Stabilisasi Harga Kebutuhan Pokok
Khudori ; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan
Pusat,
dan
Penggiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
|
KORAN SINDO, 24 Juni 2015
Pemerintah menerbitkan
Perpres No 71/2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Harga Kebutuhan Pokok
dan Barang Penting. Perpres ini merupakan amanah UU No 7/2014 tentang
Perdagangan dan UU No 18/2012 tentang Pangan. Lewat perpres yang diteken
Presiden Jokowi pada 15 Juni itu, pemerintah berharap gejolak harga kebutuhan
pokok (dan barang penting) bisa diatasi. Caranya lewat penetapan harga dan
pengendalian stok. Ada 11 barang kebutuhan pokok yang diatur: beras, kedelai
bahan baku tahu/tempe, cabai, bawang merah, gula, minyak goreng, tepung
terigu, daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, ikan segar (bandeng,
kembung, dan tongkol/tuna/ cakalang).
Sedangkan barang
penting mencakup tujuh: benih (padi, jagung, kedelai), pupuk, gas elpiji 3
kg, tripleks, semen, besi baja konstruksi, dan baja ringan.
Dari sisi hukum, aturan
ini penting karena telah mengisi kekosongan payung hukum. Selama ini belum
ada payung hukum dalam bentuk UU yang memungkinkan pemerintah menetapkan
harga dan mengatur stok, dua instrumen stabilisasi harga. Karena itu, tidak
mengherankan jika kita tidak memiliki instrumen pengendali harga kebutuhan
pokok. Akibatnya, kenaikan harga selalu berulang. Hari berganti bulan, bulan
berganti tahun, tapi instabilitas harga tak bisa dijinakkan, bahkan jadi
rutinitas tahunan. Tak terhitung sumberdaya yang tergerus. Bangsa ini
kehabisan waktu, tenaga, dan biaya yang besar untuk mengatasi ihwal rutin
yang bisa diselesaikan dengan cara-cara cerdas.
Penyebab kenaikan
harga kebutuhan pokok, terutama pangan, diketahui dengan baik oleh
pemerintah. Karena itu, mestinya penanganannya jauh lebih mudah. Lalu,
mengapa masalah ini selalu berulang? Ini terjadi karena pemerintah tidak
pernah mau menyentuh akar persoalan. Solusi yang dilakukan hanya menyentuh
level permukaan. Contohnya, pemerintah amat sibuk mengurusi pasokan. Pemerintah
yakin, saat pasokan memadai harga akan stabil. Tapi, pemerintah lupa pasokan
yang memadai tak berarti apa-apa bila distribusi macet dan ada pelaku dominan
dan pemburu rente yang berulah nakal.
Penyebab instabilitas
harga kebutuhan pokok, terutama pangan, bersifat struktural. Tanpa menyentuh
masalah struktural, instabilitas selalu berulang.
Pertama, dominasi
orientasi pasar kebijakan pangan. Hampir semua komoditas pangan, kecuali
beras, diserahkan pada mekanisme pasar. Kalaupun diatur, hanya waktu dan
kuota impor. Orientasi ini tak salah kalau infrastruktur sudah baik, petani
sejahtera, dan pendapatan konsumen pejal pada guncangan pasar.
Kenyataannya, ketiga
itu belum terpenuhi.
Kedua, konsentrasi
distribusi sejumlah komoditas pangan di tangan segelintir pelaku. Orientasi
pasar membuat swasta leluasa mengambil alih kendali tata niaga. Jalur
distribusi yang konsentris dan oligopolis ini terjadi pada dua sumber pasokan
pangan: produksi domestik dan impor. Ini terjadi hampir pada semua komoditas
yang volume dan nilai impornya amat tinggi seperti gandum, gula, kedelai,
beras, jagung, daging, tak terkecuali bawang (putih). Bisnis impor ini bahkan
sudah menjadi political rentseeking.
Ketiga, instrumen
stabilisasi amat terbatas. Sejak Bulog mengalami ”setengah privatisasi”
menjadi Perum, praktis kita tidak memiliki badan penyangga yang memiliki
kekuatan besar menstabilkan pasokan dan harga pangan. Bulog yang dulu amat
perkasa, mengurus enam pangan pokok dan mendapatkan berbagai privilese, kini
semua itu telah dipreteli. Kini Bulog hanya mengurus beras. Itu pun dengan
kapasitas terbatas. Cadangan beras yang dikelola Bulog pun amat kecil,
rata-rata antara 7-8%. Dengan kondisi seperti itu, Bulog tidak memiliki
kapasitas besar untuk mengintervensi pasar saat terjadi gejolak.
Keempat, absennya
kelembagaan pangan. Sejak menteri negara urusan pangan dibubarkan pada 1999,
tidak ada lagi lembaga yang bertugas merumuskan kebijakan, mengoordinasikan
dan mengarahkan pembangunan pangan. Pasal 126-129 UU No 18/2012 tentang
Pangan yang mewajibkan pembentukan lembaga pangan belum ditunaikan.
Celakanya, sejak otonomi daerah membuat produksi pangan domestik diurus
daerah. Padahal, elite daerah tidak menjadikan pertanian dan pangan sebagai driver pencitraan. Peta jalan
swasembada pangan dari pusat bahkan diterjemahkan beragam oleh daerah.
Mustahil berharap inovasi pembangunan pertanianpangan lahir dari daerah.
Ini semua memperparah
kinerja produksi pangan domestik. Hasil akhir jalinan empat faktor itu
membuat kinerja produksi pangan domestik stagnan, bahkan merosot, diiringi
melonjaknya pangan impor. Saat ini Indonesia bergantung pada impor 100%
gandum, 78% kedelai, 72% susu, 54% gula, 18% daging sapi, dan 95% bawang
putih. Sebagian besar diimpor dari negara-negara maju. Belum ada tanda-tanda
ketergantungan akut impor itu menurun. Padahal, permintaan pangan terus
melonjak. Laju permintaan pangan di Indonesia 4,87% per tahun. Agar kecukupan
pangan tercapai, laju suplai pangan harus lebih besar dari permintaan.
Artinya, laju suplai atau pertumbuhan produksi harus lebih5% pertahun.
Padahal, tidak mudah menggenjot produksi sebesar itu.
Untuk mengurai
berbagai problem struktural itu, tidak cukup hanya dengan menerbitkan Perpres
Barang Kebutuhan Pokok. Sejumlah kebijakan terkait diperlukan. Pertama,
meningkatkan produksi, produktivitas, dan efisiensi usaha tani dan tata niaga
komoditas pangan di hulu. Untuk pangan tropis berbasis sumber daya lokal, tak
ada alasan untuk tidak swasembada. Kebijakan ini harus ditopang perluasan
lahan pangan, perbaikan infrastruktur (irigasi, jalan, jembatan), pembenahan
sistem informasi harga, pasar, dan teknologi. Dalam batas tertentu, kinerja
produksi pangan yang baik bisa menekan dampak buruk perdagangan dan tata
niaga yang tidak efisien, konsentris, dan oligopolis.
Kedua, merevitalisasi
Bulog dengan cara memperluas kapasitasnya. Bulog tidak hanya mengurus beras,
tetapi juga beberapa komoditas seperti diatur dalam Perpres Barang Kebutuhan
Pokok disertasi instrumen lengkap seperti cadangan, harga (atas dan bawah),
pengaturan impor (waktu dan kuota), dan anggaran memadai. Impor komoditas
pangan pokok yang semula diserahkan swasta bisa dikembalikan sebagian atau
seluruhnya pada Bulog. Ini akan mengeliminasi kuasa swasta dalam kontrol
harga dan mereduksi praktik rente politik.
Ketiga, menunaikan
pembentukan kelembagaan pangan seperti amanat UU Pangan. Nanti Bulog bisa
menjadi tangan kanan lembaga ini dalam stabilisasi harga. Kelembagaan baru
ini diharapkan tidak hanya berkutat pada perumusan kebijakan dan koordinasi
pembangunan pangan, tetapi juga menuntaskan prahara harga tidak berulang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar