Kegalauan Reshuffle Kabinet
Suyatno ; Dosen FISIP Universitas Terbuka
|
MEDIA INDONESIA, 26 Juni 2015
KINERJA pemerintah dan sejumlah menterinya
dalam beberapa waktu terakhir mendapat sorotan. Sinyalemen perombakan
Kabinet Kerja pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam enam bulan pertama
timbul dan tenggelam. Perombakan atau reshuffle kabinet dinilai menjadi
kegalauan dalam perdebatan guna memperbaiki kinerja pemerintah.
Sejumlah fenomena menyebabkan isu perombakan
kabinet itu mengemuka. Hasil survei Poltracking beberapa waktu lalu
menunjukkan sebanyak 36% responden menyatakan setuju apabila perombakan
kabinet tersebut dilakukan. Sebanyak 5,8% responden lain menyatakan sangat
setuju. Hanya 24,1% responden yang kurang setuju dan 3,9% sangat tidak
setuju. Sisanya, sebanyak 30,2% responden mengaku tidak tahu atau tidak
menjawab.
Dari hasil survei tersebut, 66% responden
paling tidak puas dengan kinerja pemerintah di bidang ekonomi. Demikian juga
sebanyak 55% publik juga tidak puas dengan kinerja di bidang hukum dan
pemberantasan korupsi. Selain mempertimbangkan aspirasi publik dari hasil
survei, mekanisme untuk menilai kinerja menteri-menteri Presiden Jokowi
diharapkan mampu memotret dan menjadi dasar perbaikan kinerja kabinet. Selain
itu, pertimbangan secara politik tak bisa dihindarkan oleh Presiden. Pasalnya,
pemilihan menteri juga dilakukan berdasarkan usulan partai pendukung.
Memang Presiden Joko Widodo pada pertengahan
bulan ini melakukan evaluasi kinerja enam bulanan terhadap para menteri
Kabinet Kerja. Para menteri diminta menyampaikan laporan realisasi program
mulai November 2014 sampai April 2015. Jokowi mengakui ada menteri yang masih
memiliki kinerja buruk.
Pengakuan Jokowi itu ditafsirkan publik bahwa
perombakan kabinet tinggal menunggu waktu. Namun, Jokowi buru-buru
mengingatkan semua pihak agar tidak mengganggu kinerja kabinet dengan
melemparkan isu perombakan (Media Indonesia, 25/06/15). Pasalnya, merombak
atau mempertahankan susunan kabinet memang menjadi hak prerogatif Presiden.
Makna evaluasi
Kita dapat menarik sejumlah makna rencana
evaluasi presiden terhadap para menterinya. Makna itu bisa berlaku satu, dua,
atau seluruhnya. Evaluasi mungkin saja dilakukan karena memang ada kinerja
menteri yang belum sesuai dengan keinginan presiden selaku kepala eksekutif.
Visi, misi, dan program dari sejumlah menteri kurang terdengar dan dirasakan
oleh masyarakat dalam mewujudkan Nawa Cita Presiden Jokowi.
Bisa juga evaluasi muncul akibat tuntutan
masyarakat, elite politik, dan publik agar ada peningkatan kerja kabinet yang
sampai saat ini dinilai masih belum terasa. Oleh karena itu, muncul wacana
pergantian sejumlah menteri yang dinilai tidak memiliki kinerja yang baik. Selain
itu, perombakan kabinet berguna untuk lebih memantapkan dukungan politik dari
pengusung dan pendukungnya.
Pertimbangan perubahan susunan kabinet lebih
condong pada mengingatkan teman koalisi tentang dukungan para kader yang
duduk sebagai menteri agar menopang performa pemerintah.
Itu semua tentu menunjukkan kehati-hatian
presiden. Presiden tidak ingin gegabah dalam mengevaluasi para menterinya.
Presiden sedang mengumpulkan bahan untuk mengevaluasi kinerja menterinya.
Berikutnya, presiden akan memberikan kejelasan apakah menteri tersebut layak
dievaluasi atau bahkan lantas diganti.
Potensi reshuffle
Dalam sistem presidensial, presiden sebagai
kepala eksekutif memang sangat berhak untuk mengevaluasi atau mengganti para
menterinya. Reshuffle kabinet, kendati hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan
dan hak prerogatif presiden, merupakan langkah untuk mengevaluasi kinerja
kabinet. Presiden juga harus mempertimbangkan hak prerogatifnya dalam memilih
menteri yang di-reshuffle. Kalau memang merasa tidak puas dengan kinerja
menteri, itu hak prerogatif presiden.
Bila reshuffle harus terjadi, presiden tidak
boleh meninggalkan sejumlah perhitungan tentang dampak yang dapat
ditimbulkan. Ada tiga elemen yang bermain dalam reshuffle, yaitu politisi,
publik, dan pasar (Piliang: 2005). Presiden Jokowi dihadapkan pada tiga pilihan,
yaitu apakah akan mendahulukan satu elemen, dua elemen, atau ketiganya
sekaligus.
Jika Presiden Jokowi mendahulukan kepentingan
politisi, berarti masalah reshuffle lebih disebabkan pertimbangan politik.
Secara implisit, Presiden Jokowi mengakui betapa lemahnya sistem kabinet
presidensial dan rentannya proses pemilihan langsung sebagai ukuran tertinggi
dalam demokrasi. Legitimasi yang diperoleh dalam pemilu tidak menjadi faktor
determinan yang menentukan karena masih menghadapi kurungan politik parpol.
Sementara itu, jika Presiden mengikuti
kehendak pasar, evaluasi dan penyusunan kabinet lebih tampak sebagai upaya
memadamkan kebakaran ketimbang memperbaiki keadaan. Padahal, pasar tidak
bebas nilai. Pelaku pasar di Indonesia masih terlihat amat pragmatis dan
oportunis. Dari segi politik, pasar di Indonesia juga berarti makhluk politik
dan bukan manusia-manusia yang berumah di atas angin.
Karena itu, pilihan terakhir reshuffle kabinet patut ditolehkan
kepada publik. Pertanyaannya, publik yang mana? Jawabannya ialah publik yang
benar-benar menderita. Publik yang betul-betul merindukan harapan masa kini
dan masa depan karena tidak punya uang untuk makan, menyekolahkan anak, tidak
memiliki kesempatan, dan fasilitas untuk bekerja.
Pilihan
Sistem yang dibangun saat ini sebenarnya
presidensial yang sudah kuat. Legitimasi presiden sebagai hasil pemilu
langsung sangat kuat. Pertanggungjawabannya ialah kepada rakyat. Pemberi
suara itulah yang harusnya disuguhi hasil kinerja. Pasalnya, merekalah yang
memberi mandat dan menilai. Karena itu, presiden harus membuat tim solid
untuk bisa bekerja bagi mereka.
Dengan logika seperti itu, pertimbangan utama
presiden dalam menunjuk menterimenterinya ialah timnya harus bekerja untuk
rakyat. Persoalan yang dihadapi masyarakat saat ini harus dapat diatasi
menjadi dan menjadi target utama. Eksekutif ialah pelaksana undang-undang
yang dibuat rakyat melalui para wakilnya. Kewenangan dan tanggung jawab itu
melekat pada presiden dan para pembantunya.
Pertaruhan presiden dalam membentuk kabinet
ialah kredibilitasnya di mata rakyat. Itu bisa tergadaikan jika kinerja
menteri tidak optimal. Lantas, apakah ada jaminan bahwa seluruh kekuatan
politik yang dilibatkan akan senantiasa berada di belakangnya?
Menentukan pilihan mungkin memang sulit bagi
presiden. Mengabaikan kekuatan politik yang ada untuk mempertahankan kabinet
bisa merecoki kinerja kabinet. Namun, yang paling tidak mungkin ialah
mengabaikan kepentingan dan persoalan yang dihadapi rakyat. Karena itu, jalan
tengah bisa menjadi pilihan.
Akomodasi bagi ide evaluasi ataupun reshuffle harus diikuti dengan syarat
ada jaminan peningkatan kompetensi dan kinerja di bidang kementerian yang
akan ditangani. Meski evaluasi atau perombakan kabinet berada penuh di tangan
presiden, kesadaran sejumlah elite parpol dan publik sangat penting. Mereka
pemegang amanah dari rakyat untuk menempatkan kepentingan rakyat di tempat
yang tertinggi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar