan, nabi, dan umat manusia di sekeli ling nabi ialah bahasa Arab.
Dengan kata lain, ketika seseorang akan memperdalam agama Islam, ia harus me
nguasai bahasa Tuhan, yakni bahasa Arab.
Perbedaan mempelajari agama Islam antara
menggunakan bahasa Arab dan terjemah sangat besar. Nahwu dan sharaf (tata
bahasa Arab) menjadi kunci utama dalam memahami agama Islam. Dikisah kan,
Imam Al-Duali tercengang mendengar seseorang membaca Alquran (Qs At-Taubah:
3), Innallaha barii’un minal
musyrikiina wa rasulihi. Ayat ini artinya, “Sesungguhnya, Allah
membiarkan orang-orang musyrik dan rasul-Nya.” Padahal, ayat tersebut
mestinya dibaca Innallaha barii’un minal musyrikiina wa rasuluhu yang artinya
“Sesungguhnya, Allah dan rasul-Nya membiarkan orang musyrik.”
Kisah ini menunjukkan betapa kesalahan satu harakat (sandangan) dalam bahasa Arab
–karena keawaman tata bahasa– memiliki dampak yang sangat besar. Sementara,
kesalahan seperti ini jika dibiarkan akan menjadikan kerusakan pemahaman
agama yang berdampak pada kesalahan amaliah. Pondok pesantren merupakan
lembaga pendidikan yang masih telaten mengajarkan ilmu tata bahasa Arab
hingga saat ini.
Kelompok radikalisme juga menjadi sumber
ketidaknyamanan masyarakat karena bersikap eksklusif. Mereka menganggap bahwa
pendapat diri dan golongannya merupakan yang paling benar. Sebaliknya,
pendapat orang atau golongan lain selalu salah. Pondok pesantren mengajarkan
kepada para santri untuk selalu bersikap inklusif, toleran terhadap
perbedaan. Pondok pesantren memiliki salah satu model belajar bernama
‘musyawarah’.
Di dalam kelas musyawarah, para santri
dituntut aktif untuk menyuarakan pendapatnya terhadap masalah keislaman
(baca: biasanya persoalan fikih) dengan referensi kitab-kitab induk. Dalam
prosesnya, antara satu santri dengan yang lainnya sering tidak mendapatkan
titik temu jawaban terhadap satu masalah, karena mereka berbeda pandangan
dengan referensi yang sama-sama kuat. Terhadap kenyataan ini, para santri
tidak memaksakan menyamakan jawaban, tetapi mereka memiliki jawaban yang
beragam yang semua bersumber dari ulama-ulama terdahulu. Melalui kelas kecil
inilah para santri tidak hanya dituntut untuk memperluas pengetahuan agama,
tetapi juga sikap toleran terhadap perbedaan yang ada.
Sementara, untuk dampak dari krisis moral, tak
dapat ragukan lagi. Hukum bisa dibeli, korupsi merajalela, suap-menyuap di
mana-mana, semua ialah dampak dari krisis moral penduduk bangsa. Yang
mengejutkannya, banyak lembaga pendidikan formal yang mestinya mendidik anak
asuhnya agar bermoral malah bertindak amoral. Terbukti, banyak pendidik yang
bertindak amoral (seks di luar nikah) dengan anak didik. Banyak pula
perguruan tinggi menjual ijazah palsu kepada masyarakat umum yang gila
pangkat dan jabatan.
Sementara itu, pondok pesantren merupakan lembaga
pendidikan full day school. Semenjak
bangun tidur hingga tidur lagi, bahkan selama tidur, para santri selalu
mendapatkan dan harus mengamalkan pendidikan. Di pondok pesantren, santri
tidak hanya dituntut menjadi seorang yang ilmiah tanpa amaliah ataupun
amaliah tanpa ilmu, tetapi mereka harus menjadi sosok yang ilmiah yang
amaliah. Inilah nilai pendidikan pondok pesantren yang diharapkan dapat
memperbaiki moral bangsa.
Bagi pondok pesantren, adanya gerakan nasional
#AyoMondok merupakan berkah tersendiri. Hanya saja, dengan adanya ‘berkah’
ini, sanggupkah pondok pesantren mempertahankan jati diri? Harapannya begitu,
jangan sampai ‘berkah’ ini justru menjadikan pondok pesantren ikut tersungkur
menjadi lembaga pendidikan yang ‘apalahapalah’ itu. Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar