Senin, 29 Juni 2015

Seputar Politik dan Politikus

Seputar Politik dan Politikus

  Pongki Pamungkas  ;   Penulis
KORAN TEMPO, 27 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

"Secara alamiah, manusia adalah binatang politik"  - (Aristoteles, filsuf Yunani).

Lumayan banyak orang yang bercerita, tepatnya menggunjingkan, bahwa si Polan suka menakut-nakuti orang lain. Kepada manajemen perusahaan, ia suka mendramatisasi banyak hal. Misalnya, ia menyebutkan, masyarakat sekitar perusahaan A, salah satu anak perusahaan, resah karena merasa tidak mendapatkan manfaat dengan adanya perusahaan di wilayah yang bersangkutan. Untuk semua "ancaman" (hantu) itulah Polan akan tampil dengan pelbagai "solusi"-nya. Ia yang akan "membereskan" seluruh masalah yang ada. Dan demikianlah cara Polan mendapatkan legitimasi atas posisi dan segenap kekuasaannya di perusahaan.

Gaya si Polan adalah suatu gaya berpolitik yang, kalau kita ingat, pada zaman Orde Baru, terdapat "hantu" yang selalu dimunculkan dalam konteks pertahanan dan keamanan negara, yakni "aliran atau orang-orang yang berkaitan dengan G-30-S PKI". Demikianlah, sebagaimana pernyataan berikut ini, "Keseluruhan tujuan praktek politik adalah untuk memelihara masyarakat tetap waspada (dan karenanya harus dipimpin secara aman) dengan menunjukkan ancaman-ancaman dengan serial kisah-kisah 'hantu' yang sesungguhnya hanya imajinatif ," kata H.L. Mencken, satiris Amerika.

Ada seorang kawan yang berhasil menutupi perselingkuhannya dengan pelbagai cara yang hebat. Ia selalu tampak santun dan setia kepada sang istri. Ia sangat perhatian dan penuh kasih kepada anak-anaknya. Ia mampu menutupi perselingkuhannya, yang membuahkan dua orang anak dari istri keduanya, dengan sukses selama hampir 20 tahun. Ia memiliki gaya "politik" yang hebat, sukses, dan aman-tenteram dalam mengarungi dua wilayah kehidupannya. "Politik adalah perang tanpa pertumpahan darah, sementara perang adalah politik dengan pertumpahan darah," kata Mao Zedong. Dalam kasus ini, tak perlu kita pertanyakan soal moralitas yang ada dalam dirinya.

Serupa dengan kawan yang hebat itu, di tengah pelbagai kesulitan ekonomi yang dihadapi rakyat, di dalam ayunan berita mengenaskan tentang ratusan orang yang kurang gizi di Nusa Tenggara Timur, para wakil rakyat di DPR tak malu untuk terus memperjuangkan dana sebesar Rp 20 miliar per anggota atas nama program "dana aspirasi dapil". Idem dito, jangan tanyakan soal moralitas dalam soal-soal seperti ini. Karena, "Politik tidak ada hubungannya dengan moral," kata Niccolo Machiavelli, politikus dan filsuf Italia Zaman Renaissance, abad ke-15.

Acap kali kita bisa merasa sangat bodoh karena terbitnya pelbagai putusan pra-peradilan, atas nama hukum dan keadilan, yang bervariasi atas kasus serupa. Logika mana yang benar dalam soal-soal ini? Atas nama jabatan yang dipegangnya, seorang menteri bisa menyatakan bahwa ada "kelompok rakyat yang tidak jelas" (Ia menisbikan suatu kelompok rakyat yang "berseberangan"). Atas nama jabatan pula, seorang menteri lain menyatakan surat rekomendasi penugasan yang disampaikannya kepada instansi-instansi lain adalah hal yang biasa saja (Ia menolak itu disebut sebagai katebelece, suatu rekomendasi untuk mempengaruhi).

Kebodohan dalam kehidupan sehari-hari memang tak dapat dihindari, termasuk dalam bidang politik. Bahkan Napoleon Bonaparte menyatakan, "Dalam politik, kebodohan bukanlah suatu handicap (masalah)." Kebodohan adalah hal yang jamak di mana-mana. Bahkan secara sarkastis dikatakan, "Politik adalah suatu seni untuk mencari-cari masalah, menemukannya di mana-mana, mendiagnosisnya secara tidak benar dan menerapkan penyelesaian yang keliru," kata Groucho Marx, komedian dan bintang film populer Amerika pada awal 1900-an.

Pandangan miring terhadap kancah politik juga tertuju kepada pelakunya. William Randolph, seorang tuan tanah di Virginia, berasal dari Inggris pada abad ke-17, menuturkan, "Politikus adalah orang-orang yang akan melakukan apa pun untuk mempertahankan posisinya, termasuk melakukan hal-hal yang patriotik." Melakukan hal-hal yang "patriotik" adalah langkah terakhir dan terpaksa yang dilakukan oleh para politikus, kurang-lebih demikian maksud Randolph.

Pandangan miring terhadap politikus juga dikemukakan oleh seorang politikus, sebagai berikut: "Amerika Serikat menyombongkan diri soal sistem politik mereka. Tapi dalam prakteknya, presiden mengatakan sesuatu pada masa pemilihan, sesuatu lain manakala menjabat, sesuatu lain pada saat pertengahan jabatan, dan sesuatu lain lagi pada saat akhir jabatannya." Itu adalah komentar Deng Xiaoping, politikus, pemimpin besar Cina modern.

Simak juga pandangan tokoh ini. "Di balik setiap batu tersembunyi politikus," kata Aristophanes, dramawan dan penyair Yunani abad ke-4 SM. Ucapan ini menyiratkan bahwa politikus itu ada di mana-mana. Dan demikian tampaknya, kita semua pada dasarnya adalah politikus, sebagaimana kata Aristoteles, seorang filsuf yang juga asal Yunani, "Secara alamiah, manusia adalah binatang politik."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar