Jumat, 26 Juni 2015

Menjaga Asa Jakarta Baru

Menjaga Asa Jakarta Baru

  Nirwono Joga  ;   Koordinator Kemitraan Kota Hijau
KORAN TEMPO, 22 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Seperti biasa, perayaan hari ulang tahun Kota Jakarta ke-488 (22 Juni) dimeriahkan oleh berbagai festival, karnaval, pesta rakyat, dan pesta belanja. Namun di balik itu, ada keraguan Program Jakarta Baru yang diusung Jokowi-Ahok dan dilanjutkan Ahok-Djarot mulai memudar. Banyak program pada awal gebrakan sempat memberikan harapan segar bagi warga Jakarta, tapi kini mulai meredup.

Setelah banjir besar pada awal 2013, pembenahan Waduk Pluit dari kampung padat kumuh menjadi taman berlangsung cepat, tapi sekarang melambat dan tidak kunjung dituntaskan. Waduk Ria-rio dan beberapa waduk yang mulai ditata terhenti dan tidak jelas kelanjutannya di lapangan. Padahal Jakarta masih memiliki 42 waduk dan 14 situ yang perlu segera direvitalisasi untuk pengendalian banjir.

Penataan Kali Ciliwung dan pembebasan permukiman di Kampung Pulo, yang merupakan titik terparah banjir, juga telah kehilangan momentum. Saat awal, Jokowi berhasil meraih simpati warga untuk bersedia pindah ke rumah susun. Namun, karena ketidaksiapan jumlah unit rusun yang akan ditempati, ketidakpastian jadwal kepindahan, dan ketidakjelasan mata pencarian di tempat baru, warga jadi hilang kepercayaan dan enggan berpindah. Sementara itu, di Jakarta masih ada 12 kali besar, 3 di antaranya diprioritaskan untuk dibenahi sebelum 2017, yakni Kali Pesanggrahan, Kali Angke, dan Kali Sunter.

Pemprov DKI memilih menertibkan bangunan permukiman liar di bantaran anak kali dan saluran air sebagai bentuk ketegasan pemerintah daerah mengembalikan fungsi semula untuk mengendalikan banjir. Sosialisasi formalitas ala kadarnya di lapangan membuat penertiban sering kali disertai penggusuran, kekerasan, dan penolakan warga berpindah ke rusun.

Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), untuk penanganan permukiman kumuh, Pemprov DKI seharusnya menggunakan pendekatan "Kerangka Kerja Kebijakan Permukiman Kembali". Kebijakan itu meliputi pelibatan seluruh pemangku kepentingan dalam rangka mencari alternatif desain permukiman kembali yang layak, mencarikan alternatif solusi terhadap aktivitas ekonomi warga terkena proyek yang berpotensi hilang, dan memberikan kesempatan warga terkena proyek untuk bermukim kembali di tempat yang legal.

Penataan kawasan Pasar Minggu, Pasar Jatinegara, dan Pasar Tanah Abang sesaat berhasil mengubah wajah baru pasar menjadi lancar, bersih, dan rapi. Namun tak berlangsung lama, pasar-pasar itu telah kembali seperti semula akibat ketidakkonsistenan dalam menjaga pasar. Pemprov DKI lebih memilih merevitalisasi pasar yang tidak terlalu parah keadaannya seperti Pasar Gondangdia, Pasar Pulogadung.

Pemerintah daerah tidak berdaya mengendalikan pertumbuhan minimarket yang menjamur begitu masif hingga ke kampung dan kompleks permukiman, bahkan dibangun bersebelahan atau berseberangan berhadap-hadapan. Mal-mal pusat belanja dibiarkan berdekatan dengan pasar tradisional yang telah mengancam kelangsungan hidup pasar.

Gubernur Ahok masih kewalahan menertibkan dan menata para pedagang kaki lima (PKL). Dalam RDTR dan Peraturan Zonasi (PZ) diatur tentang PKL di ruang publik dengan harapan mendapat titik tengah antara kepentingan pemda menjaga ketertiban dan kepentingan pengembangan PKL sebagai bagian dari ekonomi lokal. Prinsip pengaturan PKL adalah pengaturan lokasi dan waktu kegiatan.

Pemprov DKI bersama Asosiasi PKL DKI perlu segera menyusun peta sebaran lokasi PKL dan mendata secara akurat jumlah PKL di setiap titik lokasi. Peta dan data ini menjadi pegangan bersama dalam mendistribusikan PKL ke dalam pasar tradisional, pusat belanja, gedung perkantoran, hingga keikutsertaan dalam berbagai kegiatan festival PKL.

Kelanjutan kebijakan 17 Aksi Strategis Mengatasi Kemacetan Jakarta (2010) yang berisikan antara lain larangan parkir di jalan, penerapan "jalan berbayar elektronik", dan pembentukan Badan Otoritas Transportasi Jabodetabek belum sepenuhnya terlaksana. Adapun pemberlakuan kebijakan "3 in 1" bagi mobil pribadi dan pembatasan kendaraan bermotor (Jalan M.H. Thamrin) tidaklah terlalu efektif lagi.

Pembangunan transportasi massal terpadu MRT masih terus berlangsung. Monorel atau LRT berhenti untuk kedua kali dan kini tengah dijajaki rencana kereta ringan meski tidak ada dalam RDTR. Bus Transjakarta (BRT) masih dirundung masalah seperti belum memenuhi standar pelayanan minimum, jumlah armada bus yang tidak memadai dan rusak, serta korupsi pengadaan bus baru. Janji peremajaan 1.000 bus sedang yang sudah tidak laik jalan juga belum terwujud.

Sementara itu, ketidakseriusan waterway yang coba dihidupkan kembali akhirnya gagal total untuk kedua kali. Pemprov DKI belum memberikan perhatian besar terhadap pembangunan trotoar (beserta revitalisasi jaringan utilitas dan saluran air) dan jalur sepeda yang aman dan nyaman.

Apresiasi patut diberikan dengan terwujudnya enam Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) yang diharapkan mendorong taman-taman kota menjadi ramah anak dan menambah pembangunan RTH baru untuk mengejar ketertinggalan target RTH 30 persen dari kondisi sekarang 9,8 persen. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar