Jumat, 12 Juni 2015

Menyongsong Pilkada Serentak

Menyongsong Pilkada Serentak

R Siti Zuhro  ;  Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
REPUBLIKA, 09 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tahun 2015 agaknya akan menjadi tahun pilkada serentak. Perhelatan akbar ini akan digelar di 269 daerah. Partai politik pun sudah berancang-ancang menyusul disahkannya undang-undang baru pilkada (UU No 8/2015).

Lepas dari itu, perdebatan pilkada serentak masih menghangat. Apakah hasilnya akan menjadi lebih baik dan lebih sedikit penyimpangan? Apakah stakeholders terkait pilkada berkomitmen kuat menyukseskan setiap tahapan pilkada?
Sudah siap pulakah aparat keamanan mengantisipasi kerusuhan akibat pilkada serentak? Dari 1.014 pilkada selama 2005-2014, sebagian besarnya berakhir dengan sengketa dan diselesaikan di Mahkamah Konsti tusi. Beberapa di antaranya juga picu konflik sosial.

Di tataran konsep, pilkada oleh rakyat tak hanya terkait erat dengan praktik desentralisasi dan otonomi daerah, tapi juga berkorelasi positif pada terwujudnya pemerintahan daerah yang demokratis, pemberdayaan dan kesejahteraan rakyat. Meskipun secara teoretis argumentasi ini bisa diperdebatkan, tak sedikit akademisi yang percaya pilkada langsung merupakan prasyarat terwujudnya pemerintahan daerah yang partisipatif, transparan, dan akuntabel (good governance). Namun, berhasil tidaknya jelas bergantung pada komitmen stakeholders terkait meminimalisasi kecenderungan perilaku menyimpang.

Peningkatan kualitas pilkada tak hanya ditentukan perbaikan undang-undangnya, tapi juga perbaikan pelaksanaannya. Dengan pilkada serentak diharapkan ada penyempurnaan pelaksanaan pilkada. Perencanaan pembangunan antara pusat dan daerah, misalnya, diharapkan dapat lebih bersinergi. Dari segi biaya dan waktu juga ada efisiensi.

Bila ada sengketa, penanganannya cukup di pengadilan sehingga tak mengganggu tahapan pilkada. Mereka yang terpilih bisa dilantik pula secara serentak oleh presiden dan atau menteri dalam negeri, dan atau oleh gubernur.

Lepas dari itu, sulit dinafikan pula ke kurangannya. Pilkada serentak akan menciptakan banyak pejabat (pj) gubernur/bupati/wali kota. Masa jabatannya yang cukup lama karena menanti waktu pilkada serentak bisa membuat kinerja pemda kurang efektif. Penanganan keamanan juga menjadi persoalan serius bila kerusuhan akibat pilkada terjadi serentak di sejumlah daerah. Sejauh ini belum ada referensi penyelenggaraan pilkada serentak di negara lain, di Indonesia ini merupakan hal pertama.

Pilkada serentak harus didukung tekad kuat semua pihak, baik partai politik, KPU, Bawaslu, pemerintah /birokrasi, pemda, aparat penegak hukum maupun civil society. Mereka harus berusaha keras mewujudkan pemerintahan daerah yang baik. Nilai-nilai demokrasi (saling menghormati, saling mempercayai, saling mendengarkan, toleransi, egaliterianisme, partisipasi) dan perilaku demokratis menjadi tolok ukur penting sukses pilkada. Penegakan hukum adalah keniscayaan. Tanpa itu, pilkada serentak hanya menimbulkan kekacauan dan ketidakstabilan sosial dan politik.

Erat dengan itu, demokrasi yang substantif perlu dibangun di semua daerah. Problemnya, teladan perilaku demokratis, baik yang ditunjukkan para elite, penyelenggara pemerintahan daerah maupun tokoh masyarakat masih minim.

Elite acapkali menjadi faktor penghambat proses demokratisasi lokal. Banyak yang tak siap kalah dan menghalalkan segala cara. Sejauh ini kampanye lebih sebagai dagelan politik ketimbang janji tulus menyejahterakan rakyat. Rakyat masih dilihat sekadar objek pelampiasan kekuasaan, bukan pemilik pilkada.

Untuk mewujudkan harapan rakyat atas pilkada, ada yang perlu dicermati. Pertama, penegakan hukum harus hadir sejak tahap awal pilkada. Aturan main harus jelas, tegas, mengikat. Termasuk sanksi/penalti bagi para pelanggar.

Kedua, KPU daerah dan Bawaslu/Panwaslu daerah harus netral secara politik, profesional, dan tidak partisan. KPU dan Bawaslu perlu mengantisipasi parpol yang masih mengalami dualisme kepemimpinan/kepengurusan. Bawaslu/ Panwaslu daerah harus proaktif, tak hanya menunggu laporan. Banyaknya penyimpangan oleh peserta pilkada tak semestinya terulang lagi. KPU dan Bawaslu harus siap, baik secara administratif, substantif maupun anggaran.
Ketiga, partai politik harus solid dan tidak sedang friksi. Mereka harus mampu mengusung calon yang amanah yang tidak kontroversi. Keempat, pentingnya kesiapan dana pilkada dalam APBD.

Setiap pemda harus mendukung terlaksananya pilkada, termasuk pencairan dananya. Ketidaksiapan Papua, misalnya, mengikuti pilkada serentak pada Desember 2015 dengan alasan waktunya bersamaan dengan acara keagamaan dan liburan seharusnya tak perlu terjadi.

Kelima, sosialisasi pilkada harus masif, efektif, dan substantif karena ini bagian integral pencerahan dan pendidikan politik warga lokal. Media massa, media sosial, dan lembaga survei harus ikut mendorong sosialisasi pilkada dan konsolidasi demokrasi lokal, ikut menyuarakan dan mencegah praktik buruk.

Semakin tinggi tingkat edukasi masyarakat, akan semakin rasional mereka memilih calon kepala daerah. Praktik vote buying yang muncul dalam pilkada harus dikurangi agar pilkada tak beralih dari rakyat untuk elite.

Pascapemilu 2014 belum tercipta ruang yang lega bagi partai untuk menghadapi pemilu lagi. Apalagi konsentrasi dan energi para elite partai banyak terkuras menghadapi dinamika dan kompetisi yang tak pernah henti di parlemen dan pergantian kepemimpinan di internal partai yang juga tak mudah.

Kisruh berkepanjangan partai tertentu rentan memunculkan instabilitas politik bila tak diantisipasi. Idealnya, parpol siap lahir batin menghadapi pilkada serentak sehingga menjadi peserta yang tak menimbulkan masalah. Parpol juga harus taat tidak menerima mahar dalam pencalonan kepala daerah. Politik transaksional sudah saatnya tak dipraktikkan lagi bila partai konsisten menjaga integritas dan kualitas hasil pilkada serentak.

Keberhasilan pilkada serentak sangat ditentukan oleh persiapan matang stakeholdersterkait pilkada. Mereka harus menunjukkan perilaku yang dewasa, bersinergi, dan koordinatif. Stakeholders harus selalu menimbang dampak positif dan negatif perilakunya.

Negara dan bangsa ini terlalu mahal dikorbankan hanya untuk kepentingan politik sempit. Dengan ini pilkada serentak yang akan dilaksanakan di 269 daerah diharapkan bukan saja dapat menghasilkan kepala daerah yang baik, tetapi juga menjadi role model bagi pilkada serentak nantinya.

Sebaliknya, bila persiapannya masih sangat kurang, sudah seharusnya pilkada serentak tak dipaksakan untuk berlangsung pada Desember tahun ini juga. Demi NKRI, konsolidasi atau kualitas demokrasi lokal dan proses pembelajaran demokrasi, penundaan bukanlah sebuah permaluan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar