Senin, 29 Juni 2015

Ironi Sebuah Negeri

Ironi Sebuah Negeri

  Achmad Maulani ;   Kandidat Doktor Universitas Indonesia
JAWA POS, 27 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

INILAH ironi sebuah negeri. Anggaran negara lebih dari Rp 11 triliun yang berasal dari akumulasi dana aspirasi seluruh anggota DPR kini menjadi polemik dan kontroversi. Penangkapan penyelenggara negara (bupati/wali kota) di beberapa daerah oleh KPK karena mengemplang dana rakyat juga terus menghiasi wajah republik ini. Pada saat bersamaan, kita menyaksikan sebuah pemandangan yang mengenaskan dan menyesakkan dada: wajah kemiskinan yang terdedah di depan mata.

Paradoks dan ironi itu begitu memilukan dan menyayat nurani. Sebanyak 1.918 anak di Nusa Tenggara Timur menderita gizi buruk. Bahkan, tercatat 11 anak di bawah lima tahun meninggal karena gizi buruk itu. Masih ada pula 21.134 anak balita yang mengalami kekurangan gizi.

Di NTT, kasus gizi buruk sebetulnya selalu terjadi dan terus berulang. Tetapi, tampaknya, negara alpa untuk menyantuni dan hadir bagi rakyatnya sehingga kemiskinan seolah menyatu bagi kehidupan mereka. Pada 2014, misalnya, tercatat 2.100 anak menderita gizi buruk dan 15 di antara mereka meninggal serta 3.121 anak balita mengalami kekurangan gizi.

Fenomena tersebut hanyalah puncak gunung es dari ribuan bahkan jutaan kisah kemiskinan serta lautan kemelaratan yang melilit warga bangsa ini. Ada dua hal yang bisa dinilai dalam kasus ini. Pertama, negara telah gagal menjalankan basis filsafat politiknya: berjalan sesuai khitah dalam merawat rakyat menuju keadilan sosial. Kedua, haluan negara telah ditelikung di tengah jalan sehingga wajah kebijakan publik menjadi centang-perenang dan amburadul. Akibatnya, kebijakan ekonomi (pembangunan) menjadi salah arah dan tidak menunjukkan sense of urgency.

Kemiskinan tentu bukan peristiwa alam yang sekadar singgah tanpa sebab yang mendahuluinya. Ia juga tidak seperti paradigma sesat pikir yang dikatakan banyak pejabat bahwa orang menjadi miskin karena tidak memiliki etos kerja yang tinggi, tidak memiliki jiwa wiraswasta, SDM rendah, atau karena pendidikan yang rendah.

Di negeri ini, yang terjadi sesungguhnya adalah bukan kemiskinan, tetapi sebuah proses ’’pemiskinan’’ –meminjam istilah Sachs (2005). Sebab, kemiskinan yang terdedah dan tercecer di ribuan jengkal republik ini tidaklah berdiri sendiri. Banyak faktor yang ikut andil dalam proses kemiskinan.

Banyaknya kasus bunuh diri karena tidak kuat menanggung beban hidup serta maraknya kasus busung lapar, kekurangan gizi, mahalnya pupuk, penggusuran, dan banyaknya orang yang tidak mampu membeli beras merupakan contoh-contoh kecil akan akumulasi manipulasi strategi pembangunan dan penyimpangan kebijakan yang akut.

Celakanya, rangkaian peristiwa dramatis itu terjadi di sebuah negeri yang falsafah hidupnya menempatkan isu keadilan sosial sebagai satu di antara lima tiang negara. Jika petaka semacam itu terjadi secara berulang dan terus-menerus, lalu di manakah keberpihakan negara terhadap kelas-kelas rakyat yang diasuhnya? Apakah negara ditakdirkan hadir hanya untuk memunguti pajak masyarakat dan kemudian dibagi kepada pejabat negara yang merasa telah bekerja keras memikirkan nasib rakyat?

Situasi kemiskinan, menurut Jeffrey Sachs dalam The End of Poverty (2005), itu ditandai tiadanya enam macam modal (capital). Yaitu, (1) human capital (kesehatan, pendidikan, dan nutrisi); (2) business capital; (3) infrastructure (jalan, listrik, air bersih, sanitasi, dan perlindungan lingkungan); (4) natural capital; (5) public institutional capital (administrasi publik yang dikelola dengan baik, sistem pengadilan, dan polisi); serta (6) knowledge capital. Ketiadaan satu, bahkan semuanya, akan mengakibat orang semakin terperangkap dalam ’’jebakan kemiskinan’’.

Jutaan rakyat miskin (saat ini mencapai 28,28 juta orang) kini tidak hanya tidak memiliki modal seperti itu sehingga mereka berada dalam kubangan kemiskinan. Lebih dari itu, kebijakan-kebijakan politik yang diambil negara sering justru membuat rakyat kecil terlempar dari proses pembangunan. Dengan demikian, kemiskinan menjadi semakin tidak berujung.

Kebijakan-kebijakan yang diambil negara, legislatif maupun eksekutif, kerap tidak menyentuh ranah komunitas-komunitas miskin. Sebab, visi keadilan sosial secara perlahan dan buas telah dikikis pemilik modal yang rakus serta aparat yang korup. Di sinilah lingkaran dan benang kusut kemiskinan terjadi.

Lalu, bagaimana keluar dari jebakan kemiskinan? Diperlukan diagnosis yang tepat atas kemiskinan. Sebab, orang miskin di negeri ini sudah berada dalam kondisi seperti yang digambarkan James C. Scott (1983): seperti orang yang terendam dalam air sampai ke leher sehingga ombak yang kecil sekalipun akan menenggelamkannya.

Diperlukan kebijakan yang benar-benar berpihak kepada rakyat. Rona kebijakan publik yang diproduksi tidak boleh kehilangan saripati sosial dan harus dirumuskan untuk mencapai cita-cita keadilan sosial. Kebijakan tidak boleh hanya menguntungkan segelintir orang yang justru menelantarkan nasib rakyat.

Selama ini, ruang-ruang perdebatan publik yang terhampar di seluruh lini birokrasi negara habis untuk memperbincangkan jatah kursi pemilu, anggaran negara untuk belanja fasilitas pegawai, atau kasakkusuk jagoan dalam pilkada. Isu-isu penting. Tetapi, ketika lalu lintas perbincangan tidak bersinggungan dengan kondisi riil rakyat, ia justru akan semakin menjerumuskan rakyat ke kubangan kemiskinan.

Dari situlah sudah saatnya kebijakan negara mulai diformulasikan. Tidak sekadar untuk bersanding dengan pasar, tetapi juga bertarung untuk menyelamatkan sendi-sendi sosial kehidupan rakyat.

Tanpa itu, fakta kemiskinan yang tersaji di depan mata hanya akan menunjukkan ironi sebuah negeri. Ketika negara mengikrarkan keadilan sosial sebagai tujuan akhir pembangunan dan cita-cita bersama, pada saat bersamaan, wajah kemiskinan begitu akrab dengan kehidupan sebagian besar rakyat.

Cerita kemakmuran, dengan demikian, hanyalah busa pidato para pejabat tanpa kesanggupan mengerjakannya atau malah dengan bangga memanipulasinya! Pada titik inilah sesungguhnya telah terjadi defisit dalam neraca sosial pembangunan serta lenyapnya visi keadilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar