Puasa, Menajamkan Nurani, Mengembangkan Empati
Abd A’la ; Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
|
JAWA POS, 29 Juni 2015
BULAN Ramadan datang kembali. Umat Islam pada
umumnya menyambut bulan penuh rahmat ini dengan kegiatan-kegiatan ibadah
ritual yang lebih intens. Mulai salat sunah dengan peningkatan frekuensi yang
sangat signifikan hingga tadarus (membaca) Alquran dengan khatam
berkali-kali.
Kegiatan semacam itu tentu dilandasi niat umat
Islam untuk takarub kepada Allah. Hal tersebut dilakukan untuk mendekatkan
diri kepada Allah dalam rangka menggapai taqwAllah; suatu perbuatan baik yang
perlu diapresiasi dan didukung.
Dialog dengan Tuhan
Namun, perlu digarisbawahi, pola ritualitas
ini tidak boleh sebatas itu. Umat Islam harusnya tidak hanya sampai pada
pengembangan frekuensi dan memperbanyak beragam ibadah ritual semata. Hakikat
ibadah, khususnya ibadah puasa, bukan sekadar ritual. Salat misalnya, bukan
sekadar kita rajin salat, sujud, rukuk, bacaannya benar. Tapi, bagaimana
mengimplementasikan nilai-nilai di balik salat.
Demikian pula dengan puasa. Setiap muslim yang
berpuasa dituntut tidak sekadar melakukan ritual dengan menahan diri untuk
tidak makan minum dan melakukan hubungan intim dengan istri atau suami di
siang hari. Juga, tidak sekadar memperbanyak salat sunah, membaca Alquran,
dan sejenisnya.
Inti puasa adalah melaksanakan, memaknai
ibadah itu, dan melabuhkannya dalam kehidupan nyata dalam berbagai aspeknya;
individual sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya. Pada sisi ini, manakala
setiap muslim yang berpuasa sudah tidak makan minum dan sejenisnya di siang
hari, padahal tidak ada seorang pun yang tahu seandainya ia mencuri-curi
makan atau minum, ia sejatinya telah mengikrarkan diri untuk mengembangkan
kejujuran dan ketulusan dalam kehidupannya.
Pemaknaan itu juga mengharuskan mereka yang
berpuasa untuk menjadikan setiap ibadah yang dijalani sebagai sarana
berdialog dengan Allah dan menghadirkan sifat-sifat-Nya ke dalam kehidupan
ini.
Sejalan dengan itu, menahan diri dari makan
minum dan tidak berhubungan intim di siang hari merepresentasikan upaya
seorang muslim untuk melakukan manajemen diri. Kemampuan melakukan hal itu
meniscayakan kemampuannya untuk mengatur sikap, pandangan, dan perilakunya
untuk selalu diarahkan kepada kebaikan, kearifan, dan sejenisnya. Serta, pada
saat yang sama, dihindarkan dari segala hal tercela, keburukan, kejahatan,
dan seumpamanya sebagaimana diajarkan dalam agama.
Menajamkan Nurani
Lebih dari itu, lapar yang dirasakan, haus
yang mengeringkan tenggorakan, dan mungkin juga kepenatan lebih yang dialami
setiap muslim yang berpuasa menuntut mereka untuk menajamkan nurani dan
memberikan ruang besar pada diri mereka untuk mengembangkan kepekaan sosial,
tanggung jawab, dan mengedepankan kepentingan orang lain dan masyarakat
daripada kepentingan diri sendiri dan sempit. Mereka, misalnya, masing-masing
niscaya menyadari masih banyak di sekitar mereka dan tidak sedikit dari
penduduk dunia yang kehidupannya dari hari ke hari hingga bulan ke bulan
selalu didera kelaparan.
Data pada 2015 menunjukkan, masih ada 815 juta
orang yang terancam kelaparan hebat dan 777 juta orang menderita kelangkaan
pangan. Di Indonesia, menurut Kompas, berdasar siaran pers Organisasi Pangan
dan Pertanian Dunia (FAO), masih ada 19,4 juta orang yang menderita kelaparan
setiap hari. Jumlah tersebut adalah sepertiga dari 60 juta orang yang
tercatat masih menderita kelaparan di Asia Tenggara.
Dengan demikian, muslim yang benar-benar niat
dan melaksanakan puasa, ia akan selalu berusaha mengembangkan simpati dan
empati kepada sesama. Ia juga akan selalu menyebarkan kedamaian dan
etika-moral luhur yang lain. Jika ia bukan bagian dari mereka yang kelaparan,
ia akan ikut ambil bagian untuk mencari jalan mengentaskan mereka yang
kelaparan. Namun, jika di antara umat Islam kebetulan bagian dari mereka yang
sedang kekurangan, ia tidak akan pernah berputus asa. Namun, ia selalu yakin,
pertolongan Allah pasti akan datang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar