Jumat, 26 Juni 2015

KPK dan Penyadapan

KPK dan Penyadapan

  Joko Riyanto,  ;   Alumnus Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
KORAN TEMPO, 24 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Suap lagi, tertangkap lagi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam operasi tangkap tangan berhasil menangkap dua anggota DPRD dan dua kepala dinas Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Dalam operasi tangkap tangan tersebut, KPK menyita tas berwarna merah marun yang berisi uang Rp 2,56 miliar dalam pecahan Rp 50 ribu dan Rp 100 ribu. Menurut pelaksana tugas (Plt) Wakil Ketua KPK, Johan Budi, uang itu diduga diberikan kedua kepala dinas kepada dua anggota DPRD tersebut, yang berkaitan dengan pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) 2015 Kabupaten Musi Banyuasin (Koran Tempo, 21/6/2015).

Operasi tangkap tangan di Musi Banyuasin merupakan operasi kedua yang dilakukan KPK sejak sejumlah pemimpin KPK dijabat plt pada Februari lalu. Operasi tangkap tangan pertama dilakukan terhadap Andriansyah, anggota DPR dari PDIP, di sela-sela kongres partai itu di Bali, April 2015. Kita apresiasi kinerja KPK di tengah masalah hukum pimpinannya serta upaya memperlemah KPK dengan revisi UU Nomor 30/2002 tentang KPK yang ingin menghapus kewenangan penyadapan serta penuntutan. Keberhasilan operasi tangkap tangan tersebut membuktikan masih ampuhnya kewenangan penyadapan (Pasal 12A UU KPK) dalam menangkap mereka yang sedang memberi dan menerima dana suap.

Kekuasaan besar yang dimiliki anggota DPRD serta birokrat daerah (pejabat pemerintah daerah) ternyata dapat disalahgunakan untuk suap pembahasan APBD. Suap-menyuap itu berkaitan dengan kebijakan resmi yang dibuat oleh komisi-komisi di DPRD. Artinya, jika ada, pengaruh uang dalam setiap kebijakan itu bukan tindakan perorangan atau oknum, melainkan produk kolektif. Tentu saja, seperti dalam teori hubungan korupsi dan demokrasi, pengaruh korupsi akan memusatkan perhatian pada politikus yang paling murah dibeli (Rose-Ackerman, 2000).

Hadi Supeno (2009) dalam bukunya, Korupsi di Daerah, mengatakan koruptor mempunyai tiga motif kala merampok uang negara. Pertama, korupsi yang sifatnya penyelewengan dan merugikan keuangan negara. Kedua, korupsi karena kesalahan administrasi sehingga tidak merugikan negara. Ketiga, korupsi yang dilatari kebutuhan akibat penghasilan yang tidak mencukupi.

Tapi suap juga dilakukan untuk motif politik demi mengembalikan modal politik dan mempertahankan kekuasaan. Adapun modus korupsi di daerah mayoritas berupa penyimpangan APBD. Korupsi sistematis ini merugikan ekonomi, politik, sosial, dan meremehkan hukum pemerintahan, karena kekuasaan berada di tangan orang yang tidak tepat.

Karakter suap ini sekaligus memperlihatkan bahwa pembagian kekuasaan di era otonomi hanya difokuskan pada pembagian kekuasaan dan sumber daya, tapi tidak diimbangi dengan akuntabilitas serta kurang memperhatikan suprastruktur dan infrastruktur yang dapat mengawasi pelaksanaan pemerintahan. Implementasi otonomi daerah tidak diikuti kesiapan perangkat hukum dan mentalitas pejabat yang menjadi pelakunya.

Kasus suap di Musi Banyuasin harus diusut tuntas. Dalam logika praktek suap, tidak mungkin ada aliran uang suap tanpa ada janji-janji dari penerima suap untuk mengakomodasi kepentingan si penyuap. Dan kasus suap bisa dibongkar dan ditangkap tangan jika ada kewenangan penyadapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar