Membangun Karakter Bangsa
Sudharto
; Sekretaris Dewan Kehormatan Guru Pusat;
Mengabdi
di Universitas PGRI Semarang
|
SUARA MERDEKA, 11 Juni 2015
Cita-cita nasional
sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 sampai saat ini masih jauh dari jangkauan.
Ini dapat dilihat dari indikasi kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan.
Selain itu persoalan keamanan dan ketertiban yang meresahkan serta
ketidakadilan yang belum ada tanda-tanda akan segera berakhir.
Pun hiruk-pikuk dan
kegaduhan politik yang diperlihatkan elite bangsa di tingkat pusat
pemerintahan sarat dengan materi yang jauh dari kepentingan kesejahteraan
warga miskin. Upaya memperbaiki keadaan oleh penguasa sering kelihatan kurang
kompak. Koordinasi antarsatuan kerja pemerintahan bukan saja lemah, bahkan
saling menelikung. Kementerian negara lebih banyak menunjukkan entitas
kerajaan, manajemen pemerintahan by trial and error, sistem otonomi yang
dibelenggu mindset sentralistik. Ini mengakibatkan ketercapaian cita-cita
nasional makin jauh. Karena itu, perlu membangun karakter bangsa melalui
pendidikan karakter, untuk membentuk atau mengembangkan kepribadian atau
karakter anak, baik selaku pribadi maupun warga negara.
Pendidikan karakter
dapat dilakukan melalui mata pelajaran tertentu dengan sistem evaluasi
menyatu dengan mata pelajaran tersebut. Dalam sistem pendidikan nasional ada
mapel Pendidikan Budi Pekerti dan Agama yang isinya memuat bahan pengembangan
karakter siswa. Pada KTSP 2006 ada pengelompokan mapel seperti Agama dan
Akhlak Mulia, Kewarganegaraan dan Kepribadian, Sains dan Teknologi. Namun
guru mapel itu kurang menaruh perhatian terhadap muatan pendidikan karakter.
Di sisi lain pendidikan berbasis karakter dimaksudkan sebagai model kurikulum
dengan proses pendidikan yang tiap tahapannya mengandung unsur dasar
pengembangan karakter positif bagi peserta didik. Tiap langkah pembelajaran
untuk mapel apa pun wajib hukumnya memasukkan unsur karakter positif bagi
peserta didik. Namun terincinya kurikulum berbasis karakter tersebut tetap memberi
peluang bagi guru untuk berinovasi, berkreativitas memberdayakan kearifan
lokal.
Dalam pengertian
bangsa sebagai entitas kolektif, ada keterikatan antara orang per orang yang
karena sebab tertentu dalam proses panjang jadi sebuah kesatuan. Terdapat
hubungan erat antara kepribadian kolektif dan kepribadian individu. Dalam
konteks ini kepribadian kolektif lebih dominan tanpa mengabaikan eksistensi
kepribadian individu. Rujukan Utama Kepribadian kolektif itulah yang jadi
rujukan utama tiap orang sebagai warga negara.
Terkait kepribadian
individu dan kepribadian kolektif fakta menunjukkan tiap negara memiliki
perlakuan berbeda terhadap status dan role dua kepribadian. Hal ini
bergantung kepada dasar negara atau falsafah hidup yang dianut oleh suatu
bangsa. Dalam hubungan dengan karakter individu, pengertian karakter adalah
watak, tabiat, akhlak atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil
internalisasi berbagai kebajikan (virtue) yang diyakini dan digunakannya
sebagai sebagai landasan cara pandang, berpikir, bersikap dan bertindak.
Mengacu pengertian ini
maka karakter bangsa adalah kepribadian bangsa yang terbentuk dari hasil
internalisasi berbagai nilai (value),
kebajikan yang berasal dari khazanah budaya asli yang disepakati dan diyakini
serta digunakan sebagai landasan untuk mengambil sikap, tindakan dalam
mencapai tujuan bangsa (Hariyati, Titik 2010; Soegeng Ysh 20- 10:10). Dalam
hal ini perlu kembali mengingatkan bahwa Pancasila di samping sebagai dasar
negara dan falsafah hidup bangsa juga sebagai kepribadian dan karakter
bangsa, serta identitas nasional (Sastraprateja, M 2006 :46-49). Untuk itulah
Pancasila haruslah menjadi rujukan dasar dalam menata kehidupan masyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Sistem ekonomi, sosial, budaya, hukum, pertahanan
dan keamanan nasional harus merujuk pada Pancasila. Pancasila haruslah
menjadi tolok ukur ketika negara mengatur sistem-sistem tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar