Padepokan Listrik untuk Anak Muda Spartan
Dahlan Iskan ; Mantan CEO Jawa Pos
|
JAWA POS, 29 Juni 2015
AKHIRNYA saya temukan
”tempat persembunyian” Ricky Elson di pantai Samudra Hindia di Tasikmalaya
paling selatan. Hari sudah senja, Kamis lalu. Sekitar 15 mahasiswa lagi duduk
lesehan di atas tikar: berbuka puasa.
Senja itu langit
sangat cerah. Setelah meneguk air dan minum obat, saya menuju pantai yang
ombaknya berdebur. Mumpung belum gelap. Dan lagi saya memang baru boleh makan
satu jam setelah minum obat.
Inilah lokasi riset
dan pendidikan yang dipimpin Ricky Elson. Dia mengajarkan kepada anak muda
tentang motor listrik untuk mobil listrik dan tentang pembangkit listrik
tenaga angin. Nama desanya: Ciheras. Untuk ke sana harus naik mobil dulu ke
Tasikmalaya, lalu tiga jam lagi ke Ciheras.
Melihat lokasi ini,
saya lebih menyebutnya pondok. Atau lokasi kamping. Tanahnya dibiarkan
natural tanpa polesan apa pun. Lokasi sekitarnya berupa galian bekas tambang
pasir besi yang sudah habis dikuras dua tahun lalu. Ada beberapa bangunan di
”perkampingan” ini. Semuanya berukuran kecil. Terbuat dari kayu. Atau
tripleks. Lantainya semen. Tidak ada meja kursi. Semua bangunan itu seperti
amat darurat. Semua RSS.
Tempat lesehan untuk
berbuka puasa itu misalnya, kalau siang dipakai praktik pengajaran. Bangunan
sebelahnya adalah petak-petak untuk tidur mahasiswa. Sebelahnya lagi bangunan
untuk buku-buku listrik, separo dari buku itu berbahasa Jepang. Ricky memang
sekolah dan bekerja di Jepang selama 14 tahun. Di Negeri Sakura itulah dia
melahirkan 12 penemuan bidang motor listrik dan mematenkannya.
Bangunan di sebelahnya
lagi berupa gubuk-gubuk gazebo kayu. Untuk diskusi. Lalu ada bangunan untuk
kontrol sistem. Di tengah-tengahnya ada bangunan musala. Ricky sendiri, yang
rambut ikalnya dibiarkan panjang dan celananya selalu berkantong-kantong
besar, yang jadi imam. Bacaan salatnya lirih, merdu, dan sangat fasih.
”Cita-cita saya
mendidik 3.000 anak muda yang mampu mendukung pengembangan mobil listrik di
Indonesia,” ujarnya. ”Sekaligus mampu mengembangkan listrik tenaga angin,”
tambahnya.
Ricky yang tiga tahun
lalu saya minta pulang untuk mengembangkan mobil listrik nasional bertekad
menyiapkan fondasi yang kuat: aspek manusianya. Mobil listrik yang dia ciptakan
selama ini (bersama Kupu-Kupu Malam Jogja) adalah prototipe untuk gebrakan
awal. Bahwa kita bisa. Setelah itu harus ditata manusianya. Untuk bisa
berproduksi secara masal.
Mahasiswa dan anak
muda yang mondok di tempat Ricky ini umumnya khas: mereka yang minat risetnya
tinggi, egaliter, dan jiwanya menyala-nyala. Gadis yang duduk lesehan di
sebelah saya ini misalnya, lulusan S-1 dan S-2 ITB. Bapaknya dosen. Ibunya
dokter di Bandung. Para pemudi itulah, bersama istri Ricky yang cantik itu,
yang menyiapkan makanan untuk berbuka dan sahur.
Yang lebih banyak
adalah mahasiswa kuliah praktik. Dari berbagai universitas. Ricky sendiri
sudah berkunjung atau memberi kuliah di 150 universitas selama tiga tahun
terakhir. Untuk menumbuhkan minat anak muda di dunia baru ini.
Malam itu Ricky juga
yang menjadi imam salat Tarawih. Sekaligus mengisi ceramah agama. Temanya
tentang perbedaan ilmu fikih dan ilmu cara mendekatkan diri kepada Tuhan.
Teori dari filsuf agung Imam Al Ghazali. Malam itu saya ikut tidur di pondok itu.
Sejak kegiatan mobil
listrik terhenti, Ricky mengistirahatkan 150 anak muda yang terlibat langsung
dalam praktik membuat mobil listrik. Pulang ke daerah masing-masing dulu. Dia
juga menghindari permintaan untuk membuat listrik tenaga angin bagi NTT. Ini
karena anggarannya dari pemerintah. Hari itu mestinya Ricky menandatangani
kontrak, tapi dia membatalkan. Dia bertekad konsentrasi membina pondoknya
itu. ”Sudah telanjur meninggalkan Jepang,” ujarnya.
Di pondok itu dia
dirikan kincir-kincir tenaga angin. Berbagai jenis. Ada yang buatan negara
Barat, ada juga buatannya sendiri. Tipenya pun bermacam-macam. Model ekornya
juga tidak sama. ”Agar mahasiswa bisa membanding-bandingkan teknologinya,”
kata dia. ”Lalu kita diskusikan,” tambahnya.
Ada yang kincirnya
berputar kencang. Ada yang pelan. Ada juga yang sudah lama berhenti. ”Yang
berputar pelan itu karena desain ekornya tidak cocok. Tidak bisa cari arah
angin,” jelasnya.
”Kalau yang berhenti
itu?” tanya saya. ”Itu buatan ... yang banyak dibeli untuk dijadikan bahan
pembelajaran di berbagai universitas kita,” jawabnya. Dia lantas menyebutkan
nama negara Barat itu.
Dengan ciptaannya itu
Ricky sudah melistriki beberapa desa terpencil di Sumba. Sudah seratus kincir
dia dirikan di Sumba. Bisa saja suatu saat nanti dia akan disalahkan.
Sebagian dari dana itu berupa CSR Pertamina.
Para ”penari langit”
itu bisa saja dianggap fiktif. Dasarnya adalah pemberitaan TV. Menurut
pemberitaan TV, proyek itu diambil dari bantuan luar negeri.
Ditonjol-tonjolkanlah betapa pendonor asing begitu berjasa pada Sumba. Tidak
disebutkan kincir itu buatan anak bangsa. ”Waktu kru tv mengambil gambar
proyek ini, ada yang minta stiker Pertamina di proyek ini dicopot dulu,” ujar
Ricky. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar