Sabtu, 27 Juni 2015

Urgensi Regulasi Perampasan Aset Bandar Narkoba

Urgensi Regulasi Perampasan Aset Bandar Narkoba

  Miftahul Khoir  ;   Staf Khusus Kepala Badan Narkotika Nasional
MEDIA INDONESIA, 27 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KEJAHATAN narkoba merupakan salah satu bentuk tindak kejahatan dengan motif ekonomi. Tujuan utama para pelaku tindak kejahatan narkoba ialah memperoleh keuntungan finansial yang besar dari hasil perdagangan gelap narkoba. Meski harus bertaruh nyawa, mereka tidak ciut nyali memperdagangkan narkoba ilegal. Kondisi itu dapat dimaklumi mengingat jumlah uang yang berputar dalam perdagangan gelap narkoba di Indonesia sangat besar. Bahkan, menurut perkiraan Badan Narkotika Nasional (BNN), jumlahnya lebih dari Rp43 triliun per tahun atau sekitar Rp3,5 triliun per bulan.

Besarnya jumlah uang yang berputar dalam perdagangan gelap narkoba sangat logis karena jumlah populasi penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta dan sangat potensial sebagai pangsa pasar narkoba. Terdapat lebih dari 4 juta penduduk Indonesia yang menjadi penyalah guna narkoba dan notabene sebagai konsumen tetap. Selain itu, harga narkoba di pasaran Indonesia sangat tinggi. Harga jual sabu di pasaran Indonesia mencapai Rp1,7 miliar sampai Rp2,1 miliar per kilogram, sementara harga pembelian sabu dari Iran hanya berkisar Rp100 juta per kilogram. Besarnya jumlah pasar dan margin keuntungan perdagangan narkoba ilegal itulah yang menyebabkan jaringan narkoba nasional dan internasional berbondong-bondong berebut pasar narkoba ilegal di Indonesia.

Berdasarkan hasil pengungkapan kasus tindak pidana pencucian uang hasil tindak kejahatan narkoba oleh BNN pada 2013, nilai aset bandar narkoba yang disita ialah sebesar Rp49,46 miliar dan pada 2014 terjadi peningkatan, yakni sebesar Rp77,5 miliar. Nilai aset bandar narkoba terbesar yang dapat disita BNN antara lain aset milik Faisal dengan total aset senilai Rp29,9 miliar, aset milik kakak beradik Edi dan Murtadi senilai Rp15 miliar, dan aset milik Pony Tjandra senilai Rp20,4 miliar. Berdasarkan hasil penyidikan, para bandar narkoba pada umumnya menyembunyikan aset hasil tindak kejahatan mereka ke berbagai bentuk, seperti properti (rumah, ruko, tanah), barang mewah (mobil, perhiasan), polis asuransi, deposito, dan saham perusahaan.

Perampasan terhadap aset para bandar narkoba yang terkait dengan tindak kejahatan narkoba merupakan langkah strategis untuk menekan kejahatan narkoba. Secara logika, aset atau harta kekayaan pelaku kejahatan narkoba merupakan darah kehidupan atau penopang utama tindak kejahatan narkoba sehingga cara yang paling efektif untuk melakukan pemberantasan dan pencegahan ialah dengan merampas aset hasil tindak kejahatan nar koba tersebut.

Pemikiran itu tentu bukan mengecilkan arti penghukuman pidana fisik terhadap para pelaku tindak kejahatan narkoba. Namun, harus diakui, dengan hanya menjatuhkan pidana fisik, itu tidak akan mampu menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak kejahatan narkoba. Dengan dukungan aset yang begitu besar, para penjahat narkoba masih secara leluasa mengendalikan bisnis narkoba dari dalam jeruji penjara dan sekaligus mampu ‘membeli’ aparat penegak hukum.

Meskipun perampasan aset bandar narkoba dinilai sebagai langkah strategis untuk menekan kejahatan narkoba, dalam praktiknya, langkah itu belum dilaksanakan secara serius dan terpadu oleh para aparat penegak hukum. Tidak seluruh tersangka peredaran gelap narkoba dikenai penyidikan terhadap aset tindak kejahatan narkoba atau penyidikan tindak pidana pencucian uang hasil kejahatan narkoba. Ada tersangka peredaran gelap narkoba yang hanya dikenai penyidikan terkait dengan tindak pidana narkoba an sich.

Sejatinya, perampasan aset bandar narkoba merupakan amanat UU 35/2009 tentang Narkotika sebagaimana disebutkan dalam pasal 101 ayat 3 yang berbunyi bahwa seluruh harta kekayaan atau harta benda yang merupakan hasil tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dirampas untuk negara dan digunakan untuk kepentingan: a. pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan b. upaya rehabilitasi medis dan sosial.

Menurut hemat penulis, terdapat sejumlah maksud dan tujuan yang hendak dicapai dari upaya perampasan aset bandar narkoba sebagaimana amanat UU 35/2009 tentang Narkotika, yaitu untuk menutup peluang pemanfaatan keuntungan dari tindak kejahatan narkoba oleh para bandar narkoba. Motif ekonomi para bandar narkoba harus dinafikan dengan penghilangan kesempatan menikmati hasil tindak kejahatan narkoba. Hasil tindak kejahatan narkoba harus dirampas dan dipergunakan sebagai kompensasi atas ulah kejahatan yang mereka lakukan terhadap para korban, baik secara individu maupun masyarakat.

Kedua, untuk memberikan efek jera terhadap siapa pun yang berniat melakukan tindak kejahatan narkoba sekaligus bertujuan mencegah terjadinya tindak kejahatan narkoba. Pesan yang hendak disampaikan ialah tindak kejahatan narkoba ternyata tidak akan memberikan keuntungan atau nilai tambah finansial dan material, justru hanya mengakibatkan kemelaratan. Ketiga, untuk mengurangi beban negara dalam pengalokasian anggaran program penanganan permasalahan narkoba, baik untuk upaya pencegahan, rehabilitasi pecandu narkoba, penegakan hukum, maupun pemberian premi kepada anggota masyarakat yang berjasa mengungkap tindak kejahatan narkoba, termasuk pemberian premi kepada aparat penegak hukum.

Namun, upaya perampasan aset bandar narkoba itu belum didukung dengan peraturan perundang-undangan yang memadai sehingga belum berjalan maksimal dan belum memberikan manfaat nyata bagi negara dan masyarakat. Ketentuan yang berlaku saat ini dalam upaya pengaturan perampasan hasil tindak kejahatan narkoba masih menggunakan prosedur penegakan hukum pidana yang menyimpan banyak persoalan dan kelemahan. Apabila tersangka kejahatan narkoba meninggal dunia, melarikan diri, dan sakit permanen atau tidak diketahui keberadaannya, upaya perampasan aset bandar narkoba ‘terpaksa’ harus dihentikan.

Upaya perampasan aset bandar narkoba melalui prosedur penegakan hukum pidana juga membutuhkan proses dan waktu yang sangat panjang dan melelahkan. Selain itu, mekanisme dan prosedur pemanfaatan dan pengelolaan aset hasil rampasan tindak kejahatan narkoba belum diatur secara jelas dan pasti. Akibatnya, tidak jarang aparat penegak hukum narkoba enggan menyertakan penyidikan tindak pidana pencucian uang hasil kejahatan narkoba terhadap tersangka.

Padahal, prosedur dan mekanisme pemanfaatan dan pengelolaan hasil perampasan aset tindak kejahatan narkoba itu sangat penting sebagai pijakan upaya perampasan aset. Itu juga dapat menstimulasi kinerja aparat penegak hukum dalam menyidik tindak pidana pencucian uang hasil kejahatan narkoba. Hal itu berkaitan dengan pendapatan tambahan dari premi hasil perampasan aset bandar narkoba.

Dengan demikian, kehadiran regulasi terkait dengan perampasan aset hasil tindak kejahatan narkoba menjadi sebuah keniscayaan dan sangat urgen seiring dengan kondisi negara yang berada dalam fase darurat narkoba. Hasil perampasan aset tindak kejahatan narkoba sekiranya dapat diberdayagunakan secara maksimal untuk membiayai program penanganan permasalahan narkoba sekaligus untuk mengurangi beban anggaran negara yang sangat terbatas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar