Tragedi
Trias Kuncahyono ;
Penulis kolom “Kredensial” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 28 Juni 2015
Salah seorang filsuf
yang ditulis Stephen Law dalam bukunya, The
Great Philosophers: The Lives and Ideas of History’s Greatest Thinkers,
adalah William of Ockham (1288-1358). William adalah salah satu pemikir
terpenting abad pertengahan.
Kisah awal hidup
William tidak banyak diketahui. Ia hanya dicatat belajar teologi di Oxford
(1309-1321), tetapi tidak pernah menyelesaikan masternya. Salah satu pendapat
William yang menarik adalah soal pluralitas. ”Pluralitas tidak perlu
ditonjol-tonjolkan apabila tidak ada perlunya.” Begitu lebih kurang yang
dikatakan William of Ockham.
Benar adanya
pernyataan itu. Untuk apa pluralitas ditonjol-tonjolkan kalau memang tidak
ada masalah dengan pluralitas itu. Artinya, jika orang yang beragam-ragam
suku, agama, etnis, dan ras bisa hidup dengan rukun saling hormat-menghormati
dan bisa saling menerima perbedaan serta meyakini perbedaan itu sebagai
rahmat dan kekuatan, maka pluralitas itu tak perlu dibicarakan.
Akan tetapi,
sebaliknya, apabila pluralitas itu terancam, adalah sangat penting untuk
ditonjol-tonjolkan agar semuanya ingat bahwa kita adalah beragam-ragam dalam
segala hal. Karena itu, perlu untuk saling menghargai, menghormati, dan bisa
menerima perbedaan.
Apa yang terjadi di
Suriah, Irak, dan sejumlah negara di Timur Tengah, juga di Myanmar,
Afganistan, Pakistan, serta beberapa negara ASEAN, termasuk Indonesia, ketika
pluralitas kerap kali dan bahkan berkali-kali diingkari, mendesak perlunya
penonjolan pluralitas itu. Apalagi kalau kita berbicara tentang demokrasi;
tentang demokrasi pluralistis.
Demokrasi pluralistis
bukan berbicara tentang kumpulan aneka perbedaan, tetapi entitas baru yang
dijanjikan, yakni keragaman dalam persatuan. Dengan demikian, dalam konteks
Indonesia, kita bisa berbicara persatuan Indonesia sebagai Bhinneka Tunggal
Ika. Berbeda-beda tetapi tetap satu.
Dalam demokrasi,
keragaman tak hanya berhenti menjadi fakta pluralitas, tetapi ditingkatkan
atau barangkali lebih tepatnya dipermuliakan menjadi pluralisme, yakni
kesadaran menerima perbedaan, mengakui keragaman secara sadar untuk mencapai
tataran kebersamaan lebih baik sesuai dengan idealitas perjuangan bangsa dan
negara.
Hal itu sangat
penting. Sebab, apabila hal itu tidak tumbuh dan berkembang dan yang muncul
adalah fanatisme kelompok, golongan, etnis, ras, dan agama, hasilnya adalah
kehancuran. Fanatisme adalah bentuk penolakan terhadap yang berbeda. Dan, hal
itu akan menjadi lahan subur bagi para pelaku kekerasan yang tidak merasa
bersalah.
Contoh yang paling
baru dari fanatisme itu adalah pembunuhan yang dilakukan kelompok bersenjata
NIIS di Suriah dan Irak (pembunuhan apa pun alasannya tidak akan dibenarkan
oleh rasa kemanusiaan); pengusiran dan penyiksaan terhadap orang-orang
Rohingya.
Bukankah prestasi
tertinggi peradaban manusia dicapai tidak hanya ketika bangsa-bangsa
menghentikan perang (atau sebuah bangsa mampu mencegah terjadi konflik
antar-anak bangsa), tetapi ketika bangsa-bangsa itu mencapai prospek zero
untuk berperang (atau ketika suatu bangsa mencapai prospek zero untuk
berkonflik apa pun alasannya).
Di sini pentingnya
etika timbal balik atau ”Golden Rule”: berbuatlah kepada orang lain
sebagaimana Anda ingin orang lain perbuat untuk Anda. Jangan berbuat kepada
orang lain yang Anda tak ingin orang lain perbuat kepada Anda. ”Golden Rule”
ini amat penting bagi negeri yang plural seperti Indonesia demi kelanggengan
bangsa-negara.
Banyak negara
terjerumus dalam perang saudara, atau kekerasan, atau menjadi ladang tumbuh
suburnya fanatisme dan radikalisme karena mengabaikan ”Golden Rule” itu.
Maka, muncul tragedi kemanusiaan, seperti di Suriah. Libya, atau Irak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar