Menjaga Asa Jakarta Baru
Nirwono Joga ; Koordinator Kemitraan Kota Hijau
|
KORAN TEMPO, 22 Juni 2015
Seperti biasa,
perayaan hari ulang tahun Kota Jakarta ke-488 (22 Juni) dimeriahkan oleh
berbagai festival, karnaval, pesta rakyat, dan pesta belanja. Namun di balik
itu, ada keraguan Program Jakarta Baru yang diusung Jokowi-Ahok dan
dilanjutkan Ahok-Djarot mulai memudar. Banyak program pada awal gebrakan
sempat memberikan harapan segar bagi warga Jakarta, tapi kini mulai meredup.
Setelah banjir besar
pada awal 2013, pembenahan Waduk Pluit dari kampung padat kumuh menjadi taman
berlangsung cepat, tapi sekarang melambat dan tidak kunjung dituntaskan.
Waduk Ria-rio dan beberapa waduk yang mulai ditata terhenti dan tidak jelas
kelanjutannya di lapangan. Padahal Jakarta masih memiliki 42 waduk dan 14
situ yang perlu segera direvitalisasi untuk pengendalian banjir.
Penataan Kali Ciliwung
dan pembebasan permukiman di Kampung Pulo, yang merupakan titik terparah
banjir, juga telah kehilangan momentum. Saat awal, Jokowi berhasil meraih
simpati warga untuk bersedia pindah ke rumah susun. Namun, karena
ketidaksiapan jumlah unit rusun yang akan ditempati, ketidakpastian jadwal
kepindahan, dan ketidakjelasan mata pencarian di tempat baru, warga jadi hilang
kepercayaan dan enggan berpindah. Sementara itu, di Jakarta masih ada 12 kali
besar, 3 di antaranya diprioritaskan untuk dibenahi sebelum 2017, yakni Kali
Pesanggrahan, Kali Angke, dan Kali Sunter.
Pemprov DKI memilih
menertibkan bangunan permukiman liar di bantaran anak kali dan saluran air
sebagai bentuk ketegasan pemerintah daerah mengembalikan fungsi semula untuk
mengendalikan banjir. Sosialisasi formalitas ala kadarnya di lapangan membuat
penertiban sering kali disertai penggusuran, kekerasan, dan penolakan warga
berpindah ke rusun.
Dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), untuk penanganan
permukiman kumuh, Pemprov DKI seharusnya menggunakan pendekatan
"Kerangka Kerja Kebijakan Permukiman Kembali". Kebijakan itu
meliputi pelibatan seluruh pemangku kepentingan dalam rangka mencari
alternatif desain permukiman kembali yang layak, mencarikan alternatif solusi
terhadap aktivitas ekonomi warga terkena proyek yang berpotensi hilang, dan
memberikan kesempatan warga terkena proyek untuk bermukim kembali di tempat
yang legal.
Penataan kawasan Pasar
Minggu, Pasar Jatinegara, dan Pasar Tanah Abang sesaat berhasil mengubah
wajah baru pasar menjadi lancar, bersih, dan rapi. Namun tak berlangsung
lama, pasar-pasar itu telah kembali seperti semula akibat ketidakkonsistenan
dalam menjaga pasar. Pemprov DKI lebih memilih merevitalisasi pasar yang
tidak terlalu parah keadaannya seperti Pasar Gondangdia, Pasar Pulogadung.
Pemerintah daerah
tidak berdaya mengendalikan pertumbuhan minimarket yang menjamur begitu masif
hingga ke kampung dan kompleks permukiman, bahkan dibangun bersebelahan atau
berseberangan berhadap-hadapan. Mal-mal pusat belanja dibiarkan berdekatan
dengan pasar tradisional yang telah mengancam kelangsungan hidup pasar.
Gubernur Ahok masih
kewalahan menertibkan dan menata para pedagang kaki lima (PKL). Dalam RDTR
dan Peraturan Zonasi (PZ) diatur tentang PKL di ruang publik dengan harapan
mendapat titik tengah antara kepentingan pemda menjaga ketertiban dan
kepentingan pengembangan PKL sebagai bagian dari ekonomi lokal. Prinsip
pengaturan PKL adalah pengaturan lokasi dan waktu kegiatan.
Pemprov DKI bersama
Asosiasi PKL DKI perlu segera menyusun peta sebaran lokasi PKL dan mendata
secara akurat jumlah PKL di setiap titik lokasi. Peta dan data ini menjadi
pegangan bersama dalam mendistribusikan PKL ke dalam pasar tradisional, pusat
belanja, gedung perkantoran, hingga keikutsertaan dalam berbagai kegiatan
festival PKL.
Kelanjutan kebijakan
17 Aksi Strategis Mengatasi Kemacetan Jakarta (2010) yang berisikan antara
lain larangan parkir di jalan, penerapan "jalan berbayar
elektronik", dan pembentukan Badan Otoritas Transportasi Jabodetabek
belum sepenuhnya terlaksana. Adapun pemberlakuan kebijakan "3 in 1"
bagi mobil pribadi dan pembatasan kendaraan bermotor (Jalan M.H. Thamrin)
tidaklah terlalu efektif lagi.
Pembangunan
transportasi massal terpadu MRT masih terus berlangsung. Monorel atau LRT
berhenti untuk kedua kali dan kini tengah dijajaki rencana kereta ringan
meski tidak ada dalam RDTR. Bus Transjakarta (BRT) masih dirundung masalah
seperti belum memenuhi standar pelayanan minimum, jumlah armada bus yang
tidak memadai dan rusak, serta korupsi pengadaan bus baru. Janji peremajaan
1.000 bus sedang yang sudah tidak laik jalan juga belum terwujud.
Sementara itu,
ketidakseriusan waterway yang coba dihidupkan kembali akhirnya gagal total
untuk kedua kali. Pemprov DKI belum memberikan perhatian besar terhadap
pembangunan trotoar (beserta revitalisasi jaringan utilitas dan saluran air)
dan jalur sepeda yang aman dan nyaman.
Apresiasi patut
diberikan dengan terwujudnya enam Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA)
yang diharapkan mendorong taman-taman kota menjadi ramah anak dan menambah
pembangunan RTH baru untuk mengejar ketertinggalan target RTH 30 persen dari
kondisi sekarang 9,8 persen. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar