Constitutional Complaint dan Pengujian UU
Janedjri M Gaffar ; Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas
Diponegoro Semarang
|
KORAN SINDO, 25 Juni 2015
Perlindungan hak konstitusional warga negara
menjadi arus utama negara hukum konstitusional modern. Dimulai dari
berkembangnya paham konstitusionalisme hingga terbentuknya lembaga dan
mekanisme hukum guna melindungi hak konstitusional warga negara, bahkan dari
keputusan atau tindakan negara itu sendiri.
Salah satu mekanisme hukum perlindungan hak
konstitusional yang tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia saat ini
adalah constitutional complaint
atau pengaduan konstitusional, yaitu pengaduan warga negara terhadap tindakan
atau keputusan organ negara, termasuk putusan pengadilan, yang dianggap
melanggar hak konstitusional nya.
Hampir di semua negara, Mahkamah Konstitusi
(MK) dan institusi sejenis memiliki wewenang memutus perkara pengaduan
konstitusional, termasuk di tiga negara yang banyak menjadi referensi pada
saat pembentukan MK-RI, yaitu di Jerman, Austria, dan Korea Selatan. Dalam
perkembangannya, perkara pengaduan konstitusional menjadi perkara terbanyak
yang diterima dan diputus oleh MK di ketiga negara tersebut.
Melihat MK di ketiga negara itu, tentu
menimbulkan pertanyaan ketika MK-RI melalui Perubahan UUD 1945
dikonstruksikan tanpa wewenang memutus pengaduan konstitusional. Kewenangan
memutus pengaduan konstitusional tidak diberikan untuk mencegah terjadinya
penumpukan perkara dan menghindari persinggungan dengan kewenangan MA.
Pengaduan
Konstitusional dalam PUU
Tidak adanya kewenangan memutus pengaduan
konstitusional tidak berarti sama sekali kewenangan MK tidak memiliki elemen
pengaduan konstitusional. MK-RI memiliki kewenangan memutus Pengujian
Undang-Undang (PUU) yang dalam beberapa aspek berbeda dengan kewenangan judicial review yang dimiliki oleh MK
di negara lain, termasuk di Jerman, Austria, dan Korea.
Dari sisi objek kewenangan, yaitu peraturan
perundang-undangan yang dapat diajukan pengujian, MK-RI lebih sempit karena
terbatas pada undangundang, sedangkan pengujian peraturan perundang-undangan
di bawah undang-undang menjadi kewenangan MA. Pemisahan semacam itu tidak
dikenal di negara lain. MK negara lain memiliki wewenang melakukan judicial review terhadap semua produk
hukum.
Dilihat dari pihak yang diberi kedudukan hukum
dalam mengajukan pengujian, di Indonesia lebih luas. Jika di negara lain pada
umumnya membatasi pemohon hanya lembaga negara atau pejabat tertentu,
Indonesia memberikan kesempatan luas bahkan kepada perorangan warga negara.
Pemberian legal standing kepada perorangan warga negara sebenarnya merupakan
elemen dari mekanisme pengaduan konstitusional.
Apalagi pada saat permohonan diajukan oleh
perseorangan yang telah mengalami kerugian hak konstitusional secara spesifik
dan nyata akibat diberlakukannya suatu ketentuan undang-undang. Karena itu,
dapat dikatakan bahwa perkara PUU di MK yang diajukan oleh perorangan warga
negara yang mengalami kerugian nyata dan spesifik memiliki karakter pengaduan
konstitusional.
Beberapa
perkara yang sangat jelas elemen pengaduan konstitusionalnya antara lain
adalah permohonan pengujian pasal-pasal penghinaan terhadap presiden dalam
KUHP yang diajukan oleh Eggi Sujana dan Padapotan Lubis, serta pengujian
pembatasan PK dalam KUHAP yang diajukan oleh Antasari Azhar. Pengujian
pasal-pasal penghinaan terhadap presiden adalah pengujian Pasal 134, 136 bis,
dan 137 KUHP.
Pemohon pada saat itu telah diputus bersalah
melakukan tindak pidana penghinaan terhadap presiden yang diatur di dalam pasal-pasal
KUHP tersebut. Demikian pula dengan pengujian Pasal 268 ayat (3) KUHP yang
membatasi PK hanya satu kali, juga diajukan oleh Antasari Azhar pada saat
yang bersangkutan sudah divonis dan sudah mencoba untuk mengajukan PK lebih
dari satu kali namun ditolak karena adanya ketentuan pembatasan itu.
Elemen pengaduan konstitusional yang bersifat
individual ini dalam perkembangan perkara di MK telah menimbulkan pembedaan
antara isu hukum pelaksanaan norma dan konstitusionalitas norma. Beberapa
perkara dinyatakan ditolak oleh MK dengan alasan bahwa kerugian yang diderita
oleh pemohon bukan persoalan konstitusionalitas norma, melainkan kesalahan
dalam pelaksanaan norma.
Tentu hal ini tidak akan terjadi jika
pengaduan konstitusional menjadi satu kewenangan tersendiri. Di sisi lain,
ada juga ahli yang menganalisis perkara tertentu yang sesungguhnya bersifat
individual dan seharusnya tidak diputus oleh MK melalui PUU yang putusannya
bersifat erga omnes.
Kasus ini antara lain pengujian ketentuan
pembatasan PK yang diajukan oleh Antasari Azhar. Jika kasus tersebut diputus
melalui pengaduan konstitusional, tentu tidak menimbulkan persoalan hukum
karena putusan pengaduan konstitusional yang spesifik untuk kasus yang
dihadapi oleh pemohon.
Pilihan Sistem
Walaupun secara general terdapat teori yang
bersifat umum, setiap negara pasti memiliki pembeda dengan negara lain.
Demikian pula terkait dengan kewenangan MK. Setiap negara dapat saja memiliki
kekhasan masing-masing di samping kesamaan-kesamaan. Sebaliknya, setiap
negara tentu dapat saja melakukan perubahan dengan belajar dari konstruksi
dan pengalaman negara lain yang dipandang sesuai.
Ini adalah pilihan sistem yang masing- masing
memiliki kelebihan dan kekurangan. Keberadaan mekanisme pengaduan konstitusional
yang diikuti pula dengan kewenangan judicial review terhadap seluruh produk
hukum memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihan adanya pengaduan
konstitusional adalah menjadi salah satu instrumen mengawal konstitusi dan
yang lebih penting lagi adalah mengawal pelaksanaan putusan MK.
Pada saat MK sudah memutus judicial review,
tidak ada kekhawatiran lagi terhadap pelaksanaan putusan itu karena dapat
dijamin melalui wewenang judicial review terhadap aturan lebih rendah dan
melalui pengaduan konstitusional terhadap tindakan dan keputusan negara.
Kelemahan yang utama dari adanya pengaduan
konstitusional adalah penumpukan perkara di MK karena objek pengaduan
konstitusional yang sangat luas, walaupun pengalaman dari beberapa negara
menunjukkan sangat sedikit perkara yang dikabulkan. Kelemahan selanjutnya
adalah prosedur yang harus ditempuh oleh warga negara cukup panjang karena
biasanya disyaratkan semua upaya hukum biasa telah ditempuh (exhausted).
Selain itu, pada titik tertentu di beberapa
negara kewenangan ini menempatkan MK sebagai lembaga yang lebih superior
dibanding dengan MA karena putusan MA yang telah memiliki kekuatan hukum
tetap dapat dibatalkan MK jika melanggar hak konstitusional warga negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar