Arah
Politik Turki Pascapemilu
M Sya’roni Rofii ; Kandidat Doktor Ilmu Politik dan Hubungan
Internasional Marmara University Istanbul Turki
|
REPUBLIKA, 11 Juni 2015
Hasil pemilu Turki
telah diketahui. Berdasarkan hasil hitungan yang dihimpun media lokal A Haber
dan TRT Channel, raihan suara masing-masing partai: AKP 41 persen, CHP 25
persen, MHP 16 persen, HDP 12 persen, dan sisanya 4 persen. Hasil resmi akan
diumumkan YSK (Komisi Pemilihan Umum) satu bulan kemudian (A Haber,
07/06/2015).
Analisis sebelum
pemungutan suara secara umum tentang kemungkinan jika AKP meraih suara
mayoritas melebihi 330 kursi di parlemen, maka ada kemungkinan untuk mengubah
sistem parlementer menjadi presidensial sekaligus mengamendemen sejumlah poin
konstitusi Turki yang dianggap tidak relevan dengan semangat zaman karena
dibuat era 1980 yang kental nuansa militerisme. Analisis lainnya tentang
peluang partai HDP menembus ambang batas parlemen (parliamentary threshold) di angka 10 persen yang terlihat sangat
sulit dan berdampak signifikan terhadap proses perdamaian antara pihak
pemerintah dan komunitas Kurdi (Hurriyet 07/06/2015).
Dua wacana di atas
menjadi perhatian utama pengamat dan publik pada umumnya di samping membahas
isu yang dilontarkan partai politik dengan janji kampanye seputar perbaikan
ekonomi dan penguatan pengaruh Turki di level internasional.
Dengan hasil pemilihan
anggota parlemen ini, AKP yang sejak 13 tahun terakhir mampu membentuk
pemerintahan sendiri bisa dipastikan harus mencari mitra koalisi jika ingin
mengamankan kebijakan pemerintah. Ketua Umum Partai AKP Ahmet Davutoglu
menyatakan, semua orang tidak harus khawatir dengan hasil pemilu sebab
partainya masih menjadi pemenang dari proses demokrasi Turki.
Pernyataan ini bisa
dilihat sebagai pemberian jaminan kepada mitra strategis Turki di level
domestik maupun internasional (Hurriyet
Daily 07/06/2016). Sekaligus menjadi isyarat bahwa pemerintahan yang akan
dibentuk nantinya tetap berpegang pada fondasi kebijakan yang selama ini
telah dipancangkan.
Partai-partai lain,
seperti MHP, telah melempar sinyalemen membuka diri menjadi mitra koalisi
AKP. Koalisi antardua partai ini sangat mungkin terjadi jika melihat
pandangan politik dan platform keduanya yang fokus isu pembangunan dan
kebangsaan.
Ajakan untuk koalisi
datang juga dari partai yang selama ini menjadi motor oposisi atas
pemerintah, yakni CHP. Namun, peluang koalisi sangat kecil karena figur
pimpinan mereka memiliki arah pemikiran yang sangat kontras dalam berbagai
isu ketika berada di parlemen maupun kampanye sepanjang Mei hingga awal Juni
2015. Adapun skenario lain AKP menggandeng HDP juga menjadi prospek yang tak
banyak dibahas analis dan elite politik kedua partai, tapi dalam politik
semua probabilitas ditentukan pada detik-detik akhir.
Dengan berpegang pada
hasil pemilu, ada beberapa poin menarik yang perlu dianalisis secara utuh dan
mendalam. Pertama, AKP yang sejak 2002, 2007, dan 2011 sangat digdaya karena
meraih suara meningkat, menjadikan mereka bebas membentuk pemerintahan sendiri
sekaligus mengamankan setiap kebijakan pemerintahan yang sarat prestasi.
Ini sebagai dampak
dukungan penuh publik Turki terhadap aktor baru yang kala itu dimotori Recep
Tayyip Erdogan dengan agenda pembangunan berorientasi pada penguatan ekonomi
dan keanggotaan Uni Eropa. Namun, setelah ekonomi membaik, kini perdebatan
bergeser pada bagaimana idealnya membangun ulang karakter kebangsaan Turki
untuk dekade mendatang, diskursus yang memecah massa mengambang penentu hasil
pemilu.
Kedua, penurunan hasil
AKP pada pemilu tahun ini tak lepas dari kemampuan HDP menembus ambang batas
parlemen. Pada tahun-tahun sebelumnya, mereka kerap gagal menembus ambang
batas ini. Kendati berjuang dengan spirit komunitas Kurdi, mereka mampu
mengemasnya dengan wajah berbeda di bawah komando Selahettin Demirtas yang
pada pilpres tahun lalu menjadi kontestan.
Partai ini mencoba
mengincar sebanyak mungkin massa mengambang, terutama pemilih pemula yang
sangat signifikan, 1,5 juta pemilih pemula ikut berpartisipasi dalam pemilu
tahun ini. Faktor ini sangat menentukan raihan suara HDP.
Secara umum, Turki
telah melewati fase penting politik konsolidasi demokrasi karena mampu
menyelenggarakan pemilu secara bebas dan jujur, memberi ruang kompetisi yang
sehat bagi seluruh kontestan politik kendati insiden kecil di bagian timur
masih terlihat. Namun, hal itu tak mengganggu pesta demokrasi secara
keseluruhan, peristiwa yang tampaknya menjadi barang istimewa nan sulit di
negara-negara tetangga terdekat Turki di kawasan Timur Tengah.
Pesta para pendukung
HDP di jalanan sebagai ekspresi kemenangan juga menjadi pemandangan
tersendiri dalam politik Turki terkini. Sebab, berhasilnya HDP masuk parlemen
boleh jadi upaya rekonsiliasi yang diupayakan pemerintah selama ini
membuahkan hasil. Perlawanan bersenjata tak pernah mendatangkan pemenang,
hanya meninggalkan luka.
Sisi lain pemilu kali
ini bisa jadi pintu awal mengupayakan perdamaian dalam bentuk paling nyata
sebagai kelanjutan inisiatif Presiden Erdogan ketika menjabat perdana menteri
yang membentuk kelompok wiseman
sebagai pembuka jalan perdamaian dan rekonsiliasi nasional publik Turki.
Idealnya, pemenang
setiap kontestasi politik adalah publik. Mereka punya hak menentukan sikap
setiap empat atau lima tahun sekali, termasuk Indonesia. Penilaian terhadap
kinerja sebuah rezim bisa dilihat dari sikap politik pemilih di balik kotak
suara. Demokrasi tidak pernah menjanjikan banyak hal selain menjamin proses
politik berlangsung terukur dan prosesnya bisa dilihat dan dipantau setiap
orang. Selanjutnya, pemerintahan terpilihlah yang menjadi penentu ke arah
mana publik dibawa, menuju sejahtera atau sekadar jargon. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar