Risiko Legalisasi Pernikahan Dini
Bagong Suyanto, ; Dosen FISIP Universitas Airlangga
|
KORAN TEMPO, 24 Juni 2015
Sidang Mahkamah
Konstitusi (MK) yang menguji materi UU Perkawinan 1974, khususnya Pasal 7
ayat (1) tentang batas minimal usia pernikahan-yaitu 16 tahun bagi perempuan
dan 19 tahun bagi laki-laki-menghasilkan keputusan yang membuat banyak pihak
kecewa. Meski ada satu hakim yang menyatakan berbeda pendapat, keputusan
akhirnya, MK menolak gugatan sejumlah pihak yang menginginkan batas usia
pernikahan bagi perempuan dinaikkan menjadi 18 tahun.
Padahal, dalam
Undang-Undang Perlindungan Anak, dengan tegas disebutkan bahwa yang
dimaksudkan dengan anak di Indonesia adalah seseorang yang berusia di bawah
18 tahun. Artinya, jika MK tak mau menaikkan batas minimal usia perkawinan
perempuan menjadi 18 tahun, apakah itu berarti MK secara tidak langsung
menyetujui pernikahan dini anak perempuan?
Sebagai sebuah produk
hukum, keputusan MK tentu akan menimbulkan dampak yang luas bagi masyarakat.
Jika selama ini banyak aktivitas LSM, pemerhati gender, dan orang-orang yang
peduli hak anak senantiasa memperjuangkan agar usia pernikahan dinaikkan,
dengan keluarnya keputusan MK di atas, bukan tidak mungkin dalam masyarakat
akan muncul kasus-kasus pernikahan dini yang makin meningkat.
Sidang MK yang
memperbincangkan batasan usia menikah anak perempuan dari sisi dogmatis
terbukti memang kemudian menafikan dampak atau pertimbangan aspek lain yang
tak kalah penting. Ketika argumentasi yang dikemukakan dalam sidang MK lebih
banyak didominasi pembahasan dari sisi agama dibanding masalah yang timbul
dari aspek kesehatan dan perlindungan anak yang menjadi dasar gugatan para
pemohon, risiko medis dan dampak sosial yang timbul dari kasus pernikahan
dini akhirnya dinomorduakan
Selama ini, banyak
bukti memperlihatkan bahwa dari segi medis, anak perempuan yang menikah dalam
usia dini umumnya rawan tertimpa berbagai risiko, seperti terancam risiko
kematian yang lebih besar jika mereka hamil dan melahirkan. Dari segi sosial,
anak perempuan yang menikah dalam usia dini, dan kemudian hamil, tak jarang
kemudian tanpa sadar menelantarkan anak-anaknya, dan bahkan melahirkan anak
yang sebetulnya tidak mereka kehendaki.
Anak yang lahir dari
pasangan yang masih belia, tidak sekali-dua kali terbukti menganggap
kehadiran anak sebagai rintangan atau gangguan bagi karier dan kehidupan
mereka. Minimal, kehadiran anak tidak disambut dengan gembira oleh orang
tuanya, layaknya orang tua lain yang sudah memenuhi persyaratan dari segi usia,
psikologis, sosial, dan ekonomi.
Di berbagai daerah,
bukan rahasia lagi bahwa kasus pernikahan dini umumnya terjadi dalam
masyarakat dari golongan menengah ke bawah, dan rata-rata kurang
berpendidikan. Dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan dan secara psikologis
belum sepenuhnya matang, lantas sejauh mana mereka bisa diharapkan dapat
membesarkan dan mendidik anaknya dengan benar?
Ketika zaman sudah
bergulir makin maju, dan peluang bagi anak perempuan untuk meningkatkan
derajatnya jauh lebih terbuka, sebetulnya akan lebih bijak jika hukum juga
mendukung kesempatan bagi anak perempuan untuk meraih masa depan yang lebih
baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar