Menangkap Pesan dari Tragedi Angeline
Herie Purwanto ; Kandidat Doktor Ilmu Hukum Unissula;
Kasat
Reskrim Polres Magelang Kota
|
SUARA MERDEKA, 16 Juni 2015
SEJUMLAH elemen
masyarakat menggelar aksi dengan menyalakan 1.000 lilin di Bundaran Hotel
Indonesia, Jakarta, pada Kamis (11/6) malam, sebagai tanda simpati kepada
Angeline yang dibunuh secara keji di Denpasar. Mereka juga menggelar doa
bersama, berorasi dan menabur bunga (SM,12/6/15).
Anggeline, bocah
cantik berumur 8 tahun itu menjadi korban pembunuhan dan pemerkosaan.
Menkumham Yasonna H Laoly mengecam tragedi itu dan meminta hakim memidana
seberat-beratnya pelaku. Bocah itu 16 Mei 2015 dilaporkan hilang oleh ibu
angkatnya, Margriet Christina Megawe dan baru pada 10 Juni 2015 polisi
menemukannya tewas terkubur di dekat kandang ayam.
Kekerasan terhadap
anak, baik secara seksual maupun fisik hingga menyebabkan kematian menjadi
permasalahan serius. Sebagaimana disebutkan oleh Komisi Perlindungan Anak
Indonesia, untuk tahun 2013 dan 2014 kasus tersebut sudah menelan 3.000
korban. Bahkan perkara menyangkut kekerasan anak hingga detik ini sudah
menyentuh angka korban jutaan anak.
Tragedi yang menimpa
Angeline seharusnya kian membuka lebar mata hati kita. Boleh jadi, kasus
serupa sebenarnya ada di sekitar kita. Tanda-tanda nasib tragis Angeline,
menurut keterangan dari berbagai sumber sebenarnya sudah terbaca dalam
setahun terakhir. Di sekolah, ia murung dan selalu berpakaian lusuh serta
berbau pakan ayam karena memang ia dibebani pekerjaan memberi pakan ayam di
rumahnya.
Bekas-bekas luka lebam
atau bekas penganiayaan juga tampak di sekujur tubuhnya. Bahkan konon
beberapa tetangga sering mendengar makian terhadap Angeline. Namun para
tetangga tak berbuat banyak mengingat ada rasa ewuh pekewuh. Dalam konteks
psikologi sosial, hal ini menjadi permasalahan serius. Ketidakprdulian sosial
telah membuka peluang penganiayaan hingga nasib bocah itu berakhir tragis.
Bagaimana ke depan agar hal ini tidak terus berulang?
Bagaimana pula peran
negara dalam memberikan jaminan bagi tumbuh kembang anak sebagai pemegang
estafet kelangsungan bangsa dan negara? Serta bagaimana masyarakat ikut
berperan serta mengeliminasi perilaku kekerasan terhadap anak? Tiga jawaban
atas pertanyaan ini setidak-tidaknya menjadi residu yang bisa menjadi pesan
atas tragedi itu.
Pertama; dalam kajian
sosiologis, setelah terbongkar kasus pelecehan seksual di Jakarta
International School (JIS), terkuak pula bahwa pelaku adalah pedofil, dan
sebelumnya juga menjadi korban. Ia kemudian tumbuh menjadi predator. Sebuah
survei menyebutkan bahwa pelaku kejahatan terhadap anak, sejatinya pernah
menjadi korban sewaktu ia berusia anak-anak.
Kepedulian Masyarakat
Dengan bahasa lain,
bisa dikatakan ada kausalitas kejahatan terhadap anak, bagian dari produk
masyarakat itu sendiri. Makin besar jumlah anak sebagai korban, cenderung
makin meningkat pula pelaku kejahatan pada anak. Mata rantai siklus inilah
yang harus diputus.
Kedua; masyarakat
harus lebih peduli (care) terhadap anak-anak di lingkungannya. Dalam kasus
Angeline, tanda-tanda ia menjadi korban kekerasan sudah muncul. Karena itu,
bila mendapati anak-anak dengan tanda-tanda jadi korban kekerasan, masyarakat
harus berani bertindak. Minimal melaporkan kepada pekerja sosial anak ataupun
langsung ke polisi. Kepedulian ini terbukti efektif dengan terbongkarnya
kasus lima anak yang terlantar di Cibubur Bekasi pada Mei lalu. Kedua orang
tuanya menelantarkan mereka akibat pengaruh narkotika. Masyarakat sekitar
melapor ke polisi yang segera mengerebek hingga selamatlah tiga anak malang
tersebut.
Ketiga; perlu tindakan
tegas terhadap pelaku kekekerasan terhadap anak. Penegak hukum idealnya
berada dalam perspektif hukum progresif. Satjipto Rahardjo dalam makalah
berjudul ‘’Indonesia Inginkan Penegakan Hukum Progresif’’ (15 Juli 2002)
mengatakan bahwa penegakan hukum progresif merupakan pekerjaan dengan banyak
dimensi. Salah satunya berpijak pada kepentingan dan kebutuhan bangsa untuk
lebih diperhatikan, ketimbang sekadar bermain-main dengan pasal, doktrin, dan
prosedur.
Artinya, supaya bisa
memberi efek jera, penegak hukum harus berani out of the box atau keluar dari
kotak normatif yang membelenggu jalan untuk penjatuhan hukuman maksimal.
Tragedi Angeline menyiratkan keinginan perlunya hukuman mati terhadap pelaku,
sebagaimana juga disuarakan oleh Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan. Terhadap
sinyal seperti ini, penegak hukumlah yang bisa segera menindaklanjuti
mengingat hukum positif negeri ini belum menghapus pidana mati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar