Pentingnya Kantor Desa
M. Zainal Anwar, ; Manajer Program Governance and Policy Reform
Institute
for Research and Empowerment (IRE), Yogyakarta
|
KORAN TEMPO, 25 Juni 2015
Ikhtiar pemerintahan
Jokowi-JK untuk membangun Indonesia dengan memperkuat desa dalam kerangka
negara kesatuan sebagaimana tercantum dalam Nawa Cita tampaknya menghadapi
tantangan serius. Salah satunya terkait dengan masih banyaknya desa yang
belum memiliki kantor atau balai desa. Ketika berkunjung ke salah satu
kabupaten di Provinsi Papua beberapa waktu lalu, penulis memperoleh cerita
pilu betapa masih banyak kampung (nama desa di Papua) yang belum punya
kantor.
Kantor desa sejatinya
tidak sekadar menunjuk pada bangunan yang berdiri di atas sebidang tanah.
Lebih dari itu, kantor desa adalah tempat di mana organisasi manusia yang
mengurus, mengatur, dan melayani desa berkumpul. Tidak berlebihan jika kantor
desa adalah pusat pemerintahan dan pelayanan publik di desa dan tempat di
mana warga dengan pemimpin desa, dari kepala desa hingga aparat desa,
berinteraksi. Tapi begitulah faktanya. Ternyata belum semua desa di Indonesia
punya kantor desa. Mayoritas desa di wilayah Jawa mungkin punya kantor desa
yang megah, kontras dengan desa di luar Jawa.
Tanpa kantor, desa
akan kesulitan melayani warga. Kebutuhan warga terhadap layanan
surat-menyurat akan terhambat karena tidak ada tempat yang layak dan pasti
untuk mencari pelayanan. Tidak adanya kantor desa berpotensi menjadikan
kepala desa ibarat kantor "berjalan". Di mana ada kepala desa, di
situlah warga bisa memperoleh pelayanan sekaligus mendapat informasi terkait
dengan program atau kegiatan skala desa. Celakanya, ketika kepala desa punya
urusan ke luar desa, otomatis pelayanan dan informasi kepada warga desa
menjadi mandek.
Dalam kondisi desa
yang tidak memiliki kantor, fungsi kantor desa pada akhirnya akan
terpersonifikasi ke individu kepala desa. Ini jelas rentan disalahgunakan.
Kepala desa yang berwatak jahat jelas akan dengan mudahnya menyalahgunakan
aset desa untuk kepentingannya sendiri, karena warga atau legislatif desa
sulit mengawasi. Filosofi pemimpin yang melayani juga sulit terwujud.
Sebaliknya, yang ada adalah pemimpin yang dilayani.
Lebih dari itu, tanpa
adanya kantor desa, koordinasi antar-aparatur desa berpotensi sulit
dilakukan. Tanpa adanya koordinasi, bagaimana desa bisa bermanfaat secara
optimal? Desa sejatinya tidak hanya berfungsi administrasi pemerintahan, tapi
juga memiliki fungsi pembangunan, pemberdayaan, dan sosial kemasyarakatan.
Walhasil, sistem pemerintahan desa jelas akan terganggu dengan ketiadaan
kantor desa. Jelas ini bukanlah persoalan sepele. Ketiadaan kantor juga satu
derajat dengan kondisi adanya kantor desa tapi tidak dimanfaatkan.
Sebagai unit
pemerintahan yang langsung berinteraksi dengan warga, desa wajib memiliki
kantor. Kementerian Desa dan pemerintah kabupaten harus segera mendata
keberadaan kantor desa dan menyelisik kondisinya. Program Nawa Kerja yang
diluncurkan Kementerian Desa juga tampaknya abai terhadap isu pendataan
kantor desa. Gerakan desa mandiri yang dicanangkan Kementerian Desa akan
tidak bermakna jika desa tak punya kantor. Keberadaan kantor desa dan
penguatan organisasi yang mengurus, mengatur, dan melayani desa adalah
langkah awal untuk membangun Indonesia dari desa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar