Kau
yang Memulai, Kau yang Mengakhiri
Bambang Soesatyo ; Sekretaris Fraksi Partai Golkar; Anggota
Komisi III DPR
|
SUARA MERDEKA, 09 Juni 2015
KONFLIK internal
Partai Golkar meruncing karena kehadiran dan peran penguasa di dalamnya.
Islah terbatas dua kubu kepengurusan Golkar pun bisa terwujud berkat mediasi
penguasa. Kau (penguasa) yang memulai, kau (penguasa) pula yang mengakhiri
konflik itu, walaupun untuk sementara.
Kerja keras Wapres
menghadirkan Golkar sebagai peserta pilkada mencerminkan kesadaran sekaligus
kekhawatiran pemerintah atau penguasa. Pesta demokrasi tingkat daerah itu
bisa disebut abnormal atau cacat jika Golkar absen mengingat ia peraih suara
terbanyak kedua dalam Pileg 2014.
Andai absennya Partai
Golkar dalam Pilkada 2015 diakibatkan oleh kesalahan sendiri, mungkin wajar
dan tidak aneh. Tapi andai halangan itu disebabkan ulah oknum penguasa
mengeskalasi konflik internal Golkar maka pemerintah dan KPU sebagai
penanggung jawab dan penyelenggara Pilkada 2015 akan dipermalukan.
Pasalnya, bakal ada
noda besar dalam catatan Pilkada 2015. Memang, kalau dua kubu kepengurusan
Golkar bersikeras menolak gencatan senjata, kader unggulan partai itu di
semua daerah hanya menjadi penonton atau penggembira pilkada. Pengajuan calon
oleh Golkar bisa teradang oleh Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9 Tahun 2015
tentang Pencalonan.
Tapi faktor penghambat
ini bisa diterobos Golkar setelah dua kubu melakukan pertemuan keenam dan
menyepakati gencatan senjata. Islah terbatas itu ditandai oleh penekenenan
dokumen kesepakatan di rumah dinas Wapres JK di Menteng, Jakarta, Sabtu
(30/5) sore.
Draf islah itu memuat
4 poin kesepakatan tentang pengajuan calon pemimpin daerah dalam Pilkada
2015. Poin pertama mencantumkan kesepakatan kedua kubu untuk mendahulukan
kepentingan Golkar, sehingga calon kepala daerah yang diusung Golkar dapat
diusulkan dalam pilkada.
Poin kedua mencantum
kesepakatan membentuk tim penjaringan bersama di daerah yang akan
melaksanakan pilkada, baik provinsi maupun kabupaten/ kota. Poin ketiga
menyebutkan calon yang diajukan harus memenuhi kriteria yang disepakati
bersama. Poin keempat menyebutkan untuk pendaftaran calon kepala daerah yang
diajukan pada Juli 2015, usulan dari Golkar ditandatangani oleh DPP Partai
Golkar yang diakui oleh KPU.
Dengan poin-poin
kesepakatan itu, Golkar sebagai partai peraih urutan kedua suara terbanyak
Pileg bisa tampil di Pilkada 2015. Para calon gubernur, calon bupati dan
calon wali kota dari Partai Golkar di berbagai daerah bisa mendaftarkan
kepesertaan mereka di KPU di daerah masing-masing.
Monumental
Tapi persoalan belum
selesai bagi pemerintah khususnya, dan juga KPU. Apakah konflik internal
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) akan tetap dibiarkan sehingga mereka tidak
bisa mengajukan calon?
Dengan asumsi
pemerintah juga ikut memperuncing konflik internal PPP, tentu saja mediasi
oleh pemerintah pun menjadi sebuah kebutuhan. Di hadapan pemerintah, PPP
patut mendapat perlakuan pantas. Bila pemerintah c.q.
Wapres JK sudah
bekerja keras menghadirkan Golkar di Pilkada 2015 maka pemerintah pun harus
mencari formula lain yang relevan supaya hak PPP mengajukan calon di pilkada
tidak hilang begitu saja. Sebagai cerminan kedewasaan demokrasi, Pilkada 2015
itu monumental karena dilaksanakan di ratusan daerah.
Patut disebut
monumental karena untuk kali pertama bangsa ini mengambil keputusan berani
menyelenggarakan pilkada serentak di 204 daerah otonomi, meliputi 197
kabupaten/kota dan 7 provinsi Pilkada serentak tidak hanya mencerminkan
kepercayaan diri bangsa yangmakin kuat, tetapi juga menyajikan potret tumbuh
kembangnya demokrasi.
Artinya, Pilkada 2015
jadi pertaruhan besar tidak hanya bagi pemerintah tapi juga bagi citra
bangsa. Bisa dipastikan pada Desember 2015 mata dunia fokus menyimak pesta
demokrasi itu.
Karena itu, persiapan
dan pelaksanaan Pilkada 2015 harus tampak elok, fair, dan demokratis. Satu
masalah besar sudah teratasi melalui islah sementara di tubuh Golkar. Masih
ada persoalan yang berisiko jadi faktor pengganggu, yakni dualisme
kepengurusan di PPP.
Pada kasus Golkar,
dapat diasumsikan pemerintah sangat tahu dan paham bagaimana bisa mewujudakn
islah sementara. Maka dalam kasus PPP, asumsi yang sama juga berlaku bahwa
pemerintah paling tahu bagaimana harus mendamaikan kedua kubu yang berkonflik.
Menerapkan manajemen
konflik itu kadang tidak murah. Untuk menghindari kerugian besar, manajemen
konflik itu tidak boleh berkepanjangan. Siapa yang mulai memicu konflik, dia
pula yang mestinya tahu bagaimana mengakhiri konflik itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar