Saemaul Undong, Semua Berawal dari Desa
Martani Huseini ; Guru Besar; Pengajar Mata Kuliah Daya Saing
Daerah/Nasional dan Manajemen Perubahan dan Inovasi Organisasi Pascasarjana
UI
|
KORAN SINDO, 25 Juni 2015
Belakangan ini semangat membangun desa makin
kuat di negeri ini. Bahkan sudah lahir undang-undang khusus yang mengaturnya.
Namun, implementasi Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 akan sia-sia tanpa
disertai ”clear direction” seperti gerakan membangun desa Saemaul Undong pada
era presiden Park Chung-hee di Korsel.
Keputusan politik untuk memilih desa sebagai
basis point dalam menggerakkan dinamika masyarakat merupakan pilihan yang
harus dilaksanakan. Bisa dibayangkan dari sekitar 74.843 desa yang ”menganggap
dirinya siap” mengimplementasikan program tersebut belum dibekali instrumen
implementasi yang memadai.
Baru ada bayangan indahnya menerima hibah
murni dari pemerintah dengan bimbingan konsultan yang ”ahli dan
tersertifikasi” dengan gaji lumayan di bawah koordinasi pemda dan pemerintah
pusat. Para calon konsultan belum membayangkan peliknya mengelola desa adat
yang berjumlah sekitar 24.000 dan sisanya adalah desa administratif.
Keragaman masalah etnis, batas wilayah,
perbedaan tingkat sosial, ekonomi dan budaya (sosekbud) merupakan tantangan
para pengelola program tersebut. Kesiapan mental aparat desa serta instrumen
juklak dan juknis (SOP) dalam proses implementasi perlu dipetakan
kesiapannya. Apalagi dalam proses evaluasi programnya masalah akuntabilitas
dan aspek transparansinya karena belum terlatih akan mengakibatkan cita-cita
Undang-undang desa yang mulia menjadi sirna.
Pengelolaan program di tingkat pemerintah
pusat pun masih gagap. Perebutan kewenangan pengelolaan program ini masih
belum tuntas antara Kementerian Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi
dengan Kementerian Dalam Negeri cq Ditjen Pembangunan Masyarakat Desa (PMD).
Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah roh dan
jiwa program besar ini masih belum nampak jelas antara pilihan democratic driven (pokoknya proses
demokratisasi pembagian kue pembangunan sudah didistribusikan hingga tingkat
desa), atau economic driven
(berorientasi mencari pengungkit pemberdayaan ekonomi yang berasal dari
desa).
Tentunya dana yang akan mulai digulirkan tahap
awal sekitar Rp300 juta sebagai stimulan awal dapat mempunyai impak
sosial-ekonomi, sehingga pada saat mencapai plafon Rp1,4 miliar rupiah per
desa nantinya dalam proses transformasi desa supaya self-help & self reliance seperti di Korsel dapat terwujud.
Relevansi Saemaul
Undong bagi Indonesia
Niat baik untuk membuat transformasi sosial
yang dimulai dari tingkat desa (setara dengan daerah tingkat 3) mirip dengan
gerakan Saemaul Undong (SU) di Korsel. Yang membedakan hanya terletak pada
roh dan kejelasan sasaran ekonomis yang sistematis, taktis dan terlembaga.
Kunci sukses yang lain gerakan masif sejenis
ini di Korsel dipimpin langsung oleh presidennya, sedangkan di Indonesia
hanya dipimpin dua kementrian yang masih ‘bersengketa’. Pemerintah mestinya
ingat kegagalan implementasi UU-22/ 1999 dengan revisinya UU- 32/2004,
UU-23/2014 tentang transformasi sosial yang diletakkan pada daerah tingkat 2
(kabupaten/ kota) dan kini sedang ditarik ke tingkat propinsi.
Gerakan SU ini diprakarsai dan dipimpin
langsung oleh Presiden Park Chung-hee sendiri di tahun 1970-an. Ada 33.267
desa yang dikelola dan telah mencapai sukses besar. Keberhasilan ini
dikarenakan instrumen change management sangat jelas sasarannya. Dalam program
yang sepenting ini pemerintah Korsel memilih menyentuh manusianya terlebih
dahulu dengan menyiapkan 680.000 training
camps.
Materi pembekalannya pun dipilih yang
bernuansa revolusi mental/budaya organisasi. seperti semangat gotong royong,
kerja rajin dan spirit can do/will do
attitude for a better life; my self, my neighbours, my whole village.
Gerakan tersebut disosialisasikan pada tahap awal pemerintah Korsel hanya
memfokuskan pada 16.600 desa percontohan.
Gerakan serupa juga pernah dilakukan oleh
seorang Gubernur wilayah Oita, Jepang, Morihiko Hiramatsu di tahun 1979, dan
diimplementasikan pada awal tahun 1980 dengan nama gerakan One Village One Product (OVOP).
Gerakan ini mewajibkan setiap prefektur (setara dengan kecamatan) harus
membuat satu jenis produk unggulan, seperti menanam jamur shitake, beternak
sapi, berkebun agar bisa menghasilkan buah-buahan dan lain sebagainya.
Pada akhirnya lahirlah 300 jenis komoditas
unggulan yang berhasil tersebar di seantero Jepang. Bahkan ide ini berhasil dipraktekkan
di Thailand, Malaysia dan bahkan di Indonesia di tahun 2000-an. Di Jawa Timur
pernah dipraktekkan oleh Gubernur Basofi Sudirman dan mencatat keberhasilan
sementara di wilayah Sidoarjo dengan produk kerupuknya.
Di tahun 2004 Kementerian Perindustrian hampir
berhasil membuat gerakan sosial sejenis yang dinamai gerakan industrialisasi
model Satu Kabupaten Satu Kompetensi Inti (Saka-Sakti), sesuai dengan
pemaknaan Undang-Undang 22 dan 32/2004. Kini Undang-Undang Desa mulai
diimplementasikan di Indonesia, namun perangkat kelembagaan dan kesungguhan
pelaksanaannya masih diragukan.
”Check-List” Pekerjaan
Rumah
Persiapan transformasi dari sistem
sentralisasi ke desentralisasi membutuhkan direction dan instrumen
kelembagaan dalam change process yang perlu dicek secara menyeluruh. Pertama,
siapa yang akan memimpin gerakan ini? Kesuksesan gerakan ini di Korsel oleh
presiden dan di Thailand gerakan Tombon serupa OVOP dipimpin oleh sang raja
sendiri.
Kedua, penyiapan pusat pelatihan yang tersebar
dan profesional apakah sudah dipersiapkan? Ketiga, apakah calon penyuluh yang
tersertifikasi apakah sudah memadai? Keempat, apakah short term win program di tahap awal ini sudah diprogramkan?
Kelima, apakah uji materi pelatihan sudah dilakukan? Keenam, bagaimana sistem
evaluasi keberhasilannya? Ketujuh, apakah opsi exit/reentry kegagalan sudah dipikirkan? Semoga pelajaran penting
dari Saemaul Undong yang terkenal sukses tersebut bisa dijadikan acuan kita
bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar