Rabu, 24 Juni 2015

Sungai Nil, Firaun, dan IM

Sungai Nil, Firaun, dan IM

Smith Alhadar  ;   Penasihat ISMES; Staf Ahli Institute for Democracy Education (IDe)
KOMPAS, 24 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Rezim Presiden Mesir Abdel Fatah El-Sisi terus menekan mantan Presiden Muhammad Mursi dari Ikhwanul Muslimin. Pada 16 Juni, kembali pengadilan menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup atas Mursi dan 121 petinggi IM lainnya.

Tuduhan terhadap Mursi bermacam-macam dan terus meningkat. Semula ia dituduh membobol dan kabur dari penjara (Januari 2011) serta menghasut massa untuk mengacau di Masjid Rabba al-Adawiyah (Juli 2013). Kini, ia juga dituduh melakukan kegiatan mata-mata untuk kelompok Hamas, Hizbullah di Lebanon, dan Iran. Agaknya, ini pesan El-Sisi kepada pihak luar, khususnya Amerika Serikat, yang terus menekan agar membatalkan vonis Mursi dan petinggi IM lainnya.

Pesan itu: Mesir negara berdaulat yang tahu apa yang harus dilakukan dan menolak intervensi asing mana pun. Keputusan pengadilan itu juga tampaknya bertujuan meningkatkan tekanan atas Mursi agar melepaskan klaimnya atas kursi kepresidenan. Vonis pengadilan ini diputuskan seminggu setelah Pemerintah Mesir memanggil Duta Besar AS untuk Mesir di Kairo. El-Sisi marah besar setelah tahu delegasi IM bertemu pejabat AS di Washington, Januari. Pertemuan itu menunjukkan AS tak tunduk pada kebijakan Pemerintah Mesir yang telah menetapkan IM sebagai organisasi teroris.

Belajar dari sejarah

Pada 16 Mei pengadilan Mesir menjatuhkan hukuman mati atas Mursi dan kawan-kawan. Namun, sikap El-Sisi yang menganggap IM sebagai ancaman utama keamanan Mesir tak diterima begitu saja oleh komunitas internasional karena pengadilan Mesir tak dapat dipercaya dan telah mengabaikan HAM.

AS dan Amnesti Internasional (AI) mengkritik vonis itu. Mereka menilai, hal ini mencerminkan keadaan yang menyedihkan dari sistem peradilan pidana Mesir. AI bahkan mengatakan, hukuman mati telah jadi alat Pemerintah Mesir untuk membersihkan oposisi politik. Gedung Putih yang dikecam pegiat HAM karena menormalkan hubungan dengan pemerintah El-Sisi yang dipandang anti demokrasi  dan HAM berargumen ini demi kepentingan keamanan nasional  untuk memerangi radikalisme.

Sikap merangkul IM tampaknya langkah politik Presiden AS Barack Obama untuk memaksa El-Sisi bernegosiasi lebih serius dengan Mursi untuk menemukan jalan keluar yang damai. Bagaimanapun, Mursi adalah presiden yang sah, yang dipilih dalam pemilu terbuka dan demokratis meski sebagian rakyat Mesir kemudian menganggapnya sebagai firaun (orang kuat) menyusul dikeluarkannya Dekrit Presiden 22 November 2012 yang memberikan kekuasaan secara penuh. Dekrit itu mendorong kelompok sekuler, nasionalis, Naseris, dan Islam moderat turun ke jalan, membuka peluang El-Sisi mengambil alih kekuasaan.

Alasan lain, AS tak percaya pemberangusan IM merupakan solusi bagi Mesir. Sudah sejak firaun (orang kuat) Gamal Abdul Nasser, Anwar Sadat, dan Hosni Mubarak berkuasa, IM ditindas karena bersikap sebagai oposisi, tetapi organisasi yang didirikan Hassan Al-Banna 1928 ini tetap saja eksis. Buktinya, selain Mursi memenangi kursi presiden, IM juga menang dalam pemilu legislatif  yang paling bebas dan demokratis sepanjang sejarah Mesir. Mendepak mereka justru hanya menciptakan kesulitan ekonomi bagi rakyat Mesir.

Tadinya, setelah kudeta El-Sisi, AS langsung menghentikan bantuan rutinnya sebesar 1,3 miliar dollar AS. Namun, dinamika politik Timur Tengah yang tegang dan kacau, sementara Mesir adalah pemimpin dunia Arab, Gedung Putih memulihkan kembali bantuan itu, Februari lalu.

Tindakan Washington ini merupakan upaya AS menjauhkan Mesir dari Rusia sebagai alat penekan El-Sisi sekaligus menjaga agar Mesir tidak kolaps. Sejak Arab Spring melanda Mesir pada Januari 2011, yang berujung pada kejatuhan Hosni Mubarak, ekonomi Mesir terus terpuruk.

Mesir bukan negara Arab yang kaya. Mesir tak punya sumber daya alam, seperti minyak dan gas, yang besar. Pendapatan utama Mesir berasal dari turisme dan investasi asing. Pendapatan luar negeri dari sektor ini kemudian melemah seiring dengan instabilitas politik. Situasi ini diperparah oleh pengangguran orang muda yang berjasa menjatuhkan rezim Mubarak. Maka, pemulihan bantuan AS itu juga bertujuan meringankan beban ekonomi rakyat Mesir sambil menekan El-Sisi untuk membebaskan semua orang yang ditahan.

AS belajar dari sejarah Mesir. Presiden Anwar Sadat terbunuh (1981) karena dua hal: berdamai dengan Israel dan kebijakan ekonomi yang dikenal sebagai iftitah. Terkait pembunuhan Sadat,  Kopral Khlaled Islambouli yang memberondong Sadat menyatakan dengan semangat bahwa ia telah membunuh firaun.

Iftitah atau ekonomi pasar bebas yang membuka diri pada kekuatan ekonomi asing menyebabkan hancurnya ekonomi kelas menengah ke bawah. Dua hal itu menyebabkan menjamurnya kelompok radikal semacam Jamaah Islamiyah dan Tanzim Jihad yang mengakhiri Sadat.

Pemberangusan IM oleh El-Sisi telah memunculkan kelompok-kelompok radikal baru. Salah satu yang populer adalah Ansar Bait al-Maqdis, berbasis di Sinai, yang pada Februari lalu menewaskan 30 personel  keamanan Mesir. Belakangan mereka memproklamirkan diri sebagai cabang ISIS di Mesir. Mereka muncul sebagai respons terhadap kesewenang-wenangan rezim, bukan karena terkait IM.  Dengan demikian, kondisi ekonomi Mesir bakal semakin buruk.

Jalan kompromi

Sebagian rakyat mendukung kudeta El-Sisi karena budaya politik Mesir berbasis Sungai Nil. Tanpa Nil tak akan ada peradaban di Mesir, bahkan tidak ada kehidupan di sana kecuali di pesisir sempit di Laut Tengah. Sekitar 95 persen daratan Mesir adalah gurun tandus, sementara hujan turun amat jarang. Saat ini Nil masih menjadi sumber air minum, tanah pertanian, pembangkit listrik, lalu lintas, dan wisata.

Saking pentingnya Nil, bangsa Mesir mendukung orang kuat mana pun. Maka, sejak 332 SM, Mesir  diperintah orang asing hingga Gamal Abdul Naser mengakhirinya (1952). Namun, Naser tetap populer meski memerintah dengan tangan besi.

Anwar Sadat dan Hosni Mubarak juga meneruskannya. Mursi pun tak bebas dari budaya ini. Itu terlihat dari dekritnya dan memaksakan syariat atas Mesir yang sangat plural, baik dari segi ideologi politik maupun agama. Ironisnya, ia mengangkat El-Sisi sebagai Menteri Pertahanan yang berpandangan firaunis seperti dirinya. El-Sisi berpendapat, dukungan para pemimpin agama sangat vital: bahwa demokrasi tidak dapat dipahami tanpa mengacu pada konsep kesetiaan (baaya) dan musyawarah (syura). Ia bahkan menyatakan, tidak perlu ada pemisahan antara legislatif, yudikatif, dan eksekutif.

Namun, Mesir telah terbelah. Tidak ada pilihan lain bagi El-Sisi untuk mengatasi masalah politik dan ekonomi domestik, kecuali kompromi dengan Mursi demi kejayaan bangsa Mesir ke depan.  Sikap menang-menangan dari El-Sisi dan Mursi hanya akan meradikalisasi kaum Muslim, mendestabilisasi Mesir, dan akhirnya membawa Mesir ke jurang keterpurukan yang dalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar