Menjawab Kekhawatiran Dana Desa
Sofyan Sjaf ; Dosen Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB; Sekretaris
PSP3 IPB
|
KOMPAS, 25 Juni 2015
Sebulan terakhir ini,
saya memperoleh kesempatan melakukan riset di beberapa desa. Melakukan dialog seputar desa dengan
berbagai orang yang memiliki latar belakang profesi (seperti birokrat,
akademisi, aparat desa, LSM, petani, peternak, dan nelayan) menjadi target
utama.
Atas dialog tersebut,
dana desa menjadi isu utama dibandingkan dengan isu-isu lain tentang desa.
Ragam pertanyaan pun mengemuka, seperti bisakah aparat desa
mempertanggungjawabkan secara baik penggunaan dana desa? Lalu, bagaimana
mekanisme pencairan dan penggunaan dana desa saat ini? Apakah ada implikasi
manakala dana desa tidak diperuntukkan sebagaimana diharapkan warga? Mampukah
dana desa menjawab kebutuhan riil yang dirasakan desa saat ini?
Di satu sisi
pertanyaan-pertanyaan tersebut membuat saya senang karena para pemerhati desa
secara kritis mengikuti perkembangan desa.
Namun, di sisi lain, saya ragu apakah dana desa mampu mempraksiskan
filosofinya untuk meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan
desa. Di sinilah kadang muncul
kekhawatiran, mampukah dana desa menurunkan angka ketimpangan (indeks gini)
desa yang sudah menyentuh poin 0,7 (sangat timpang)?
Paradoks dana desa
Sejak UU No 6/2014
tentang Desa diberlakukan, banyak pihak memiliki pandangan yang berbeda
tentang dana desa meski PP No 60/2015 sudah dengan gamblang menjelaskan hal
ini. Saya melihat ada dua pandangan besar yang mencuat. Pertama, mereka yang
berpandangan bahwa dana desa bersumber APBN belum tepat diberikan kepada desa
saat in. Kedua, yang berpandangan bahwa aparat desa akan mampu mengelola dana
desa yang diberikan pemerintah kepada desa.
Munculnya dua
pandangan dominan tersebut sangat wajar karena peraturan perundangan yang
mengatur dana desa berdampak terhadap "wajah dana desa" yang
paradoks. Ada tiga paradoks dana desa. Pertama, pemberian dana desa
menciptakan birokratisasi ketimbang pemberdayaan desa. Mandatoris dana desa yang tertuang dalam UU
No 6/2014, PP No 6/2015, dan beberapa Peraturan Menteri Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Permendesa)-seperti Permendesa No 4/2015
tentang Pendirian, Pengurusan, Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik
Desa- dipandang sebagai bentuk biroktisasi baru.
Sebutlah seperti dasar
alokasi dana desa, prosedur dan mekanisme dana desa, prioritas penggunaan
dana desa, serta pendirian BUMDes di setiap desa yang menjadi arahan
Kemendes. Akan tetapi, makna
pemberdayaan desa, di mana dana desa untuk memperkuat pengetahuan aparat dan
warga desa dalam pengambilan keputusan penggunaan dana desa, menghadirkan
kesadaran penggunaan dana desa sesuai kebutuhan dan kondisi yang dihadapi
desa serta perencanaan dan monitoring-evaluasi partisipatif penggunaan dana
desa jauh dari yang diharapkan.
Paradoks kedua adalah
dana desa mampu meretas kesenjangan struktural, tetapi menghadirkan
kesenjangan antarpulau. Kebijakan afirmatif pemerintah terhadap desa dengan
memberikan dana desa dari 2,6 persen menjadi 10 persen dari alokasi APBN
merupakan langkah afirmatif dan terobosan baru yang harus didukung.
Setidaknya masalah
kesenjangan struktural antara negara dengan desa perlahan teratasi. Namun,
implementasi distribusi dana desa yang hanya mempertimbangkan indikator
jumlah desa telah menyulut kesenjangan baru, yakni kesenjangan antarpulau.
Dari data yang kami
olah, dana desa Rp 20,766 triliun yang akan didistribusikan tahun ini, 61,49
persen berada di Pulau Jawa dan Sumatera.
Sisanya, di Pulau Kalimantan (8,73 persen), Sulawesi (11,44 persen),
Bali dan Nusa Tenggara (6,26 persen), serta Maluku dan Papua (12,08 persen). Artinya, indikator luas wilayah, penduduk
miskin, dan tingkat kesulitan akses tak dijadikan indikator perhitungan dalam
pendistribusian dana desa.
Ketiga, paradoks bahwa
dana desa yang mensyaratkan adanya RPJM Desa dan RKP Desa tidak sesuai antara
harapan dan kenyataan. Kesan
ketergesa-gesaan dalam mempersiapkan berkas administrasi untuk penyaluran
dana desa menyebabkan RPJM Desa dan RKP Desa disusun tidak sesuai harapan.
Atas nama penyerapan dana desa, RPJM Desa, dan RKP Desa tidak lagi disusun secara
partisipatif yang melibatkan warga desa, melainkan top down (bahkan
menggunakan konsultan). Keinginan
untuk transparansi jauh dari harapan. Sebaliknya, RPJM Desa dan RKP Desa
hanya diketahui oleh segelintir orang desa. Alhasil, akuntabilitas diragukan
dan korupsi dana desa adalah keniscayaan.
Menjawab kekhawatiran
Ketiga paradoks dana
desa di atas tak akan terjadi apabila sejak jauh hari kementerian yang
mengurus desa (termasuk dana desa) memahami kondisi empirik yang terjadi saat
ini. Kondisi empirik desa yang saya
maksud adalah: (1) penyusunan RPJM Desa dan RKP Desa tak sesuai konteks ruang
desa. Kondisi ini disebabkan desa tidak memiliki peta visual dan tematik yang
menggambarkan isi "rumah" desa; (2) dominannya batas-batas desa
saat ini yang masih imajiner (tidak berdasarkan/disertai koordinat batas).
Padahal, batas desa sangat menentukan kewenangan desa dalam penyelenggaraan
dan penataan desa. Alhasil, konflik vertikal maupun horizontal tidak jarang
kita saksikan di desa; dan (3) lemahnya instrumen yang tersedia bagi
perangkat desa untuk mendeteksi daya dukung desa melakukan perencanaan dan
pengawasan pembangunan desa.
Atas kondisi tersebut,
tampaknya desa membutuhkan kesadaran ruang (spasial) dalam pembangunan desa.
Dokumen penting pembangunan desa (RPJM Desa dan RKP Desa) sudah saatnya
berbasis keruangan. Untuk itu, agenda mendesak implementasi dana desa
seyogianya dimulai dari pembangunan desa berbasis keruangan, yaitu
pembangunan yang direncanakan-dilaksanakan-dimonitor dengan pendekatan potensi
wilayah desa secara partisipatif dengan membagi fungsi ruang desa ke dalam
fungsi lindung (konservasi) dan budi daya (ekonomi dan sosial).
Persoalan sulitnya
desa mengakses informasi berbasis keruangan, minimnya pengetahuan aparat desa
tentang pembangunan berbasis keruangan, minimnya metode pembaruan data desa,
dan lemahnya perencanaan desa berbasis keruangan dapat diatasi dengan
menggunakan instrumen drone desa. Drone desa berfungsi menyediakan informasi
(data citra) pembangunan desa berbasis keruangan dalam bentuk pemetaan
partisipatif (batas desa, land use, potensi desa, dan konflik batas desa)
serta perencanaan partisipatif (penataan ruang desa, RPJM, dan RKP Desa).
Dalam konteks UU No
6/2014, drone desa untuk pembangunan desa berbasis keruangan memiliki
relevansi untuk menjawab masalah-masalah desa yang bersifat strategis. Hasil riset yang kami lakukan di beberapa
desa memberikan informasi bahwa penggunaan drone desa untuk penyediaan
informasi spasial sangat efektif dan akurat membantu desa dalam penataan desa
(batas desa berbasis visualisasi dan titik koordinat), perencanaan desa
secara partisipatif, mengetahui potensi investasi dan ekonomi desa, kejadian
luar biasa yang dialami desa (sedimentasi, kerusakan mangrove, dll), serta
sebaran dan besar aset desa.
Tentunya, keseluruhan
informasi tersebut diorientasikan untuk mendukung penyusunan RPJM Desa dan
RKP Desa yang partisipatif, transparansi, serta akuntabel.
Akhirnya, perdebatan
akan berakhir dan kekhawatiran terhadap penggunaan dana desa akan sirna
apabila desa membangun menentukan jalan pembangunan desa berbasis keruangan.
Artinya, perlahan dan pasti keadilan ruang untuk desa akan terwujud untuk
kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar