Selasa, 02 Juni 2015

Sabar untuk Sulitnya Menerima Kekalahan

Sabar untuk Sulitnya Menerima Kekalahan

Dahlan Iskan ;  Mantan CEO Jawa Pos
JAWA POS, 01 Juni 2015


                                                                                                                                                           
                                                
SAYA harus di New York tanggal 29-30 Mei lalu. Imam Shamsi Ali minta saya berbicara di forum Islam di Indonesia. Tempatnya di gedung PBB, New York. Imam besar masjid New York asal Indonesia itu memang pemrakarsanya. Dubes Indonesia untuk PBB Desra Percaya sebagai penyelenggaranya.

Saya berangkat dari Evansville, di Negara Bagian Indiana, tempat saya belajar selama tiga bulan terakhir, naik mobil. Lebih dari 1.500 km. Itu karena harus memutar lewat selatan. Mengunjungi tempat-tempat yang terkait dengan yang saya pelajari. Kami, saya dan guru saya, John Mohn, seorang wartawan senior di AS, bergantian pegang kemudi.

Sebelas negara bagian harus saya lewati: Kentucky, Tennessee, Mississippi, Alabama, Georgia, South Carolina, North Carolina, Virginia, Delaware, New Jersey, dan Pennsylvania. Singgah di kota-kota besarnya, desa-desanya, dan pedalamannya: Memphis, Tupelo, Birmingham, Atlanta, Augusta, Columbia, Charlotte, Greensboro, Appomattox, Durham, Richmond, Dover, Lewes, Atlantic City, Ocean City, dan Philadelphia. Juga mampir ke beberapa universitasnya.

Suatu saat, saya harus isi bensin di sebuah permukiman. Saya lihat ada puluhan rumah bagus di sekitar pompa bensin itu. ”Apakah ini sebuah desa?,” tanya saya. ”Di struktur pemerintahan Amerika tidak dikenal kata desa (village),” ujar John. ”Paling kecil adalah town (kota kecil),” tambahnya. Yakni, sebuah ”desa” yang penduduknya kadang kurang dari 2.000 jiwa.

Tapi tempat saya berhenti itu, Birdsnest, di Negara Bagian Virginia, ternyata sebuah permukiman yang tidak terikat dengan satu bentuk administrasi pemerintahan daerah. Bukan RT, bukan RW, bukan kelurahan, bukan kota. Sebutannya hanya ”un-incorporated community”. Alias permukiman yang tidak terikat organisasi pemerintahan.

Warga di Birdsnest tidak mau menjadi bagian kota mana pun. Mereka merasa tidak perlu punya organisasi pemerintahan. Juga tidak punya ketua kelompok atau koordinator. Mereka merasa bisa mengurus diri masing-masing. Memang pernah ada kantor pos di situ, tapi sudah lama tutup. Mereka tidak merasa perlu ikut pilkada. Juga merasa tidak perlu memiliki wakil di DPRD.

Ternyata banyak sekali kelompok masyarakat di AS yang statusnya seperti itu. Mereka merasa di situlah inti kebebasan dan inti kemerdekaan. Itulah filsafat demokrasi terdalam yang dianut Amerika. Mereka berpendapat, kebebasan yang mendasarlah yang bisa membuat AS menjadi negara superpower seperti sekarang.

Sebelum itu, saya mengunjungi ”desa” Appomattox di pedalaman Virginia. Di situ saya melihat lokasi penyerahan diri Jenderal Robert E. Lee, panglima perang tentara wilayah selatan yang berjuang memisahkan diri dari USA. Setelah hampir 70 tahun tergabung ke dalam USA (hampir seumur kemerdekaan Indonesia sekarang), tujuh negara bagian di selatan (South Carolina, Georgia, Alabama, Mississippi, Louisiana, Texas, dan Florida) menyatakan memisahkan diri. Negara-negara bagian di utara dan presiden USA menentang pemisahan diri itu.

Setelah empat tahun perang sipil dan menelan korban hingga hampir 1 juta jiwa, akhirnya pihak selatan menyerah di Appomattox itu. Kembali tergabung dalam USA. Angka 1 juta itu, dilihat dari jumlah penduduk saat itu, setara dengan sekitar 5 persen.

Dari sini saya belajar betapa mahalnya menegakkan konstitusi. Dan harus ditegakkan.

Pelajaran lain yang juga mahal adalah: betapa sulit menerima kekalahan.

Tidak semua tentara dan tokoh selatan menerima keputusan penyerahan diri Jenderal Robert Lee. Gubernur Florida waktu itu, John Milton, menulis surat kepada anaknya. Dia tidak bisa menerima kekalahan tersebut. Dia tidak mau berada di bawah pemerintahan Presiden Abraham Lincoln yang menang lagi di pemilu berikutnya. Setelah menandatangani surat itu, Milton langsung mengambil pistol. Ditembakkan ke kepalanya sendiri.

Pemilik perkebunan besar yang juga aktif di politik, Edmund Ruffin, melakukan hal yang sama. Dialah orang pertama yang meletuskan senjata ke tentara utara yang akhirnya menyebabkan perang itu terjadi. Ruffin kaget menerima kabar penyerahan diri Jenderal Lee. Ruffin langsung mengarahkan moncong senjatanya ke dalam mulutnya sendiri: dor.

Lebih dari itu, 10.000 orang dari wilayah selatan, yang tidak mau berada di bawah pemerintahan Lincoln memilih meninggalkan Amerika. Mereka seperti gelombang besar pindah ke Inggris, Kanada, Meksiko, dan negara lainnya.

Yang masih tinggal di Amerika pun tak semuanya bisa menerima kekalahan itu. Mereka membentuk kelompok-kelompok yang menempuh cara sendiri-sendiri. Banyak sekali organisasi yang didirikan dengan rasa sentimen itu. Termasuk yang paling keras adalah Ku Klux Klan.

Ketika Kota Columbia terbakar habis pada akhir perang sipil tersebut, ada juga yang mengaitkan itu sebagai langkah bumi hangus dari tentara selatan yang harus mundur dari Columbia.

Di antara yang kecewa itu, ada satu orang yang mengambil jalan sendiri. Lima hari setelah penyerahan diri Jenderal Lee, dia datang ke gedung teater di Washington, membawa pistol, menyelinap ke balkon dan….dor! Menembak Presiden Abraham Lincoln yang baru dilantik kembali untuk masa jabatan kedua.

Malam itu Lincoln memang lagi nonton. Penjaganya lagi keluar balkon untuk ambil kopi. Dalam satu minggu itu, dua peristiwa besar terjadi: kemenangan dan kekalahan Lincoln. Padahal, keesokan harinya, rencananya Lincoln menerima anaknya, tentara, yang baru datang dari Appomattox. Sang anak ikut menyaksikan pertemuan antara Jenderal Grant, panglima perang tentara pusat, dan Jenderal Lee, yang diakhiri dengan penyerahan diri itu. Lincoln ingin mendengar jalan cerita penyerahan diri tersebut.

Begitu mahal harga sebuah konstitusi.  

Konstitusi itu dibuat di Philadelphia dengan proses yang juga sangat sulit. Dan sangat panjang: 12 tahun. Saat berkunjung ke gedung tempat bersidangnya para pendiri USA itu, saya membayangkan siapa duduk di kursi sebelah mana dan membicarakan apa. Saya juga membayangkan George Washington duduk di kursi ketua sidang di depan sana itu.

Saya membayangkan betapa sabarnya para pendiri negara itu. Itulah pelajaran berdemokrasi berikutnya yang saya peroleh. Membangun demokrasi memerlukan kesabaran. Juga memerlukan toleransi. Seperti juga kita, saat proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, USA belum punya undang-undang dasar atau konstitusi.

Para pendiri negara itu harus berdiskusi merumuskan seperti apa konstitusi yang mereka inginkan. Rupanya tarik ulur kepentingan sangat keras. Rapat untuk merumuskan konstitusi itu sampai berlangsung 12 tahun.

Empat isu besarnya: bagaimana cara memilih presiden, bagaimana cara menentukan wakil negara-negara bagian di pemerintahan pusat (federal), bagaimana soal budak, dan sistem perpajakan yang tidak mengurangi kekuatan negara bagian.

Kita, Indonesia, pernah mengalami masa-masa seperti itu ketika untuk kali pertama ingin memiliki konstitusi yang demokratis. Pemilu pertama kita di tahun 1955 sangat sukses. Demokratis dan damai. Terbentuklah konstituante. MPR. Mereka mulai bersidang untuk merumuskan UUD. Satu tahun belum selesai. Dua tahun belum selesai. Tiga tahun belum selesai. Empat tahun belum selesai. Bung Karno tidak sabar. Bung Karno ambil jalan pintas: mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959. Konstituante dibubarkan. UUD 45 kembali diberlakukan.

Dalam perkembangan berikutnya, berlakulah demokrasi terpimpin. Lalu, berganti dengan demokrasi Pancasila di zaman Pak Harto.

Kondisinya memang berbeda. USA terbentuk oleh bersatunya negara-negara bagian. Biarpun belum punya pemerintahan pusat, pemerintahan di daerah (negara bagian) sudah berjalan. Itulah sebabnya, banyak yang mendukung langkah Bung Karno. Tentu banyak juga yang menyayangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar