Minggu, 21 Juni 2015

Menggugat Rencana PLTN Mini

Menggugat Rencana PLTN Mini

Nengah Sudja  ;  Sekretaris Komisi
Persiapan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (1970-1980-an)
KOMPAS, 19 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Badan Tenaga Nuklir Nasional mencanangkan pembangunan reaktor daya non-komersial  atau reaktor daya eksperimental di Kompleks Puspitek Serpong, Banten, pada 2015. RDE yang pada dasarnya pembangkit listrik tenaga nuklir mini diklaim mampu menghasilkan listrik 10-30 megawatt dan diharapkan beroperasi sebelum 2019.

Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Djarot Susilo Wisnubruto dalam siaran persnya menjelaskan, reaktor daya eksperimental (RDE) merupakan suatu strategi pemerintah untuk mengenalkan reaktor nuklir yang menghasilkan listrik sekaligus dapat digunakan untuk eksperimen/riset.

Djarot mengklaim bahwa RDE yang dipilih adalah generasi ke-4 yang memiliki  teknologi keselamatan tinggi dibandingkan dengan RDE generasi sebelumnya. Lebih jauh dikatakan, RDE merupakan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) mini yang pada masa depan dapat diaplikasikan di daerah yang tidak membutuhkan daya besar, terutama di wilayah  bagian tengah dan timur.

Publik perlu penjelasan

Pernyataan bahwa teknologi RDE yang dipilih adalah generasi ke-4 perlu mendapatkan klarifikasi dari Batan. Apa benar sudah  ada RDE generasi ke-4? Pemakaian istilah teknologi generasi ke-1, ke-2, ke-3, dan ke-4 selama itu ditujukan untuk PLTN komersial, bukan untuk reaktor riset. Adapun PLTN komersial sejauh ini baru mencapai generasi ke-3+ dan masih pada tahap konstruksi, seperti European Pressurised Reactor (EPR) untuk PLTN Olkiluoto 3 di Finlandia dan PLTN Flamanville di Perancis.

Dari berbagai literatur terbaru, teknologi PLTN generasi ke-4 masih dalam fase desain dan pengembangan. Diperkirakan dalam dua dekade ke depan baru masuk tahap komersial. Oleh karena itu, pernyataan Kepala Batan akan membangun RDE generasi ke-4 adalah klaim yang tidak berdasar dan, bahkan, bisa dikategorikan pembohongan publik.

Dalam konteks pengembangan teknologi, proses  pembangunan suatu produk lazimnya melalui empat tahap. Tahap pertama berupa gagasan atau pemikiran, tetapi sudah  terbayang bentuk teknologi untuk masa depan.

Tahap kedua pembuatan dan pengujian komponen-komponen di laboratorium dilanjutkan dengan pengembangan prototipe sebagai upaya pembuktian teknologi dan terbayang kemungkinan untuk diproduksi. Tahap ketiga produksi dan komersialisasi, di mana teknologi diproduksi dan dipasarkan karena dari uji coba prototipe terbukti bekerja sesuai dengan yang direncanakan. Tahap keempat adalah pengujian lanjutan selama umur operasi teknologi.

Teknologi PLTN generasi ke-1 sampai ke-3, yang telah beroperasi sejak tahun 1950-an, saat ini dinilai sangat mahal dan tidak layak secara ekonomis serta secara teknis tidak aman dan  berbahaya. Pilihan PLTN pun mulai ditinggalkan banyak negara maju:  Austria, Italia, Swiss, Spanyol, Swedia, Belgia, Denmark, dan Jerman.  Pembangunan PLTN di AS juga terhambat karena alasan keekonomian walaupun pemerintah memberikan berbagai insentif untuk mendorong investasi.

Pembangunan RDE direncanakan Batan seharusnya tahap  kedua walaupun sesungguhnya Batan tidak membuat dan melakukan pengujian komponen RDE di tingkat lab. Mengingat proyek ini menggunakan anggaran negara, publik tentu berhak tahu apa kajian yang menjadi dasar usulan tersebut? Teknologi apa yang hendak dipakai dan bagaimana prospek kelayakan tekno-ekonomisnya? Bagaimana kajian sosial, lingkungan, dan risikonya? Karena menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sudah selayaknya berbagai dokumen yang menjadi dasar perencanaan dapat diakses dan dikritik oleh publik. 

Rusia dan APBN RI

Baru-baru ini juga diberitakan bahwa pekerjaan desain RDE telah dimenangi oleh pihak Rusia. Meninjau  status teknologi PLTN mini, saat ini  publik berhak curiga apakah proyek  ini  merupakan bentuk  riset teknologi pihak asing (Rusia) yang justru dibiayai dengan APBN Republik Indonesia? 

Batan juga mengklaim Indonesia paling siap mengoperasikan PLTN di ASEAN karena telah  berpengalaman mengoperasikan tiga reaktor riset. Sayangnya, Batan tidak menjelaskan  perbedaan mendasar antara reaktor riset dan reaktor daya.  Reaktor riset yang desain bejana reaktornya terbuka, bertekanan, dan bersuhu rendah lebih mudah dioperasikan dan berisiko rendah dibandingkan dengan reaktor daya (PLTN) yang desain bejananya tertutup, beroperasi dengan tekanan 150 atmosfer, dan suhu tinggi 350 derajat celsius untuk dapat  menghasilkan uap yang memutar turbin/generator listrik.

Pada reaktor daya terdapat risiko critically accident yang dapat mengakibatkan pelelehan teras PLTN dan berdampak mengerikan serta terbukti terjadi pada reaktor PLTN yang beroperasi saat ini. Risiko ini tidak pada reaktor riset.

Batan sepertinya mencoba meredam risiko RDE dengan menyamarkannya sebagai reaktor riset. Apakah kajian risiko dipertimbangkan sehingga PLTN mini ini dengan mudah ditetapkan akan dibangun di Serpong yang dalam kawasan radius 5 km  dihuni lebih dari 200. 000 orang? Apakah warga di Serpong, Bintaro, Tangerang, dan Jakarta dapat menerima dan menyetujui risiko kecelakaan PLTN mini?

Kelayakan tekno-ekonomi

Batan menyatakan pembangunan PLTN kecil ini akan siap beroperasi pada 2019. Kalau tahap kedua pembangunan prototipe benar dapat diselesaikan pada 2019, berapa tahun diperlukan lagi untuk melakukan uji coba operasi untuk membuktikan kelayakan tekno-ekonominya?

Asumsikanlah setelah  10 tahun baru akan diketahui keberhasilan atau kegagalannya. Kalau gagal, berapa nilai kegagalan itu? Pada setiap  anggaran kegiatan, seperti  untuk membuat studi kelayakan, pembangunan proyek prototipe, biaya operasi, dan pemeliharaan selama operasi diasumsikan 10 tahun. Kemudian dilakukan audit pertanggungjawaban kelayakan tekno-ekomisnya. Setelah itu, berapa tahun lagi diperlukan untuk sampai pada tahap ketiga untuk memproduksinya secara besar-besaran.

Di media massa dapat dibaca Pengumuman Lelang Pengadaan Jasa Konsultasi Penyusunan Dokumen Desain Rekayasa Awal RDE sebesar Rp 49 miliar untuk penyusunan Desain Rekayasa  Awal. Kalau ini baru biaya awal, tentunya biaya lainnya masih ada lagi.  Berapa perkiraan seluruh anggaran yang diperlukan untuk perencanaan dan konstruksi RDE? Karena menggunakan APBN, demi asas good governance, rencana anggaran ini sepatutnya dibuka kepada publik,  mengikuti model e-budget Provinsi DKI Jakarta. 

Alternatif RDE

Pertanyaan lanjutan: kapan akhirnya RDE ini dapat diaplikasikan, sejak perancanangan tahun 2015, lalu beroperasi tahun 2019, dan selesai percobaan uji kelayakan. Diasumsikan baru setelah 2029, RDE baru bisa diaplikasikan secara massal ke daerah- daerah yang terpencil, seperti yang dijanjikan Kepala Batan.

Coba bandingkan, jika pemerintah menggunakan anggaran untuk RDE dalam 10 tahun mendatang untuk mengembangkan teknologi energi terbarukan sehingga bisa menyediakan listrik  di daerah-daerah terpencil dengan memanfaatkan sumber daya energi terbarukan setempat. Strategi ini tentunya lebih cepat meningkatkan elektrifikasi dan mengatasi pemadaman listrik di wilayah terpencil di seluruh negeri ini ketimbang menunggu hasil RDE.     

Galileo Galilei (1564-1642), ilmuwan dan perintis ilmu modern, pendorong terjadinya perubahan budaya dari abad kegelapan ke abad pencerahan (bersama Copernicus, Newton), pernah menyatakan, kalau ingin maju, "Ukur semua, dan yang tak dapat diukur buat jadi terukur."

Rencana RDE ini pun harus dapat diukur dengan presisi sehingga persoalan akan jadi lebih transparan dan jelas. Dengan demikian, publik dapat menilai rencana pembangunan PLTN ini berlandaskan pada data, informasi, dan fakta, bukan gosip. Semoga bangsa ini cepat maju dan dapat memenuhi kebutuhan listriknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar