Jokowi dan Gunung Jamurdipa
Sindhunata ; Wartawan; Penanggung Jawab Majalah Basis
Yogyakarta;
Kurator
Bentara Budaya
|
KOMPAS, 29 Juni 2015
Tahun 2015 adalah 200
tahun meletusnya Gunung Tambora. Untuk mengenang kebesaran Tambora, beberapa saat
lalu pemerintah mengadakan kegiatan berslogan "Tambora Menyapa
Dunia". Mendukung kegiatan itu, harian Kompas dan lembaga budayanya,
Bentara Budaya Jakarta, mengadakan pameran, pergelaran, dan perbincangan
bertajuk "Kuldesak Tambora".
Sementara di Bentara
Budaya Yogyakarta diselenggarakan pameran foto Maha Pralaya untuk
mengenangkan letusan dahsyat Gunung Merapi di zaman Mataram Hindu, lebih
kurang 1.000 tahun lalu. Mengiringi pameran itu, diadakan merti atau
selamatan gunung di Omah Petroek, Karang Klethak, Pakem, di mana dipentaskan
jatilan, sendratari, dan pertunjukan wayang kulit dengan lakon Dumadining
Gunung Merapi atau terjadinya Gunung Merapi. Dikisahkan, pada waktu itu Nusa
Jawa gonjang-ganjing, terbawa arus lautan ke sana kemari. Batara Guru, raja
segala dewa, bersabda, Nusa Jawa akan kembali tenang apabila dipaku dengan
Gunung Jamurdipa. Maka ia pun memerintahkan para dewa mengusung Gunung
Jamurdipa dari Tanah Hindi ke Nusa Jawa. Gunung Jamurdipa kemudian dipakukan
di sisi timur Nusa Jawa.
Ternyata beban gunung
di sisi timur ini membuat Nusa Jawa njomplang, sisi baratnya naik ke atas
menyundul langit. Untuk menyeimbangkan, para dewa diperintahkan mencabut
separuh Gunung Jamurdipa dan dipakukan di sisi barat. Dalam perjalanan ke
barat, Gunung Jamurdipa itu rontok. Rontokannya menjadi gunung-gunung di Nusa
Jawa, seperti Topongan, Pasundan, Hula-Hulu, Cerme, Prau, Kendheng, Sindoro,
Sumbing, Slamet, Kendil, Petarangan, Merbabu, Lawu, Kelud, Arjuna, dan
Sumeru.
Sementara para dewa
berlelah-lelah mengusung Gunung Jamurdipa, ada seorang empu dewa, Hempu
Ramadi, yang asyik membuat keris di atas perapiannya. Para dewa jengkel lalu
menjatuhkan sebagian Gunung Jamurdipa ke Hempu Ramadi. Hempu Ramadi
menghindar, dan sempalan gunung itu jatuh ke atas perapiannya dan dari sana
terjadilah Gunung Merapi. Itulah sebabnya, Gunung Merapi selalu berapi sampai
kini. Nusa Jawa tenang kembali. Tetapi, ketenangan itu tak bertahan lama
akibat ulah manusia yang hanya memburu kenikmatan nafsunya. Nusa Jawa
gonjang-ganjing lagi. Namun, ke manakah sekarang harus dicari Gunung
Jamurdipa untuk dijadikan pakunya?
Gonjang-ganjing sosial
Selamatan dengan
pementasan mitos di atas bermaksud mengingatkan agar kita sadar bahwa
sekarang pun kita sedang menghuni tanah air yang rawan, mudah gonjang-ganjing
dan terterpa pelbagai cobaan. Pada musim hujan, di mana-mana banjir. Pada
musim kemarau, di banyak tempat terjadi kekeringan dan mengering pula
sumber-sumber air. Di pantai Gunung Kidul, DIY, tiba-tiba ada tanah longsor,
yang memakan korban jiwa. Laut Selatan seakan ikut marah. Beberapa hari lalu
beberapa turis lokal ditelan ombak Parangtritis. Belum lagi berita tentang
aktivitas gunung berapi yang mengancam keselamatan penduduk di sekitarnya.
Cobaan alam itu
dibarengi situasi sosial yang meresahkan. Ekonomi susah, nilai rupiah anjlok
drastis, investasi usaha di dalam negeri jadi lesu, dan banyak orang terancam
kehilangan kerja. Situasi wong cilik seperti gabah diinteri, pontang-panting
ke sana kemari untuk mencukupi nafkah, tetapi tak juga jalan keluar terbuka
bagi mereka. Harga-harga naik, mulai dari kebutuhan-kebutuhan pokok sampai
gas melon, apalagi menjelang Lebaran ini.
Bencana alam,
kesengsaraan rakyat kecil, ketidakberdayaan penguasa, itu yang dalam bahasa
mitos Jawa sering dianggap gejala dan tanda-tanda bahwa Nusantara sedang
diterpa gara-gara dan gonjang-ganjing. Agar gonjang-ganjing mereda, ibaratnya
Nusantara harus dipaku dengan Gunung Jamurdipa. Adakah paku itu sebenarnya?
Ada, Presiden Jokowi sendiri. Kalau mau, Presiden bisa jadi paku itu. Untuk
itu, ia perlu berbalik melihat masa lalu, memahami siapa dia sebenarnya.
Anugerah sejarah
Waktu itu Jokowi belum
siapa-siapa. Ia "hanyalah" Wali Kota Solo yang kemudian menjadi
Gubernur DKI Jakarta. Setelah melihat kiprah dan sifatnya, banyak rakyat
bersimpati kepadanya. Begitu ia diajukan jadi calon presiden, rakyat pun
serentak bergembira mendukungnya. Menjelang pilpres muncullah gerakan rakyat
besar-besaran, dan puncaknya adalah Konser Dua Jari yang menggemparkan itu.
Bagi sejarah bangsa
Indonesia, fenomena dukungan fantastis itu merupakan sebuah kairos. Dalam filsafat sejarah, kairos dibedakan dari chronos. Chronos adalah waktu biasa, semacam urut-urutan waktu belaka,
sementara kairos adalah waktu yang
luar biasa, waktu yang dinanti-nantikan, waktu yang punya daya dobrak,
semacam waktu sejarah yang bisa mengubah bahkan menjungkirkan keadaan yang
usang dan rusak menjadi keadaan yang total baru. Baik filsuf eksitensialis
religius, misalnya Paul Tillich, maupun filsuf kiri ateis, seperti Walter
Benyamin, sama-sama yakin, dalam kairos
tersembunyi harapan, dan begitu kairos
datang, harapan itu menguak jadi kekuatan yang bisa mengubah masyarakat
secara drastis dan revolusioner.
Fenomena Jokowi adalah
fenomena kairos itu. Kalau harapan
rakyat tertumpah padanya, itu tak berarti dia memang luar biasa, tetapi bahwa
daya kairos sedang turun atasnya
sehingga ia dianggap mampu memperbarui sejarah. Dalam arti itu, kairos adalah berkah dan anugerah yang
tak boleh disia-siakannya. Tetapi ini juga tak berarti kairos itu seluruhnya mistis. Kairos
ada di dalam kehidupan individual dan membuat orang menanti-nantikan
perubahan. Begitu melihat Jokowi sebagai fenomen kairos, kairos yang
individual itu berkumpul jadi satu, menjadi sebuah kairos kolektif yang bersama-sama ingin menjungkirkan keadaan dan
mengubahnya menjadi keadaan yang penuh harapan.
Jadi, Jokowi jadi
hebat bukan karena kekuatan politik, melainkan karena kairos itu. Maka kalau sekarang merasa ragu, lemah, dan tak
berdaya, adalah keliru jika Jokowi sambat pada kekuatan-kekuatan dan
melakukan kompromi dengan mereka. Dalam keadaan demikian, Jokowi seharusnya
berpaling pada kairos, yang
menyimpan kekuatan dan tren pembaruan sejarah itu. Dalam sejarah penjadian
bangsa-bangsa telah terbukti, kekuatan sejarah yang kolektif dan bersifat
anugerah jauh lebih ampuh dan "sakti" daripada potensi-potensi yang
dibangun secara artifisial oleh jaringan kekuatan politik. Sekarang rakyat
sedang tak percaya kepada DPR sebab lembaga perwakilan rakyat itu lumpuh
dalam menjalankan fungsi representasi kepentingan rakyat karena hanya
memperjuangkan kepentingan pribadi dan kelompok. Kata ahli hukum dan politik
Ernst Fraenkel: di mana ada rakyat tak percaya terhadap kemampuan parlemen
dalam menjalankan fungsi representasinya, di sana rakyat sesungguhnya sedang
menderita minderheid-kompleks.
Adalah tragis, rakyat
yang mayoritas itu menjadi minoritas yang minder. Sebagai presiden, Jokowi
bertanggung jawab mengembalikan rakyat sebagai mayoritas dan menghilangkan
minderheid-kompleksnya. Untuk itu, Jokowi perlu meraih kembali momen kairos dan percaya bahwa dalam kairos terhimpun kekuatan politik
rakyat yang punya satu-satunya kehendak, yakni perubahan. Jika mau melakukan
ini, Jokowi berpeluang besar merebut kembali kepercayaan rakyat, yang kini
sedang mengalami krisis kepercayaan terhadap para wakilnya di DPR. Revolusi
mental Jokowi mandul dan berhenti di tempat karena tak mengorientasikan diri
pada kekuatan rakyat. Di sini pun Jokowi perlu kembali pada kairos, yang telah membawanya ke kursi
pimpinan tertinggi di negeri ini. Kairos
itu adalah kekuatan sejarah, yang dalam arti tertentu "liar" dan
bernalurikan "petualangan". Jokowi perlu menyuntikkan daya dobrak kairos itu ke dalam revolusi
mentalnya, supaya revolusi mentalnya memperoleh "darah segar" untuk
menabrak dan mengubah kemapanan demi tercapainya cita-cita tanah air
Nusantara baru yang adil, damai, dan tenteram seperti diinginkan rakyat.
Ziarah gunung
Jadi, jika mau, dengan
bantuan kairos itu, Jokowi
berpeluang bisa menjadi paku Gunung Jamurdipa bagi tanah air Nusantara yang
sedang gonjang-ganjing ini. Gunung Jamurdipa telah menjadikan gunung-gunung
di Nusa Jawa. Bagi orang Jawa, ini semua simbol laku yang punya makna. Gunung
itu dhuwur, tinggi. Sementara rakyat biasanya sering disebut sebagai wong
gunung. Gunung lalu jadi simbol kekuatan rakyat yang keluhuran dan tingginya
bahkan melebihi keluhuran raja atau priayi. Jokowi bukanlah ketua partai, keturunan
raja, atau priayi. Ia rakyat biasa, wong gunung. Tetapi justru dalam dirinya
tersimpan martabat luhur rakyat. Karena itu, ia jangan minder terhadap
kekuasaan mana pun.
Untuk memperkuat
keyakinannya sebagai wong gunung, Jokowi perlu menjalani kembali laku gunung.
Dari Gunung Prau di barat, ia harus naik perahu, ke timur, ke Gunung Slamet.
Di sana ia akan dicerahkan, bahwa rakyat sesungguhnya hanya punya cita-cita
amat sederhana, yakni slamet. Dengan menjalani laku Gunung Slamet, rakyat
akan merengkuhnya untuk bersama-sama meraih slamet, hingga akan selamat pula
pemerintahannya. Dari Gunung Slamet ia mesti melanjutkan laku Gunung Kendil.
Di sinilah ia dapat mempertajam intuisinya, bahwa rakyat itu kendil atau
periuk bagi pemerintahannya. Tak mungkin pemerintahannya berjalan tanpa
periuk rakyat itu. Namun, sebagai imbalannya, ia tak boleh membiarkan rakyat
sengsara dan mati karena periuknya mati asap. Maka, dengan hikmah Gunung
Kendil, Jokowi bisa menggali kembali program-programnya yang pro rakyat, agar
periuk rakyat cepat berasap.
Dari Gunung Kendil,
Jokowi harus melanjutkan laku Gunung Petarangan. Petarangan adalah tempat
induk ayam bertelur dan mengeraminya. Maka laku Gunung Petarangan
mengingatkan, jangan Jokowi lupa akan asal-usulnya. Ia bukan jenderal, ketua
partai, atau anak raja. Tetapi begitu jadi presiden, Jokowi mungkin lupa
bahwa ia adalah wong cilik, atau rakyat biasa. Maklum, kekuasaan mudah
membuat lupa. Karena itu Jokowi tidak perlu menaikkan martabatnya karena
martabat rakyat itu adalah terluhur. Juga ia tak perlu mengenakan predikat
apa-apa lagi. Ia tak perlu, misalnya, memakai seragam dan baret tentara, yang
di zaman Orde Baru telah demikian menakut-nakuti rakyat. Ibaratnya, ia cukup
memakai kemeja rakyatnya, "kemeja putih", di mana terpantul cahaya
ketulusan, kejujuran, kesederhanaan, martabat luhur rakyatnya.
Dengan laku Gunung
Petarangan ini Jokowi boleh teringat kembali saat ia mengumumkan deklarasi
pencapresannya. Deklarasi itu dilakukannya di Rumah Si Pitung, Marunda Pulo,
Cilincing, Jakarta Utara. Si Pitung adalah pendekar Betawi yang mati-matian
membela rakyat melawan kompeni. Jokowi kiranya ingin terkena aura roh
perlawanan rakyat itu. Maka, setelah jadi presiden, janganlah ia hanya berani
menghukum mati, tapi juga "berani mati" seperti Si Pitung yang
berani mati dihukum gantung oleh kompeni. Sekarang banyak sekali kompeni di
sekitar Jokowi: kompeni-kompeni bisnis, kompeni-kompeni politik,
kompeni-kompeni partai, dan kompeni-kompeni kepentingan.
"Perlawanan", kata Jokowi saat di Rumah Si Pitung itu. Sekarang
Jokowi sungguh ditantang, untuk bersama rakyat melawan kompeni-kompeni di
sekitarnya itu. Maka, demi rakyat dan karena roh perlawanan Si Pitung, ia
juga harus berani melawan jika ia dijadikan boneka atau petugas partai oleh
kekuasaan oligarkis partai pendukungnya sekalipun.
Dari Gunung
Petarangan, Jokowi harus meneruskan laku Gunung Merapi. Sampai sekarang di
sana masih menyala api dari perapian Hempu Ramadi. Di perapian itu Jokowi
boleh menghangatkan dan membakar kembali semangat gunungnya, semangat
kerakyatannya, yang akhir-akhir ini sempat padam atau dipadamkan. Jokowi
harus terus menyalakan api perjuangan rakyatnya. Untuk itulah akhirnya ia
perlu kembali ke asalnya, ke Gunung Lawu. Jokowi adalah anak Solo yang
terletak di kaki Gunung Lawu. Maka laku Gunung Lawu akan mengajak dia
ngawu-awu atau bertanya tentang asal-usulnya. Asal-usulnya rakyat kecil
biasa. Di Solo ia thukul, tumbuh sebagai wong Solo seperti Wiji Thukul. Maka,
seperti Wiji Thukul yang tumbuh di kaki Gunung Lawu, Jokowi pun seharusnya
hanya punya satu kata untuk pemerintahannya: Lawan! Dengan satu kata
"lawan" itu, ia harus berani melawan siapa saja dan apa saja yang
membungkam, memperbudak, menyengsarakan rakyat. Pada kata "lawan"
itu, sesungguhnya Jokowi bisa menemukan inti terdalam dari kata kairos.
Jelas laku atau ziarah
gunung itu sesungguhnya adalah ziarah rakyat yang bermuatan kairos. Jokowi tak boleh berlambat
dengan kairos. Sebab lain dengan
waktu biasa, kairos adalah waktu
sejarah dan waktu anugerah, karenanya waktu itu takkan berlangsung lama dan
hanya datang sekali. Jokowi belum terlambat untuk kembali memeluk kairos itu. Namun, bila
berlambat-lambat, dalam sekejap Jokowi akan kehilangan kesempatan menjadi
Paku Gunung Jamurdipa bagi Nusantara yang sedang membutuhkannya. Kalau
demikian, dalam sekejap Nusantara akan dilanda gonjang-ganjing lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar