Ironi Sebuah Negeri
Achmad Maulani ; Kandidat Doktor Universitas Indonesia
|
JAWA POS, 27 Juni 2015
INILAH ironi sebuah negeri. Anggaran negara
lebih dari Rp 11 triliun yang berasal dari akumulasi dana aspirasi seluruh
anggota DPR kini menjadi polemik dan kontroversi. Penangkapan penyelenggara
negara (bupati/wali kota) di beberapa daerah oleh KPK karena mengemplang dana
rakyat juga terus menghiasi wajah republik ini. Pada saat bersamaan, kita
menyaksikan sebuah pemandangan yang mengenaskan dan menyesakkan dada: wajah
kemiskinan yang terdedah di depan mata.
Paradoks dan ironi itu begitu memilukan dan
menyayat nurani. Sebanyak 1.918 anak di Nusa Tenggara Timur menderita gizi
buruk. Bahkan, tercatat 11 anak di bawah lima tahun meninggal karena gizi
buruk itu. Masih ada pula 21.134 anak balita yang mengalami kekurangan gizi.
Di NTT, kasus gizi buruk sebetulnya selalu
terjadi dan terus berulang. Tetapi, tampaknya, negara alpa untuk menyantuni
dan hadir bagi rakyatnya sehingga kemiskinan seolah menyatu bagi kehidupan
mereka. Pada 2014, misalnya, tercatat 2.100 anak menderita gizi buruk dan 15
di antara mereka meninggal serta 3.121 anak balita mengalami kekurangan gizi.
Fenomena tersebut hanyalah puncak gunung es
dari ribuan bahkan jutaan kisah kemiskinan serta lautan kemelaratan yang
melilit warga bangsa ini. Ada dua hal yang bisa dinilai dalam kasus ini.
Pertama, negara telah gagal menjalankan basis filsafat politiknya: berjalan
sesuai khitah dalam merawat rakyat menuju keadilan sosial. Kedua, haluan
negara telah ditelikung di tengah jalan sehingga wajah kebijakan publik
menjadi centang-perenang dan amburadul. Akibatnya, kebijakan ekonomi
(pembangunan) menjadi salah arah dan tidak menunjukkan sense of urgency.
Kemiskinan tentu bukan peristiwa alam yang
sekadar singgah tanpa sebab yang mendahuluinya. Ia juga tidak seperti
paradigma sesat pikir yang dikatakan banyak pejabat bahwa orang menjadi
miskin karena tidak memiliki etos kerja yang tinggi, tidak memiliki jiwa
wiraswasta, SDM rendah, atau karena pendidikan yang rendah.
Di negeri ini, yang terjadi sesungguhnya
adalah bukan kemiskinan, tetapi sebuah proses ’’pemiskinan’’ –meminjam
istilah Sachs (2005). Sebab, kemiskinan yang terdedah dan tercecer di ribuan
jengkal republik ini tidaklah berdiri sendiri. Banyak faktor yang ikut andil
dalam proses kemiskinan.
Banyaknya kasus bunuh diri karena tidak kuat
menanggung beban hidup serta maraknya kasus busung lapar, kekurangan gizi,
mahalnya pupuk, penggusuran, dan banyaknya orang yang tidak mampu membeli beras
merupakan contoh-contoh kecil akan akumulasi manipulasi strategi pembangunan
dan penyimpangan kebijakan yang akut.
Celakanya, rangkaian peristiwa dramatis itu
terjadi di sebuah negeri yang falsafah hidupnya menempatkan isu keadilan
sosial sebagai satu di antara lima tiang negara. Jika petaka semacam itu
terjadi secara berulang dan terus-menerus, lalu di manakah keberpihakan
negara terhadap kelas-kelas rakyat yang diasuhnya? Apakah negara ditakdirkan
hadir hanya untuk memunguti pajak masyarakat dan kemudian dibagi kepada
pejabat negara yang merasa telah bekerja keras memikirkan nasib rakyat?
Situasi kemiskinan, menurut Jeffrey Sachs
dalam The End of Poverty (2005),
itu ditandai tiadanya enam macam modal (capital). Yaitu, (1) human capital (kesehatan, pendidikan,
dan nutrisi); (2) business capital;
(3) infrastructure (jalan, listrik,
air bersih, sanitasi, dan perlindungan lingkungan); (4) natural capital; (5) public
institutional capital (administrasi publik yang dikelola dengan baik,
sistem pengadilan, dan polisi); serta (6) knowledge
capital. Ketiadaan satu, bahkan semuanya, akan mengakibat orang semakin
terperangkap dalam ’’jebakan kemiskinan’’.
Jutaan rakyat miskin (saat ini mencapai 28,28
juta orang) kini tidak hanya tidak memiliki modal seperti itu sehingga mereka
berada dalam kubangan kemiskinan. Lebih dari itu, kebijakan-kebijakan politik
yang diambil negara sering justru membuat rakyat kecil terlempar dari proses
pembangunan. Dengan demikian, kemiskinan menjadi semakin tidak berujung.
Kebijakan-kebijakan yang diambil negara,
legislatif maupun eksekutif, kerap tidak menyentuh ranah komunitas-komunitas
miskin. Sebab, visi keadilan sosial secara perlahan dan buas telah dikikis
pemilik modal yang rakus serta aparat yang korup. Di sinilah lingkaran dan benang
kusut kemiskinan terjadi.
Lalu, bagaimana keluar dari jebakan
kemiskinan? Diperlukan diagnosis yang tepat atas kemiskinan. Sebab, orang
miskin di negeri ini sudah berada dalam kondisi seperti yang digambarkan
James C. Scott (1983): seperti orang yang terendam dalam air sampai ke leher
sehingga ombak yang kecil sekalipun akan menenggelamkannya.
Diperlukan kebijakan yang benar-benar berpihak
kepada rakyat. Rona kebijakan publik yang diproduksi tidak boleh kehilangan
saripati sosial dan harus dirumuskan untuk mencapai cita-cita keadilan
sosial. Kebijakan tidak boleh hanya menguntungkan segelintir orang yang
justru menelantarkan nasib rakyat.
Selama ini, ruang-ruang perdebatan publik yang
terhampar di seluruh lini birokrasi negara habis untuk memperbincangkan jatah
kursi pemilu, anggaran negara untuk belanja fasilitas pegawai, atau
kasakkusuk jagoan dalam pilkada. Isu-isu penting. Tetapi, ketika lalu lintas
perbincangan tidak bersinggungan dengan kondisi riil rakyat, ia justru akan
semakin menjerumuskan rakyat ke kubangan kemiskinan.
Dari situlah sudah saatnya kebijakan negara mulai
diformulasikan. Tidak sekadar untuk bersanding dengan pasar, tetapi juga
bertarung untuk menyelamatkan sendi-sendi sosial kehidupan rakyat.
Tanpa itu, fakta kemiskinan yang tersaji di depan
mata hanya akan menunjukkan ironi sebuah negeri. Ketika negara mengikrarkan
keadilan sosial sebagai tujuan akhir pembangunan dan cita-cita bersama, pada
saat bersamaan, wajah kemiskinan begitu akrab dengan kehidupan sebagian besar
rakyat.
Cerita kemakmuran, dengan demikian, hanyalah
busa pidato para pejabat tanpa kesanggupan mengerjakannya atau malah dengan
bangga memanipulasinya! Pada titik inilah sesungguhnya telah terjadi defisit
dalam neraca sosial pembangunan serta lenyapnya visi keadilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar