Jumat, 26 Juni 2015

Islam Indonesia

Islam Indonesia

  Gregorius Afioma,  ;   Penulis
KORAN TEMPO, 23 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Menjelang Ramadan, ucapan "Islam Indonesia, bukan Islam di Indonesia" dari Jokowi pada 14 Juni lalu, serta ajakan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin melalui akun Twitter-nya pada 5 Juni 2015 agar warteg tetap dibuka selama bulan puasa demi toleransi terhadap kalangan non-muslim, tidak serta-merta mendapat dukungan publik secara luas.

Reaksi yang demikian sangatlah ironis di tengah tendensi kekerasan atas nama agama yang terjadi selama bulan puasa. Razia yang dilakukan oleh kelompok radikal, seperti Front Pembela Islam (FPI), misalnya, selalu berujung tindak kekerasan dan perusakan.

Lantas, apakah yang disampaikan Presiden Jokowi dan Menteri Saifuddin itu berlebihan?

Memang pernyataan Jokowi bisa dianggap berlebihan di saat krisis identitas keislaman masih menggerogoti kaum muslim. Masih banyak kalangan muslim yang tidak melihat sebutan Islam Nusantara sebagai hal yang membanggakan.

Pasalnya, otentisitas Islam selalu diukur dengan episentrum kelahiran Islam di Jazirah Arab. Relasi antara Islam di Arab dan di Indonesia ibarat pola relasi pusat dan pinggiran. Pusat dianggap lebih otentik, sedangkan pinggiran sebagai yang tergradasi. Karena itu, desakan pemurnian Islam di Indonesia semakin kuat agar tidak menjadi Islam kelas dua.

Tentu saja anggapan demikian sangat berbahaya. Umat Islam bisa mengabaikan modalitas keberagamaan yang ada selama ini. Benih-benih Islam yang sudah hadir sejak abad ke-7 justru berkembang pesat di Indonesia karena melewati proses persenyawaan yang sangat baik dengan budaya-budaya pra-Islam. Semua itu tidak lepas dari usaha para Wali Sanga dan para pemikir Islam kontemporer, seperti Gus Dur atau Cak Nur.

Hasilnya, karateristik Islam Indonesia terlihat lebih damai, moderat, toleran, dan terbuka. Konflik yang terjadi, meski masih ada, tidak seintensif di Timur Tengah.  Wajah Islam yang demikian tidak lepas dari unsur-unsur pra-Islam yang menjadi tempat persemaian bagi benih-benih keislaman. Budaya dan agama, yang semula memang hanyalah dua entitas berbeda, kini tumbuh saling mengkonstitusikan satu sama lain.

Berkat wajah Islam yang demikian, penerimaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar negara menjadi mudah. Asas kesetaraan sebagai warga negara dijunjung tinggi di atas segalanya. Hak-hak sebagai warga negara dikedepankan ketimbang kepentingan-kepentingan primordial, seperti agama, budaya, suku, dan etnis.

Namun, jika tidak melihat fakta keberagamaan itu sebagai kekuatan, bukan hanya umat Islam yang berkonflik, tapi nilai keindonesiaan juga bisa terganggu. Sebab, hanya Islam Indonesia yang dikenal toleran, moderat, dan terbuka, yang sangat kokoh menyanggah keindonesiaan selama ini.

Bertolak dari kenyataan itu, Jokowi berupaya menyadarkan kaum muslim bahwa Islam Indonesia bukanlah Islam kelas dua. Islam Indonesia tidak kalah otentik dari Islam Timur Tengah. Mengingat jumlah penganut Islam di Indonesia yang mencapai 12, 5 persen dari total 1,6 miliar pemeluk Islam di dunia, karateristik Islam Nusantara justru bisa menjadi referensi bagi peradaban Islam di dunia.

Searah dengan pemikiran tersebut, pernyatan Saifuddin sangatlah wajar. Diperbolehkannya warteg dibuka demi menghormati hak-hak umat non-muslim sangat bernada toleran dan sesuai dengan karateristik Islam Indonesia itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar