Menyongsong
Pilkada Serentak
R Siti Zuhro ; Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI)
|
REPUBLIKA, 09 Juni 2015
Tahun 2015 agaknya akan menjadi tahun pilkada
serentak. Perhelatan akbar ini akan digelar di 269 daerah. Partai politik pun
sudah berancang-ancang menyusul disahkannya undang-undang baru pilkada (UU No
8/2015).
Lepas dari itu, perdebatan pilkada serentak
masih menghangat. Apakah hasilnya akan menjadi lebih baik dan lebih sedikit
penyimpangan? Apakah stakeholders terkait pilkada berkomitmen kuat
menyukseskan setiap tahapan pilkada?
Sudah siap pulakah aparat keamanan mengantisipasi
kerusuhan akibat pilkada serentak? Dari 1.014 pilkada selama 2005-2014,
sebagian besarnya berakhir dengan sengketa dan diselesaikan di Mahkamah
Konsti tusi. Beberapa di antaranya juga picu konflik sosial.
Di tataran konsep, pilkada oleh rakyat tak hanya
terkait erat dengan praktik desentralisasi dan otonomi daerah, tapi juga berkorelasi
positif pada terwujudnya pemerintahan daerah yang demokratis, pemberdayaan
dan kesejahteraan rakyat. Meskipun secara teoretis argumentasi ini bisa
diperdebatkan, tak sedikit akademisi yang percaya pilkada langsung merupakan
prasyarat terwujudnya pemerintahan daerah yang partisipatif, transparan, dan
akuntabel (good governance). Namun,
berhasil tidaknya jelas bergantung pada komitmen stakeholders terkait meminimalisasi kecenderungan perilaku
menyimpang.
Peningkatan kualitas pilkada tak hanya
ditentukan perbaikan undang-undangnya, tapi juga perbaikan pelaksanaannya.
Dengan pilkada serentak diharapkan ada penyempurnaan pelaksanaan pilkada.
Perencanaan pembangunan antara pusat dan daerah, misalnya, diharapkan dapat
lebih bersinergi. Dari segi biaya dan waktu juga ada efisiensi.
Bila ada sengketa, penanganannya cukup di
pengadilan sehingga tak mengganggu tahapan pilkada. Mereka yang terpilih bisa
dilantik pula secara serentak oleh presiden dan atau menteri dalam negeri,
dan atau oleh gubernur.
Lepas dari itu, sulit dinafikan pula ke
kurangannya. Pilkada serentak akan menciptakan banyak pejabat (pj) gubernur/bupati/wali
kota. Masa jabatannya yang cukup lama karena menanti waktu pilkada serentak
bisa membuat kinerja pemda kurang efektif. Penanganan keamanan juga menjadi
persoalan serius bila kerusuhan akibat pilkada terjadi serentak di sejumlah
daerah. Sejauh ini belum ada referensi penyelenggaraan pilkada serentak di
negara lain, di Indonesia ini merupakan hal pertama.
Pilkada serentak harus didukung tekad kuat
semua pihak, baik partai politik, KPU, Bawaslu, pemerintah /birokrasi, pemda,
aparat penegak hukum maupun civil
society. Mereka harus berusaha keras mewujudkan pemerintahan daerah yang
baik. Nilai-nilai demokrasi (saling menghormati, saling mempercayai, saling
mendengarkan, toleransi, egaliterianisme, partisipasi) dan perilaku
demokratis menjadi tolok ukur penting sukses pilkada. Penegakan hukum adalah
keniscayaan. Tanpa itu, pilkada serentak hanya menimbulkan kekacauan dan
ketidakstabilan sosial dan politik.
Erat dengan itu, demokrasi yang substantif
perlu dibangun di semua daerah. Problemnya, teladan perilaku demokratis, baik
yang ditunjukkan para elite, penyelenggara pemerintahan daerah maupun tokoh
masyarakat masih minim.
Elite acapkali menjadi faktor penghambat
proses demokratisasi lokal. Banyak yang tak siap kalah dan menghalalkan
segala cara. Sejauh ini kampanye lebih sebagai dagelan politik ketimbang
janji tulus menyejahterakan rakyat. Rakyat masih dilihat sekadar objek
pelampiasan kekuasaan, bukan pemilik pilkada.
Untuk mewujudkan harapan rakyat atas pilkada,
ada yang perlu dicermati. Pertama, penegakan hukum harus hadir sejak tahap
awal pilkada. Aturan main harus jelas, tegas, mengikat. Termasuk
sanksi/penalti bagi para pelanggar.
Kedua, KPU daerah dan Bawaslu/Panwaslu daerah
harus netral secara politik, profesional, dan tidak partisan. KPU dan Bawaslu
perlu mengantisipasi parpol yang masih mengalami dualisme
kepemimpinan/kepengurusan. Bawaslu/ Panwaslu daerah harus proaktif, tak hanya
menunggu laporan. Banyaknya penyimpangan oleh peserta pilkada tak semestinya
terulang lagi. KPU dan Bawaslu harus siap, baik secara administratif,
substantif maupun anggaran.
Ketiga, partai politik harus solid dan tidak
sedang friksi. Mereka harus mampu mengusung calon yang amanah yang tidak
kontroversi. Keempat, pentingnya kesiapan dana pilkada dalam APBD.
Setiap pemda harus mendukung terlaksananya
pilkada, termasuk pencairan dananya. Ketidaksiapan Papua, misalnya, mengikuti
pilkada serentak pada Desember 2015 dengan alasan waktunya bersamaan dengan
acara keagamaan dan liburan seharusnya tak perlu terjadi.
Kelima, sosialisasi pilkada harus masif,
efektif, dan substantif karena ini bagian integral pencerahan dan pendidikan
politik warga lokal. Media massa, media sosial, dan lembaga survei harus ikut
mendorong sosialisasi pilkada dan konsolidasi demokrasi lokal, ikut
menyuarakan dan mencegah praktik buruk.
Semakin tinggi tingkat edukasi masyarakat,
akan semakin rasional mereka memilih calon kepala daerah. Praktik vote buying yang muncul dalam pilkada
harus dikurangi agar pilkada tak beralih dari rakyat untuk elite.
Pascapemilu 2014 belum tercipta ruang yang
lega bagi partai untuk menghadapi pemilu lagi. Apalagi konsentrasi dan energi
para elite partai banyak terkuras menghadapi dinamika dan kompetisi yang tak
pernah henti di parlemen dan pergantian kepemimpinan di internal partai yang
juga tak mudah.
Kisruh berkepanjangan partai tertentu rentan
memunculkan instabilitas politik bila tak diantisipasi. Idealnya, parpol siap
lahir batin menghadapi pilkada serentak sehingga menjadi peserta yang tak
menimbulkan masalah. Parpol juga harus taat tidak menerima mahar dalam
pencalonan kepala daerah. Politik transaksional sudah saatnya tak
dipraktikkan lagi bila partai konsisten menjaga integritas dan kualitas hasil
pilkada serentak.
Keberhasilan pilkada serentak sangat
ditentukan oleh persiapan matang stakeholdersterkait pilkada. Mereka harus
menunjukkan perilaku yang dewasa, bersinergi, dan koordinatif. Stakeholders harus
selalu menimbang dampak positif dan negatif perilakunya.
Negara dan bangsa ini terlalu mahal
dikorbankan hanya untuk kepentingan politik sempit. Dengan ini pilkada serentak
yang akan dilaksanakan di 269 daerah diharapkan bukan saja dapat menghasilkan
kepala daerah yang baik, tetapi juga menjadi role model bagi pilkada serentak nantinya.
Sebaliknya, bila persiapannya masih sangat
kurang, sudah seharusnya pilkada serentak tak dipaksakan untuk berlangsung
pada Desember tahun ini juga. Demi NKRI, konsolidasi atau kualitas demokrasi
lokal dan proses pembelajaran demokrasi, penundaan bukanlah sebuah permaluan.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar