Kesetaraan dalam Desentralisasi Pendidikan Kita
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA INDONESIA, 29 Juni 2015
KEBIJAKAN wajib belajar 12 tahun yang
dicanangkan pemerintahan Jokowi-JK patut diapresiasi semua pihak. Meskipun
angka partisipasi kasar menunjukkan kemajuan yang berarti serta mendukung
dilakukannya kebijakan wajib belajar 12 tahun, dalam banyak hal, pemerintah
tetap harus dikritisi secara cerdas. Terutama berkaitan dengan aspek
desentralisasi pendidikan kita yang masih amburadul di tingkat lokal dan
pusat. Belum lagi jika kita lihat tidak seimbangnya jumlah lembaga pendidikan
dasar dan menengah serta peran penting sekolah swasta yang selama ini belum
diperhatikan secara baik. Itu pasti akan membawa implikasi yang tidak mudah
bagi kebijakan baru tersebut.
Lima indikator
Péter Radó dalam Governing Decentralized Education Systems: Systemic Change in South
Eastern Europe (2010) setidaknya mengingatkan lima hal yang harus secara
terusmenerus dilakukan pemerintah untuk menjaga sebuah kebijakan pendidikan.
Pertama ialah membenahi aspek manajemen pendidikan terutama yang berkaitan
dengan aspek pembiayaan dan relasi sumber daya pusat dan daerah. Sudah banyak
sekali kajian yang menyebutkan bahwa skema pembiayaan pendidikan melalui
penyaluran dana BOS rentan sekali untuk dimanupulasi karena tidak didukung
kualitas sumber daya pendidikan yang tidak merata, baik di tingkat pusat
maupun daerah.
Kedua ialah masalah kurikulum yang hingga saat
ini belum dimatangkan secara operasional. Ambiguitas para guru, kepala
sekolah, dan pengawas dalam melakukan evaluasi pendidikan jelas menjadi
terganggu karena kebijakan soal kurikulum masih menggantung antara KTSP dan
K-13.Jika terus dibiarkan, situasi itu akan berimplikasi secara serius dalam
proses belajar mengajar di ruang kelas. Padahal, jika kebijakan kurikulum itu
seiring sejalan dengan kebijakan pembiayaan pendidikan, yaitu sekolah
diberikan keleluasaan yang besar dalam mendesain dan mengimplementasikan
kurikulum sebagaimana tertera dalam kebijakan KTSP, setidaknya itu akan
membantu sekolah untuk belajar secara mandiri.
Ketiga, pemerintah harus terus meningkatkan
kualitas evaluasi pendidikan secara mikro dan makro. Evaluasi pendidikan
bukan hanya menyangkut hal teknis tentang bagaimana evaluasi dilakukan
terhadap siswa, seperti ujian nasional, melainkan juga penting untuk membuat
lembaga-lembaga independen yang mampu mengevaluasi kinerja guru, kepala
sekolah, pengawas, dan komite sekolah secara terus-menerus. Sejak lama saya membayangkan
seharusnya lembaga sejenis BNSP bukan hanya ada di tingkat pusat, melainkan
juga ada di tingkat provinsi serta kabupaten/kota. Seluruh perguruan tinggi
negeri juga harus menjadi pioner dalam menyelenggarakan evaluasi pendidikan
secara bermartabat dan bertanggung jawab.
Lembaga-lembaga independen jenis itu merupakan
prasyarat keempat dalam proses desentralisasi pendidikan kita yang tidak
pernah digarap secara serius. Bahkan, pemisahan pendidikan tinggi dan
kementerian akan semakin mengecilkan harapan kita bahwa ada lembaga
profesional dan independen yang akan mengawal proses manajemen kependidikan
di seluruh level dan jenjang pendidikan.
Indikator kelima yang juga penting dalam
menjaga proses desentralisasi pendidikan secara benar ialah kepastian sebuah
kebijakan dijalankan secara benar oleh para pelaku pendidikan di tingkat
lokal. Misalnya, teramat penting bagi pemerintah untuk membuat platform
pendidikan agar da pat dijalankan secara serius selama minimal empat tahun,
sebelum diubah berdasarkan hasil evaluasi dan kajian yang serius, seperti
perubahan kurikulum dari waktu ke waktu.Kita harus belajar dari Finlandia
dalam melakukan hal itu. Mereka mempunyai kesekapatan evaluasi terhadap
kebijakan kurikulum dilakukan setiap empat tahun sekali, dari jenjang
pendidikan dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi.
Tidak adanya kajian yang serius terhadap
kelima indikator desentralisasi pendidikan itulah yang menyebabkan kita
kesulitan menunjukkan bukti kesetaraan dalam pendidikan. Padahal, sejatinya,
kesetaraan dalam pendidikan merupakan fitrah yang secara normatif, bahkan
telah dimuat secara kasatmata dalam UUD 1945. Sesungguhnya kesetaraan bukan
hanya berorientasi kepada akses dan partisipasi semata. Kesetaraan (equality) bukan saja harus dilihat
dari tujuan dan proses pendidikan semata, melainkan juga harus mem
pertimbangkan kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan agama. Hanya
dengan cara pandang seperti itulah kemudian kita dapat merumuskan gagasan
tentang kesetaraan kondisi (equality of
condition) sebagai pendekatan dalam merumuskan kebijakan pendidikan yang
pro pada kebutuhan publik.
Baker (2004) dalam Equality: From Theory to Action memberi banyak inspirasi dalam
menafsirkan makna kesetaraan. Baginya, kesetaraan kondisi (equality of condition) jauh lebih
penting daripada kesetaraan dalam konteks akses dan partisipasi. Dalam
kesetaraan kondisi (equality of
condition), kita berfokus bukan hanya terhadap tujuan dan proses (purposes and process) pendidikan itu
sendiri, melainkan juga berkaitan dengan kesetaraan terhadap sumber daya (equality of resources), kesetaraan
dalam pengakuan dan penghargaan (respect
and recognition), kesetaraan dalam kekuasaan (equality of power), dan kesetaraan dalam kepedulian, solidaritas
serta cinta (love, care and solidarity).
Semua jenis kesetaraan itu jelas membutuhkan kecerdasan birokrasi pendidikan
untuk dapat direalisasikan.
Kesetaraan sumber daya harus dibuktikan dengan
penciptaan sistem pendidikan yang lebih terbuka dan nondiskriminatif,
sedangkan kesetaraan dalam pengakuan dan respek harus diciptakan bukan hanya
dengan membangun budaya sekolah yang menghargai perbedaan, melainkan juga
harus diekspresikan secara tertulis dalam skema pedagogis dan kurikulum yang
memadai.
Sementara itu, kesetaraan kekuasaan harus dilihat
dalam relasi guru dengan
siswa yang semakin peduli dengan proses belajar
mengajar yang demokratis sehingga implikasi dari pandangan itu akan membawa
keterbukaan pandangan untuk saling menghargai posisi dan peran masing-masing.
Demokratisasi dalam dunia pendidikan merupakan ruang segar yang harus
diciptakan sehingga antara siswa dan guru memiliki kebebasan untuk menyatakan
perasaan dan pendapat mereka. Dalam konteks itu, kesetaraan kondisi-kondisi
tersebut penting untuk dilakukan terlebih dahulu oleh penyelenggara
pendidikan kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar