Rabu, 03 Juni 2015

Menanti Aksi FBI di Senayan

Menanti Aksi FBI di Senayan

B. Indra K. ;  Pemerhati sepak bola yang pernah tinggal di Washington DC
JAWA POS, 01 Juni 2015


                                                                                                                                                           
                                                
HARI masih gelap. Jam menunjukkan belum pukul 05.00. Sekelompok polisi Swiss bekerja sama dengan Biro Penyelidik Federal Amerika Serikat (FBI) mencokok sembilan petinggi FIFA (Fédération Internationale de Football Association), Rabu (27/5).

Mereka digelandang dari kamar hotel mewah Baur au Lac yang memiliki pemandangan indah Danau Zurich dan Pegunungan Alpen. Para pejabat FIFA itu berkumpul di hotel tersebut terkait dengan penyelenggaraan Kongres Luar Biasa FIFA.

Mereka diduga melakukan tindak pidana pencucian uang, pemerasan, suap, dan penipuan transaksi selama 20 tahun terakhir.

Sembilan pejabat FIFA yang ditangkap itu Jeffrey Webb (wakil presiden dan anggota Komite Eksekutif FIFA, presiden CONCACAF), Eduardo Li (anggota Komite Eksekutif terpilih FIFA, presiden Federasi Sepak Bola Kosta Rika), Eugenio Figueredo (wakil presiden FIFA dan anggota komite eksekutif), Julio Rocha (development officer FIFA), Costas Takkas (atase presiden CONCACAF), Jack Warner (mantan wakil presiden FIFA dan anggota komite eksekutif), Rafael Esquivel (anggota Komite Eksekutif Conmebol dan presiden Federasi Sepak Bola Venezuela), Jose Maria Marin (anggota Komite Organisasi FIFA untuk turnamen sepak bola Olimpiade), dan Nicolas Leoz (mantan anggota Komite Eksekutif FIFA).

FBI tidak sembarang bertindak. Biro itu menyelidiki kasus tersebut sejak 2011. Berawal dari adanya aliran dana mencurigakan sebesar USD 500.000. Dana itu berasal dari Uni Sepak Bola Karibia (CFU) yang diketuai Jack Warner, yang dikirim ke sebuah perusahaan yang dipimpin warga AS Chuck Blazer.
Blazer berdalih, itu pembayaran utang dari Warner kepada dirinya. Namun, FBI dan Dinas Pendapatan Dalam Negeri (IRS) Amerika Serikat terus mengejar dan dia tidak dapat menghindar dari tuduhan mengemplang pajak.

Posisi Blazer tersudut. Dia kemudian bersedia bekerja sama dengan FBI, menjadi informan. Alat sadap dipasang pada Blazer dalam berbagai pertemuannya dengan petinggi FIFA, termasuk Presiden FIFA Sepp Blatter, dalam rangka pencarian bukti suap dan korupsi.

Langkah FBI itu merupakan law enforcement (penindakan hukum) yang tegas. Itu sekaligus membuktikan bahwa FIFA adalah bukan lembaga superbodi yang kebal hukum.

Penggerebekan itu berjalan lancar karena ketegasan pemerintah Swiss pula. Pada 2012, Dewan Federal Swiss mengeluarkan aturan hukum bahwa semua organisasi olahraga nasional dan internasional yang berada di negara itu harus taat kepada hukum negara itu.

Penangkapan para pejabat FIFA itu merupakan awal yang cerah bagi perbaikan tata kelola sepak bola internasional. Itu memiliki korelasi positif dengan langkah yang dilakukan Menpora Imam Nahrawi dalam membenahi sepak bola nasional menuju tata kelola yang lebih sehat.

Dalam bahasa hukum, tindakan kepada FIFA itu bahkan bisa menjadi yurisprudensi atau benchmark baru dalam penanganan masalah sepak bola nasional.

Sesungguhnya, pembekuan PSSI adalah pilihan terakhir ketika instansi lain tidak mengindikasikan tindakan nyata atas berbagai dugaan yang muncul terhadap PSSI.

Klub bisa dengan mudah berganti pemilik, tidak membayar pajak, klub dan pemain tidak memiliki NPWP (nomor pokok wajib pajak), praktikpraktik mafia dengan mengandalkan intimidasi dan kekerasan, pengaturan skor atau match fixing, tidak adanya transparansi keuangan, khususnya pendapatan hak siar, dan bahkan dugaan pencucian uang serta korupsi.

Soal pajak, sesungguhnya Indonesia memiliki Kantor Pajak yang memiliki kewenangan menginvestigasi pengemplangan pajak yang dilakukan wajib pajak. Soal dugaan lain, ada BPK (audit investigasi), KPK (tindakan pidana korupsi), dan Kepolisian Negara RI (Polri) .

Khusus untuk menyiasati statuta FIFA yang melindungi anggotanya (organisasi sepak bola nasional masing-masing negara) dari intervensi, pemerintah sekali lagi perlu menegaskan sebagaimana yang dilakukan Dewan Federal Swiss bahwa semua organisasi olahraga nasional dan internasional yang berada di negara itu harus taat kepada hukum negara itu.

Dalam UU Sistem Keolahragaan Nasional (SKN) No 3 Tahun 2005, memang Menpora adalah penanggung jawab seluruh kegiatan olahraga di Indonesia. Tetapi, secara spesifik, perlu penegasan lagi (melalui penerbitan peraturan menteri/permen atau amandemen, Red) sebagaimana yang dilakukan Dewan Federal Swiss pada 2012.

FBI, IRS, dan Polizei Swiss terus mengembangkan kasus ditangkapnya sembilan pejabat tinggi FIFA itu. Pelacakan difokuskan kepada aliran dana mencurigakan, dari dan ke rekening mereka, serta kepada badan sepak bola internasional itu. Dalam pasal hukum mereka, pelaku bisa dijatuhi hukuman hingga 20 tahun penjara.

Sementara itu, di Indonesia, Menpora Imam Nahrawi tetap dalam tekadnya membenahi tata kelola sepak bola nasional agar lebih baik. Kasus FIFA itu setidaknya dijadikan momentum untuk lebih trengginas dan semangat lagi dalam melakukan pembenahan yang sudah berjalan.

Sinergi melalui MOU (memorandum of understanding) antara Kemenpora dan penegak hukum sekiranya bisa dibuat untuk memperkuat langkah pembenahan sepak bola nasional; di samping pembentukan Tim Transisi.

Jangan sampai tiba-tiba FBI beraksi terhadap PSSI dalam konteks pengembangan kasus. Jangan sampai kasus penangkapan sembilan pejabat tinggi FIFA itu menjadi hari baik sepak bola dunia, tetapi justru menjadi hari buruk sepak bola nasional.

Jangan sampai pula ucapan mantan PM Inggris Margaret Thatcher yang terkenal muncul lagi di sepak bola kita. Saat merespons aksi hooligan di negaranya, Margaret pernah mengatakan bahwa di sepak bola tidak perlu terjadi a disgrace to civilized society.

Tidak perlu terjadi ’’aib di tengah masyarakat (sepak bola) yang beradab’’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar