Reposisi Strategi Tata Kelola Pangan
Achmad Maulani ; Kandidat Doktor Sosiologi Ekonomi
Universitas Indonesia
|
MEDIA INDONESIA, 23 Juni 2015
SETIAP Ramadan atau menjelang Idul Fitri,
kenaikan berbagai harga kebutuhan pokok seolah menjadi menu wajib. Siklus
tahunan itu pun tak pernah tertangani secara tuntas dan mendasar. Terlebih
dalam beberapa bulan terakhir ini, lonjakan harga pelbagai bahan pangan
seperti tak terbendung. Persoalan itu tak pelak menjadi penyumbang utama
inflasi pada Mei 2015 sebesar 0,5%.
Karena itu, hal mendesak utama yang harus
segera dilakukan pemerintah saat ini ialah melakukan reposisi strategi dalam
tata kelola kebijakan pangan. Tata kelola di sini dimaksudkan untuk
memastikan kecukupan pasokan bahan makanan di seluruh daerah Indonesia.
Selain itu, pemerintah harus memastikan jalur distribusi yang memadai dan
terjangkau sehingga bisa memangkas biaya logistik yang muaranya ialah
keterjangkauan daya beli masyarakat.
Persoalan keterjangkauan dan ketercukupan itu
penting ditekankan karena salah satu tonggak ketahanan pangan ialah
ketersediaan pangan dan aksesibilitas bahan pangan oleh masyarakat.
Ketersediaan dan ketercukupan pangan juga mencakup kuantitas dan kualitas
bahan pangan. Dalam soal aksesibilitas setiap rakyat terhadap bahan pangan,
kehadiran negara merupakan sebuah keniscayaan. Intervensi negara dalam hal
distribusi pangan pokok masih relevan untuk melindungi konsumen dari
melambungnya harga-harga yang kadang tak terkendali.
Kita masih ingat beberapa waktu lalu persoalan
beras bahkan telah mengguncang perekonomian nasional. Sumber bahan pangan
utama rakyat Indonesia itu seperti tak henti-hentinya diterpa masalah, dari
produksi, pascapanen, hingga gejolak harga. Paling mutakhir ialah kasus beras
palsu berbahan baku plastik yang dioplos dengan beras konsumsi.
Masih segar juga dalam ingatan bahwa harga
beras naik pada awal 2015 dan pada Mei hingga Juni harga kembali merangkak
naik. Satu hukum yang pasti, yakni kenaikan harga beras biasanya selalu
disertai kenaikan berbagai bahan pokok lain, terlebih dengan kenaikan bahan
bakar minyak yang tak menentu.
Pelonjakan berbagai kebutuhan bahan pokok
tidak bisa dilepaskan dari kebijakan strategi stabilisasi harga. Hal itu
sangat berkaitan dengan persoalan tata kelola pangan. Persoalan tata kelola
pangan yang buruk diduga menjadi sebab utama impor beberapa kebutuhan bahan
pangan terus naik sehingga menyebabkan harga pangan melonjak.
Bahkan, jika tidak ditangani dengan baik,
impor pangan Indonesia dalam kurun waktu 2020-2030 akan mencapai Rp1.200
triliun-Rp1.500 triliun. Pada 2013, dana yang di alokasikan untuk impor
pangan mencapai Rp435 triliun. Langkah yang diambil pemerintah selama ini
sering kali hanya bersifat sporadis dan hanya menutupi celah-celah yang
bocor, tapi belum mampu menyentuh akar masalah.
Menyimak semua itu, harus ada tindakan cepat
dan terobosan yang diambil pemerintah untuk mereformasi tata kelola pangan
secara keseluruhan. Langkah nyata yang komprehensif dan mendasar diperlukan
untuk mengatasi karut-marut persoalan pangan di Indonesia, khususnya untuk
mengatasi lonjakan harga yang selalu menjerat rakyat.
Salah satu yang harus dilakukan, misalnya,
ialah membuat sebuah lembaga regulator yang mengatur semua hal tentang pangan
sehingga karut-marut tata kelola pangan baik itu persoalan data maupun hal
lain dapat diselesaikan. Pemerintah harus segera melakukan listing terhadap seluruh perangkat
perundang-undangan yang berkaitan dengan pangan. Lalu, pemerintah harus
melihat kerangka eksekusinya guna membuat roadmap
yang jelas.
Selain itu, selama ini, salah satu penyebab
tidak efektifnya berbagai instrumen kebijakan untuk menjaga fluktuasi harga
bahan pangan ialah tata kelola yang buruk kelembagaan pangan. Desain tata
kelola kelembagaan itu mutlak diperlukan untuk menunjang kerangka dasar
ketahanan pangan Indonesia. Kelembagaan di sini ialah sebuah aturan main yang
diikuti dan ditegakkan secara baik.
Mengutip Ronald Coase, penerima Nobel Ekonomi
1991, pengembangan kelembagaan ialah salah satu langkah penting dalam
perbaikan distribusi sumber daya dan peningkatan keadilan sosial. Hal itu
disebabkan hal yang selalu melekat dalam soal kelembagaan, yakni aturan main.
Dalam tata kelola pangan, aransemen ulang
kelembagaan ekonomi pangan masa depan setidaknya harus mampu menjawab
tantangan makro kebijakan yang mengintegrasikan agenda tiga kebijakan
penting. Pertama, pemulihan ekonomi dan pencapaian tingkat pertumbuhan
ekonomi yang mampu berkelanjutan. Kedua, pengentasan kemiskinan dengan basis
ekonomi perdesaan. Ketiga, stabilitas sistem pangan nasional yang menjadi
tumpuan ketahanan dan kedaulatan pangan.
Ketiga agenda di atas tentu tidak sederhana
karena ketiganya berkaitan erat, apalagi dalam konteks ekonomi pasar.
Ketahanan dan kedaulatan pangan sendiri memerlukan integrasi kebijakan
makroekonomi, kebijakan ekonomi sektoral, dan perubahan aransemen kelembagaan
atau keputusan politik yang mampu secara efektif menangani distribusi pangan
ke seluruh pelosok Tanah Air.
Satu hal yang harus ditegaskan bahwa struktur
pasar yang berkaitan dengan persoalan pangan terkadang jauh dari sempurna.
Pada titik itulah peran negara mutlak diperlukan. Kelembagaan pasar akan
tegak dan berfungsi dengan baik ketika dibangun di atas negara yang
berdaulat. Karena itu, pada skala negara dan tataran politik, desain dan
aturan konstitusi yang disepakati harus terus dikawal agar berbagai kebijakan
yang ditelurkan mampu memberi makna bagi kualitas kehidupan manusia. Kebijakan
yang integratif dan komprehensif mutlak dilakukan, baik pada level hulu
maupun hilir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar