KPK dan Penyadapan
Joko Riyanto, ; Alumnus Fakultas Hukum
Universitas
Sebelas Maret (UNS) Surakarta
|
KORAN TEMPO, 24 Juni 2015
Suap lagi, tertangkap
lagi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam operasi tangkap tangan
berhasil menangkap dua anggota DPRD dan dua kepala dinas Kabupaten Musi
Banyuasin, Sumatera Selatan. Dalam operasi tangkap tangan tersebut, KPK
menyita tas berwarna merah marun yang berisi uang Rp 2,56 miliar dalam
pecahan Rp 50 ribu dan Rp 100 ribu. Menurut pelaksana tugas (Plt) Wakil Ketua
KPK, Johan Budi, uang itu diduga diberikan kedua kepala dinas kepada dua
anggota DPRD tersebut, yang berkaitan dengan pembahasan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) 2015 Kabupaten Musi Banyuasin (Koran
Tempo, 21/6/2015).
Operasi tangkap tangan
di Musi Banyuasin merupakan operasi kedua yang dilakukan KPK sejak sejumlah
pemimpin KPK dijabat plt pada Februari lalu. Operasi tangkap tangan pertama
dilakukan terhadap Andriansyah, anggota DPR dari PDIP, di sela-sela kongres
partai itu di Bali, April 2015. Kita apresiasi kinerja KPK di tengah masalah
hukum pimpinannya serta upaya memperlemah KPK dengan revisi UU Nomor 30/2002
tentang KPK yang ingin menghapus kewenangan penyadapan serta penuntutan.
Keberhasilan operasi tangkap tangan tersebut membuktikan masih ampuhnya
kewenangan penyadapan (Pasal 12A UU KPK) dalam menangkap mereka yang sedang
memberi dan menerima dana suap.
Kekuasaan besar yang
dimiliki anggota DPRD serta birokrat daerah (pejabat pemerintah daerah)
ternyata dapat disalahgunakan untuk suap pembahasan APBD. Suap-menyuap itu
berkaitan dengan kebijakan resmi yang dibuat oleh komisi-komisi di DPRD.
Artinya, jika ada, pengaruh uang dalam setiap kebijakan itu bukan tindakan
perorangan atau oknum, melainkan produk kolektif. Tentu saja, seperti dalam
teori hubungan korupsi dan demokrasi, pengaruh korupsi akan memusatkan
perhatian pada politikus yang paling murah dibeli (Rose-Ackerman, 2000).
Hadi Supeno (2009)
dalam bukunya, Korupsi di Daerah, mengatakan koruptor mempunyai tiga motif
kala merampok uang negara. Pertama, korupsi yang sifatnya penyelewengan dan
merugikan keuangan negara. Kedua, korupsi karena kesalahan administrasi
sehingga tidak merugikan negara. Ketiga, korupsi yang dilatari kebutuhan
akibat penghasilan yang tidak mencukupi.
Tapi suap juga
dilakukan untuk motif politik demi mengembalikan modal politik dan
mempertahankan kekuasaan. Adapun modus korupsi di daerah mayoritas berupa
penyimpangan APBD. Korupsi sistematis ini merugikan ekonomi, politik, sosial,
dan meremehkan hukum pemerintahan, karena kekuasaan berada di tangan orang
yang tidak tepat.
Karakter suap ini
sekaligus memperlihatkan bahwa pembagian kekuasaan di era otonomi hanya
difokuskan pada pembagian kekuasaan dan sumber daya, tapi tidak diimbangi
dengan akuntabilitas serta kurang memperhatikan suprastruktur dan
infrastruktur yang dapat mengawasi pelaksanaan pemerintahan. Implementasi
otonomi daerah tidak diikuti kesiapan perangkat hukum dan mentalitas pejabat
yang menjadi pelakunya.
Kasus suap di Musi
Banyuasin harus diusut tuntas. Dalam logika praktek suap, tidak mungkin ada
aliran uang suap tanpa ada janji-janji dari penerima suap untuk mengakomodasi
kepentingan si penyuap. Dan kasus suap bisa dibongkar dan ditangkap tangan
jika ada kewenangan penyadapan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar