Jumat, 12 Juni 2015

Penghapusan Gelar Akademik

Penghapusan Gelar Akademik

Jony Oktavian Haryanto  ;  Ketua Prodi Entrepreneurship Podomoro University
SUARA MERDEKA, 10 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KITA mungkin terkesima bila mendengar atau membaca nama seseorang dengan sederet gelar akademik. Nama itu bisa bertambah panjang bila ditambah gelar terkait dengan keahlian profesi. Misal, ahli audit sistem informasi yang berhak mencantumkan gelar CISA (Certified Systems Information Auditor) di belakang nama. Atau, bisa juga gelar dalam bidang keuangan lain, seperti CFP (Certified Financial Planner) atau CFA (Chartered Financial Analyst).

Berapa lama waktu yang dia habiskan di bangku kuliah? Lalu, dari perguruan tinggi mana saja? Di Indonesia, gelar pendidikan kerap berkorelasi positif dengan promosi jabatan dan tingkat kesejahteraan. Makin banyak dan tinggi gelar, makin terbuka pula peluang meraih posisi lebih tinggi. Itu berarti makin terbuka pula peluang untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan.

Tak heran banyak PNS, juga pegawai BUMN dan swasta, berlomba-lomba melanjutkan pendidikan hingga jenjang S-2 atau S-3. Pasalnya, hanya dengan cara begitu PNS bisa naik jabatan menjadi kepala bagian, misalnya. Atau, kalau di BUMN dan perusahaan swasta mungkin bisa menjadi general manager dan bahkan masuk jajaran direksi.

Di lingkungan politik, dengan tambahan gelar akademik peluang seseorang untuk terpilih menjadi calon anggota legislatif relatif lebih terbuka karena ‘’daya jualnya’’menjadi lebih tinggi. Kalau dia terpilih menjadi anggota legislatif, hampir pasti kesejahteraannya pun semakin meningkat.

Moral Hazard

Dalam banyak kasus, saya malah melihat harapan seperti itu berisiko memicu moral hazard: memperoleh gelar jauh lebih penting ketimbang mencari ilmu guna meningkatkan kompetensi. Jadi, asal bisa mencantumkan gelar S-2 atau S-3, meski perguruan tingginya berada di ruko atau ìnumpangî di satu sekolah, bukan soal. Bahkan tak penting pula dosennya dari mana.

Kita bisa memotret fenomena itu dari kemerebakan jasa pembuatan skripsi, tesis dan disertasi. Bahkan yang lebih kasar lagi adalah kemerebakan jual beli ijazah palsu. Kita bisa dengan mudah menemukan pihak yang menawarkan jasa tersebut lewat internet. Ada juga yang menawarkan gelar profesor, yang sejatinya bukan gelar akademik.

Bagaimana kita menyikapi kemerebakan fenomena jual beli ijazah, jasa penulisan tesis dan disertasi hingga iming-iming gelar profesor? Pemerintah perlu mengambil langkah tegas terhadap pihak-pihak yang menawarkan jasa tersebut, termasuk kepada pembelinya. Kita perlu menerapkan konsep revolusi mental yang ditawarkan Jokowi-JK. Salah satu revolusi itu adalah dengan tak lagi terlalu mengidolakan gelar akademik, tapi lebih mengutamakan kompetensi.

Kita bisa berkaca dari pengalaman beberapa negara, seperti Jepang, Prancis, atau Tiongkok. Di negara itu jarang orang mencantumkan gelar akademis di depan atau belakang nama. Gelar dipakai hanya di lingkungan akademis. Di Jepang misalnya, jika ada ilmuwan diminta jadi pembicara seminar, dia enggan mencantumkan gelar akademis. Juga, tak ada istilah guru besar sehingga ilmuwan tak akan repot-repot menghabiskan banyak waktu untuk memburu jabatan guru besar. Sebaliknya, mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk meneliti.

Begitu pula di Prancis, jarang orang mencantumkan gelar akademis. Di sana kemampuan seseorang dinilai dari jabatannya, bukan gelar akademisnya. Di Tiongkok pun begitu, jarang orang mencantumkan gelar akademis untuk sesuatu yang kurang relevan dengan bidang pekerjaannya.

Kita sebetulnya mempunyai beberapa tokoh yang juga tak begitu mengidolakan gelar. Misal mantan menteri Pendidikan dan Kebudayaan Soemantri Brodjonegoro (juga pernah menjadi menteri Pertambangan) dan Fuad Hasan. Kita tahu keduanya doktor dan profesor. Namun, semasa menjabat menteri, keduanya tidak mencantumkan gelar akademis dalam tiap surat keputusan yang mereka tanda tangani. Buat mereka kompetensi lebih penting ketimbang gelar.

Tenaga Terdidik

Menurut McKinsey Global Institute, Indonesia pada 2012 menempati peringkat ke-16 perekonomian dunia dan memiliki sekitar 55 juta tenaga terdidik (skilled worker). McKinsey memperkirakan tahun 2030, Indonesia menjadi negara dengan perekonomian terbesar ke-7 di dunia. Untuk sampai ke sana, kita butuh dukungan 113 juta tenaga terdidik.

Itu artinya kita betul-betul membutuhkan tenaga kompeten, bukan sekadar bergelar S-1, S-2 atau S-3.

Saat ini kompetensi tenaga terdidik kita sungguh memprihatinkan. Indikatornya, 17% dari lulusan perguruan tinggi kita masih menganggur.

Kita tentu belum lupa dengan kisah Ignatius Ryan Tumiwa, lulusan S-2 dari Universitas Indonesia yang meminta fatwa MK agar diperbolehkan bunuh diri. Ia frustrasi karena sudah bertahun-tahun lulus, masih menganggur. Kita juga kerap mendengar keluhan sejumlah perusahaan tentang kualitas lulusan perguruan tinggi. Banyak sarjana tak siap pakai. Agar siap bekerja, perusahaan mesti mengeluarkan biaya tambahan dengan mendidik mereka melalui program management trainee.

Kini saatnya kita merevolusi mental, dan salah satunya dengan menghapus gelar pada sistem pendidikan tinggi sehingga tidak ada lagi “sarjana kertas”. Mahasiswa tak perlu memplagiasi karena tak perlu mengejar gelar, tetapi kompetensi. Mahasiswa akan lulus jika berhasil menunjukkan kompetensinya, bukan karena memenuhi tugas formal seperti tes atau tugas akhir. Pasar juga akan lebih menghargai lulusan tanpa gelar namun kompeten, ketimbang sarjana kertas yang hanya mampu menjiplak karya orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar