Industrialisasi Rumput Laut Indonesia
Rudy Susilo ; Apoteker; Dipl. Biochem; Direktur PT Quasar
Husada
|
JAWA POS, 26 Juni 2015
DALAM rangka Third Seaweed International Business Forum and Exhibition
(Seabfex) di Surabaya pada Juli 2010, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel
Muhammad mengutarakan ambisi pemerintah Indonesia menjadi produsen rumput
laut terbesar di dunia dengan volume ekspor 10 juta ton pada 2015. Tidak
dijelaskan apakah Indonesia hanya ingin menjadi eksporter bahan mentah rumput
laut atau produk yang sudah diolah.
Presiden Joko Widodo belum lama ini
menegaskan, pemerintah Indonesia akan melarang ekspor rumput laut sebagai
bahan mentah mulai 2018 (CNN Indonesia, 14/4). Permasalahannya, akan
dikemanakan hasil produksi hulu tersebut? Sudahkah disiapkan industri hilir
rumput laut yang sekarang banyak dibudidayakan petani dan nelayan? Lantas,
langkah strategis apa yang bisa dilakukan dalam menghadapi kebijakan
tersebut?
Rumput laut adalah komoditas kelautan yang
cukup potensial sebagai penghasil devisa negara. Ia punya nilai ekonomi
tinggi, spektrum penggunaannya luas, daya serap tenaga kerja intensif,
teknologi budi dayanya mudah, masa budi daya pendek (40–45 hari), dan biaya
unit per produksi sangat murah.
Indonesia selama ini dikenal sebagai eksporter
terbesar rumput laut jenis
Kappaphycus alvarezzi atau Eucheuma cottonii.
Hanya, sebagian besar masih dalam bentuk rumput kering dengan nilai tambah
yang minim. Hampir semua industri hilir rumput laut di negeri ini baru
sebatas pengeringan dan pengemasan.
Hanya sebagian kecil produk rumput laut olahan
dengan nilai tambah yang lebih tinggi. Itu pun baru sebatas semi-refined carrageenan (SRC) atau
lebih dikenal dengan tepung rumput laut. Produksi rumput laut seperti ini
sudah banyak diolah negara penghasil seperti Filipina, Brasil, dan Tiongkok.
Ada tiga rumput laut olahan yang tersedia di
pasar Indonesia saat ini. Rumput laut kering, semi-refined carrageenan (SRC) atau tepung, dan tepung carrageen murni.
Rumput laut segar diperdagangkan hanya sebagai bibit dan tidak diperdagangkan
sebagai bahan awal untuk industri. Tidak ada produk rumput laut segar.
SRC merupakan rumput laut kering yang diolah.
Proses pengolahan tersebut meninggalkan zat-zat serat (fibre stuff) cellulose dan carrageen. Produk SRC dan sejenisnya
mengandung hanya serat-serat dan tanpa ada kadar nutrisi yang bermanfaat.
Karena masih banyak yang menggunakan proses pengeringan alami, kontaminasi
bakteri masih tinggi.
Menurut FAO, tepung rumput laut termasuk tidak
layak dikonsumsi secara langsung. Mengapa? Sebab, kandungan bakteri dan
jamurnya masih cenderung tinggi, juga tidak mempunyai nilai nutrisi.
Di beberapa negara, tepung rumput laut ini
digunakan sebagai bahan tambahan industri makanan. Ia menjadi bahan pengental
atau pengikat air untuk menaikkan kelembapan produk pangan. Produk ini
diperdagangkan dengan harga tidak terlalu mahal. Di Eropa harganya hanya USD
5–10, bergantung kualitasnya.
Lantas, bagaimana dengan tepung rumput laut murni
(refined carrageenan)? Ini adalah
jenis produk rumput laut dengan proses yang lebih meningkat dibanding dua
jenis produk rumput lainnya. Di Eropa, jenis ini diizinkan untuk bidang
industri makanan dan farmasi. Namun, karena harganya yang mahal (USD 60–100/kg),
jenis ini lebih banyak digunakan di bidang farmasi.
Melihat kenyataan di atas, tampaknya,
dibutuhkan inovasi khusus untuk memberikan nilai tambah pada rumput laut
kita. Pemerintah bisa memberikan insentif terhadap penelitian dan berbagai
inovasi di bidang ini. Hanya dengan produk inovasi rumput laut, produk kita
akan bisa berkompetisi di gelanggang internasional.
Langkah ini bisa meniru PT Quasar Husada.
Perusahaan reseach and development
di Surabaya milik Wira Jatim Group ini telah menghasilkan produk inovasi
rumput laut sebagai hasil kerja sama dengan PT Arquus Nusantara dan Evoria
GmbH Jerman.
Berbeda dengan tepung rumput laut yang ada
selama ini, produk yang diberi nama ASPM (Arquus
Seaweed Powder Micronized) ini mengandung nutrisi penuh. Karena itu,
produk tersebut layak dikonsumsi sebagai tambahan bahan makanan.
Mengapa? Sebab, bubuk rumput laut ini
diproduksi langsung dari rumput segar, tidak melalui pengeringan. Dengan
demikian, ia mengandung zat-zat seperti protein, asam amino, lemak, karbohidrat,
vitamin, mineral, trace element, serta kaya serat.
Berdasar sifat bubuk yang penuh nutrisi
berharga, ia mampu menyerap lemak (sampai 100 persen) yang mengembang di
tubuh dan membuat rasa kenyang. Karena itu, bubuk ini bisa menjadi suplemen
alami.
Hasil kerja sama PT Quasar Husada dan Evoria
GmbH Jerman juga telah menghasilkan antivirus spray. Antivirus ini bisa
menghindari dan meringankan gejala-gejala flu. Di Indonesia, antivirus spray
untuk mulut (mouth spray) telah
diproduksi PT Interbat dengan nama Spartani. Produk ini sudah dipasarkan pada
Mei 2015. Inilah produk antivirus pertama di dunia berdasar bahan bioaktif
rumput laut Kappaphycus alvarezzi Indonesia.
Tampaknya, hanya dengan inovasi terus-menerus,
kita akan bisa memanfaatkan rumput laut kita di dunia dengan lebih
kompetitif. Ke depan, harus digalakkan strategi inovatif seperti ini sebagai
titik beratnya. Toh, kita ternyata mampu untuk itu. Kita harus yakin: Better innovation than only imitation.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar