Kerawanan
Pemilih Pilkada
Achmad Fachrudin ; Pimpinan Bawaslu Provinsi DKI Jakarta
Periode 2012-2017
|
REPUBLIKA, 09 Juni 2015
Salah satu problem
krusial setiap pemilu, termasuk pilkada adalah terkait daftar pemilih. Pada
Pemilu 2014, penyelenggara pemilu khususnya KPU diseret ke Mahkamah
Konstitusi (MK) maupun Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena
terkait kisruh daftar pemilih, khususnya daftar pemilih khusus (DPK) dan
daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb).
Pada pilkada serentak
yang diresmikan KPU pada 17 April 2015 dengan ditandai penyerahan data
agregat kependudukan (DAK2) dari Kemendagri ke KPU, daftar pemilih tetap
berpotensi menjadi sumber konflik, khususnya pihak yang kalah pilkada. Sejauh
ini sikap dasar MK dan DKPP tetap akan memproses gugatan terkait Perselisihan
Hasil Pemilu (PHPU) maupun Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) berangkat
dari problem daftar pemilih.
Sengkarut daftar
pemilih bersifat involusi karena menyelesaikan problemnya tidak komprehensif
dari hulu, proses hingga hilir. Potensi kerawanan adalah terkait Daftar
Penduduk Potensial Pemilih Pilkada (DP-4). Muncul nya problem DP-4 terkait
sistem pendataan pemilih oleh pemerintah/pemda (Disdukcapil) punya kelemahan
struktural.
Akibatnya, DP-4 yang dihasilkan
tidak/belum memenuhi prinsip komprehensif, mutakhir, dan akurat, banyak NIK
invalid, dan lainnya. Realitas ini memicu ketegangan relasi KPU dengan
pemerintah/Disdukcapil, saling menyalahkan terkait kualitas dan kuantitas
DP-4. Agar tak terulang, KPU dan Disdukcapil sejak dini harus berkomunikasi,
berkoordinasi, dan membahas mekanisme sinkronisasi data dan program (format)
komputer yang digunakan. Jika perlu konsensus, KPU hanya akan menerima DP-4
dari Disdukcapil yang clear.
Selanjutnya, DP-4 yang
masih bermasalah diserahkan ke KPU untuk dilakukan pencocokan dan penelitian
(coklit) oleh Petugas Pendataan Data Pemilih (PPDP). Di sini muncul problem,
yakni cukup banyak ditemukan PPDP tak melakukan coklit door to door secara maksimal dan akurat sehingga daftar
pemilih sementara (DPS) juga berkualitas buruk.
Problem ini juga
terkait minimnya bimbingan teknis dan honorarium PPDP.
Mengatasi problem ini,
KPU antara lain menerapkan manajemen data pemilih dan Sistem Informasi Data
Pemilih (Sidalih). Sidalih punya kelemahan aspek faktor pendukung, baik
sarana maupun SDM. Untuk meningkatkan frekuensi bimbingan teknis dan honor
PPDP, terkendala keterbatasan anggaran pemerintah/pemda (APBN/APBD).
Kelemahan lain
Sidalih, banyak data pemilih ganda lintas provinsi/kota/ kabupaten dalam
DPKTb yang tidak dibersihkan KPU karena khawatir salah hapus, problem saat upload, problem tidak matching antara DPT onlinedan DPT manual
hasil rekapitulasi KPU terkait problem penginputan di tingkat PPS, dan
problem inakurasi dan invaliditas data pemilih lainnya.
Menghadapi pilkada
serentak, KPU harus memperbaiki manajemen data pemilih dan SDM admin maupun
operator Sidalih. Juga koordinasi di antara jajaran KPU khu susnya yang punya
data ganda lintas wilayah, memperbaiki kualitas data dan validitas pemilih.
Pada UU No 8 Tahun
2015 Pasal 59 ayat 2 terdapat nomenklatur baru DPTb.
Melalui Peraturan KPU
(PKPU) No 4 Ta hun 2015 tentang Pemutakhiran Data dan Daftar Pemilih dalam
Pemilihan Gu bernur dan Wakil Gubernur, bupati dan wakil bupati dan/atau wali
kota dan wakil wali kota DPTb, dikembangkan menjadi dua kategori, yakni
Daftar Pemilih Tambahan (DPTb)-1 dan DPTb-2.
Pengaturan ini hanya copy paste PKPU No 9 Tahun 2014 yang
mengintrodusir pemilih dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK) dan DPKTb.
Nomenklatur DPTb- 1 mirip DPK, DPTb-2 mirip DPKTb.
Munculnya pengaturan
nomenklatur DPKTb-1 dan DPKTb-2 sebagai upaya KPU agar tidak dituding membuat
peraturan yang tak ada cantelan hukumnya.
Namun, KPU harus
menyosialisasikan aturan DPTb-1 dan DPTb-2 ke masyarakat agar sesuai
prosedur.
Karena posisinya
sebagai ujung tombak KPU, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS)
harus memahami aturan ini agar tidak keliru catat dan mengadministrasikan
pemilih yang masuk kategori DPKTb-1 dan DPKTb- 2 di tingkat TPS. Sosialisasi
kepada pemilih dan bimbingan teknis kepada petugas KPPS mutlak dilakukan.
Terkait ketentuan PKPU
No 4 Tahun 2015 Pasal 4 ayat (1) poin c yang mengatur penggunaan hak memilih
bagi WNI harus berdomisili di daerah pemilihan paling kurang 6 bulan sebelum
disahkannya DPS yang dibuktikan dengan KTP atau dokumen kependudukan instansi
berwenang, pengaturan ini berpotensi menimbulkan penafsiran dan gugatan
karena tak jelas payung hukumnya. Ketentuan ini jika tak dipagari dengan rambu
hukum dan teknis administratif memadai, berpotensi dimanipulasi untuk
memobilisasi pemilih.
Kelemahan lain, kurang
mengantisipasi penduduk ber-KTP ganda khususnya di kota besar, mobilisasi
pemilih di satu provinsi, pemilih di daerah yang menggelar pilkada serentak,
tapi menjadi TKI atau pelajar di luar negeri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar