Rabu, 03 Juni 2015

Merajut Masyarakat Pancasilais

Merajut Masyarakat Pancasilais

Agus Maimun ;  Sekretaris Karang Taruna Jawa Timur;
Anggota Fraksi PAN DPRD Jawa Timur
JAWA POS, 01 Juni 2015


                                                                                                                                                           
                                                
KEHIDUPAN berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini sedang dilanda krisis multidimensi. Dalam aspek politik, sistem demokrasi cenderung berlandasan liberalisme. Dalam aspek ekonomi mengikuti arus pasar yang menuhankan laissez faire (pasar bebas). Dalam aspek budaya, perilaku hedonistis atau kebarat-baratan semakin merajalela. Praktik-praktik yang dijalankan tersebut –dalam bermasyarakat maupun dalam mengelola negara– semakin jauh dari nilai-nilai Pancasila.

Akibat salah kelola terhadap negara, tak heran kekayaan sumber daya alam di Indonesia gagal difungsikan untuk menyejahterakan rakyatnya. Kehadiran pemerintah seakan tak ada artinya. Di masyarakat terjadi hal tak seimbang dan tak sederajat berupa hubungan tuan-hamba, majikan-buruh, dan kaya-miskin.

Padahal, untuk menjadi bangsa adidaya, tidak ada cara sela in membentuk masyarakat Pancasilais. Upaya untuk membentuk individu atau manusia Pancasilais membutuhkan kerja keras. Karakter manusia Indonesia sudah sangat rapuh. Mochtar Lubis dalam ceramahnya pada 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki mendeskripsikan manusia Indonesia dengan ciri-ciri hipokrit alias munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya takhayul, berwatak lemah, dan ciri lainnya seperti tidak hemat serta pemalas.

Karakter manusia Indonesia yang demikian tampaknya telah melahirkan masyarakat Indonesia yang takut pada bayangannya sendiri, ilutif, dan inlander. Mereka memuja peradaban luar tanpa menyinergikan dengan peradaban Nusantara. Mereka mentradisikan isme-isme luar tanpa mengontekstualisasikannya dengan national wisdom (kearifan nasional) atau local wisdom (kearifan lokal atau daerah).

Jika karakter demikian masih dipertahankan, bukan tidak mungkin bangsa Indonesia akan semakin bobrok. Upaya untuk menjadikan bangsa Indonesia berdaulat secara politik, berkepribadian dalam kebudayaan, dan mandiri secara ekonomi juga akan semakin berat.

Karena itu, karakter manusia Indonesia yang dideskripsikan Mochtar Lubis harus diubah dengan karakter manusia Indonesia yang Pancasilais. Cara mengubahnya dengan menabur pemikiran Pancasila dalam setiap diri manusia Indonesia.

Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sendiri merupakan cerminan dari bangsa yang diidamkan Soekarno yang diutarakan dalam bentuk trisaktinya. Ini lantaran dalam Pancasila terdeskripsikan secara tersirat identitas kebudayaan, politik, dan ekonomi bangsa Indonesia.

Sila pertama hingga ketiga merupakan cerminan keagamaan (teisme), kemanusiaan (humanisme), dan persatuan (nasionalisme). Keagamaan yang berciri saling menghormati dan menjunjung tinggi pluralitas agama. Kemanusiaan yang berlandasan hak dasar dari manusia berupa kemerdekaan diri dan jiwa bagi setiap manusia. Dan persatuan yang saling mengikat satu sama lain dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Sila pertama hingga ketiga inilah yang merupakan identitas budaya Indonesia.

Adapun sila keempat merupakan panduan dalam berdemokrasi. Demokrasi yang diinginkan adalah demokrasi Pancasila yang berfondasi musyawarah; berciri pertarungan ide, visi, dan gagasan. Bukan demokrasi liberal yang menyertakan uang (money politics). Inilah sesungguhnya identitas bangsa Indonesia yang bisa menjadikannya berdaulat secara politik.

Mengenai sila kelima, nilai sosialisme terkandung di dalamnya. Bukan kepentingan pribadi, bukan kepentingan kelompok, yang diprioritaskan. Melainkan kepentingan rakyat dan negara yang diutamakan. Dengan begitu, bangsa Indonesia akan mandiri secara ekonomi.

Semua nilai yang terkandung di dalam Pancasila tersebut tak bisa dipisahkan. Kelimanya saling terkait, saling tergantung satu sama lain, dan harus ditradisikan secara bersamaan. Ibarat organ tubuh, satu saja sakit dan tidak berfungsi, semuanya akan merasa kesakitan.

Mohammad Hatta (mantan wakil presiden RI) juga pernah mengilustrasikan bahwa demokrasi politik tanpa diikuti demokrasi ekonomi hanya akan jadi persoalan. Era reformasi yang menginginkan keterbukaan dalam berpolitik gagal menyejahterakan publik. Bukannya menyejahterakan publik, demokrasi politik justru terjebak pada demokrasi liberal sehingga dalam aspek ekonomi juga terjadi liberalisme. Akibatnya, lahir sekelompok elite yang menguasai sumber-sumber kekayaan negara.

Karena itu, sebagai dasar negara dan merupakan warisan luhur dari founding father bangsa, hari kelahiran Pancasila 1 Juni ini dapat dijadikan momentum untuk benar-benar menghidupkan katakata yang ada dalam Pancasila sebagai tindakan nyata. Mengutip ungkapan filsuf Friedrich Nietzsche (1844–1990), kunci keberhasilan bangsa ditentukan komitmen menghidupkan dan menyalakan kata-kata menjadi kata kerja (tindakan nyata). Tugas tersebut bukan hanya tugas pemerintah. Seluruh komponen bangsa harus turut serta dalam mewujudkan masyarakat Pancasilais.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar