Korban Narkoba bukan sekadar Angka
Sudirman Nasir ; Pengajar/Peneliti di Fakultas Kesehatan
Masyarakat
Universitas
Hasanuddin, Makassar
|
MEDIA INDONESIA, 26 Juni 2015
BANYAK negara, organisasi, dan kelompok
masyarakat pada 26 Juni setiap tahun memperingati Hari Antinarkoba
Internasional (HANI). Peringatan itu dipelopori PBB untuk melawan
penyalahgunaan obat-obatan dan penjualan obat secara ilegal. Peringatan
seperti itu dimulai sejak 26 Juni 1988.Tanggal tersebut dipilih untuk
mengenang pengungkapan kasus besar perdagangan opium di Humen, Guangdong,
Tiongkok, oleh seorang pejabat jujur bernama Lin Zexu, sebelum meletusnya
Perang Candu di negeri tersebut.
Lin Zexu (30 Agustus 178522 November 1851)
ialah pejabat yang hidup pada masa Kaisar Daoguang dari Dinasti Qing. Ia juga
seorang filsuf, ahli kaligrafi, dan penyair. Ia terkenal akan perjuangannya
menentang perdagangan opium di Tiongkok. Sosok seperti Lin Sexu sangat
penting dalam upaya global mengatasi narkoba. Pencanangan HANI ditandai dengan
dikeluarkannya resolusi PBB 42/112 pada 7 Desember 1987.
Saat ini di Indonesia, masalah narkoba sedang
mendapatkan sorotan tajam. Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan banyak aparat
negara menyebut kita berada dalam `darurat narkoba' karena besarnya tingkat
peredaran dan penyalahgunaan narkoba. Hukuman mati bahkan telah diberikan
terhadap sejumlah pengedar narkoba. Jokowi dan aparat negara lainnya juga tak
henti-hentinya mengingatkan kita bahwa saat ini terdapat sekitar 4,2 sampai
4,5 juta pengguna narkoba di Tanah Air.
Diperkirakan, terdapat 40 sampai 50 orang
setiap hari meninggal terkait dengan dampak buruk penggunaan narkoba.
Sementara itu, kita hanya mampu merehabilitasi sekitar 18 ribu orang yang
mengalami ketergantungan (kecanduan) terhadap narkoba setiap tahun.
Namun, tampaknya kita ha rus melihat masalah
narkoba ini secara lebih dalam, bukan sekadar pemaparan angka-angka seperti
di atas. Angka-angka sering kali hanya mengantar kita mereka-reka besaran
masalah tetapi memiliki keterbatasan untuk memberi pemahaman lebih rinci.
Terdapat pula adagium yang menyatakan
`Kematian seorang manusia adalah sebuah tragedi, kematian sejuta orang
hanyalah sebuah statistik'. Di balik angka-angka di atas ialah pengalaman
nyata dan (sering kali) penderitaan seseorang dan keluarganya (serta
lingkungannya) akibat ketergantungan (kecanduan) narkoba. Akan tetapi, untuk
memahami pengalaman nyata dan penderitaan akibat narkoba itu, kita mesti
memahami terlebih dahulu tingkatan-tingkatan atau perbedaan keterlibatan
dalam penggunaan narkoba. Itu sesuatu yang sering kali dikaburkan dalam
deretan angka-angka di atas.
Dalam literatur (yang didasarkan pada banyak
penelitian atau pengamatan empiris terhadap penggunaan/penyalahgunaan
narkoba), terdapat paling sedikit tiga tingkatan penggunaan/penyalahgunaan
narkoba. Pertama ialah pengguna coba-coba, yakni orang-orang (lebih banyak
berupa orang muda ataupun anakanak dan remaja) yang mulai (inisiasi)
menggunakan narkoba karena berbagai alasan seperti rasa penasaran atau ingin
tahu, pengaruh kawankawan sebaya, atau keinginan mencari kesenangan atau
pengalaman baru.
Patut diingat bahwa hanya segelintir dari
pengguna coba-coba itu yang kemudian keterusan terjerumus menjadi pecandu
narkoba. Sebagian besar berhenti pada tahap ini ataupun berlanjut untuk
beberapa saat tetapi kemudian berhenti. Alasan untuk berhenti sangat beragam,
antara lain karena menganggap rasa ingin tahunya sudah terpenuhi, kesenangan
yang didapatkan tidak sebanding dengan risiko yang mungkin terjadi atau
terutama karena lingkungan sosial terdekatnya tidak menyetujui penggunaan
narkoba. Alasan narkoba dapat membahayakan masa depan atau cita-cita yang
ingin dicapai juga sering kali menjadi motivasi kuat.
Jenis pengguna yang kedua ialah pengguna
terkontrol. Pengguna jenis ini sudah beranjak dari pengguna cobacoba menjadi
pengguna teratur tetapi berbeda dengan pecandu. Pengguna terkontrol ini belum
mengalami kecanduan (ketergantungan) dan belum mengalami dampak-dampak
merugikan (dari segi kesehatan, hukum, ataupun sosial) akibat penggunaan
narkoba yang mereka lakukan. Mereka mampu melakukan `kontrol' atau `regulasi'
terhadap penggunaan narkoba sehingga dampak-dampak buruk belum muncul. Mereka
belum mengalami gejala-gejala putus zat, gejala-gejala menyakitkan secara
fisik, ataupun psikis karena ketergantungan narkoba.
Lagi-lagi patut diingat, sangat banyak orang
yang mampu berada dalam fase ini dalam jangka waktu lama bahkan permanen,
dalam pengertian tidak menjadi pecandu. Tentu saja kondisi ini bukanlah
kondisi ideal, tetapi pada kenyataan sehari-hari pengguna jenis ini sangat
banyak, bahkan banyak penelitian menunjukkan pengguna jenis ini sebenarnya
jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan pecandu. Mereka mampu menjadi
pengguna terkontrol karena memiliki kapasitas pribadi ataupun jaringan sosial
yang membuat mereka mampu bertindak seperti itu.
Sebagian besar ialah orang-orang yang sudah
memiliki pekerjaan dan identitas yang mapan dan tidak ingin mengorbankan
hal-hal berharga tersebut dengan memakai narkoba berlebihan yang bisa mengantar
mereka menjadi pecandu. Mereka, misalnya, hanya memakai narkoba tertentu
sekali setiap minggu atau sekali setiap bulan bersama orang-orang tertentu
atau dalam peristiwa-peristiwa tertentu.
Jenis pengguna yang ketiga ialah pecandu.
Pecandu atau pengguna problematik ini ialah orang-orang yang sudah mengalami
ketergantungan dan sudah mengalami gejala-gejala putus zat yang menyakitkan. Mereka
pun umumnya sudah mengalami dampak-dampak buruk dari segi kesehatan,
psikologis, ekonomi, hukum, ataupun sosial. Tidak sedikit yang bahkan
mengalami dampak parah seperti overdosis, HIV, hepatitis C, radang kulit,
radang pembuluh darah jantung, dan depresi. Tidak sedikit pula yang mengalami
dampak ekonomi seperti pengangguran berkepanjangan yang lalu mendorong mereka
terlibat dalam berbagai tindakan kriminal untuk mendapatkan uang demi membeli
narkoba. Hal-hal tersebut membuat mereka semakin terasing dari masyarakat dan
mendapatkan stigma buruk.
Ketiga jenis pengguna narkoba ini membutuhkan
strategi penanganan berbeda-beda. Pada intinya kita membutuhkan
program-program untuk memperkuat faktor-faktor pelindung dan mengurangi
faktor-faktor risiko untuk mencegah atau memperlambat anak-anak muda
melakukan eksperimentasi menggunakan narkoba dan mencegah orang-orang mengalami
kecanduan/ketergantungan. Terhadap mereka yang sudah mengalami
ketergantungan/kecanduan, dibutuhkan program rehabilitasi medik dan sosial.
Dengan begitu, mereka dapat mengatasi
kecanduannya dan kemudian bisa kembali ke masyarakat serta menjadi anggota masyarakat
yang produktif. Program-program terpadu seperti itu memang tidak mudah,
tetapi telah terbukti di banyak negara menurunkan angka ketergantungan dan
dampak-dampak buruk narkoba. Program-program tersebut memadukan
program-program kesehatan, hukum, ekonomi, dan sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar