De-Soekarnoisasi dan Adu Domba
Iwan Santosa ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS, 20 Juni 2015
Semasa memimpin
Indonesia, Presiden Soekarno berulang kali mengajarkan pentingnya membangun
bangsa yang satu, setara dalam keberagaman. Namun, seiring berakhirnya Orde
Lama, sejumlah gagasan dan peran Soekarno sempat disamarkan. Tempat kelahiran
Bung Karno pun sempat muncul dalam dua versi, Blitar dan Surabaya, Jawa
Timur.
Tidak hanya tentang
Soekarno, penggelapan sejarah juga dilakukan terhadap sejumlah teman
seperjuangan Soekarno. Hal ini, antara lain, terlihat dari hilangnya nama
empat rekan Soekarno di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), yakni Liem Koen Hian, Oey Tiang Tjoei, Oei Tjong Hauw,
dan Tan Eng Hoa. Nama empat orang itu tak ada dalam buku sejarah nasional
sejak 1977.
Sejarawan dari Yayasan Nation Building, Didi Kwartanada,
mengatakan, pada era Orde Lama, empat tokoh Tionghoa tersebut ada dalam buku
sejarah nasional Indonesia. "Setelah 1977, nama empat tokoh Tionghoa
tersebut hilang dan justru bertambah ada tiga tokoh Arab dan satu tokoh
Indo-Eropa, PF Dahler. Padahal, aslinya di BPUPKI hanya AR Baswedan mewakili
masyarakat Peranakan Arab, PF Dahler mewakili golongan Peranakan Eropa, dan
ada empat orang Tionghoa mewakili kelompok Peranakan dan Totok," kata
Didi.
Padahal, tokoh seperti
Liem Koen Hian berdiskusi mendalam dengan Soekarno soal dasar negara. Dalam
rapat BPUPKI, Liem Koen Hian juga sudah mengusulkan kebebasan pers. Namun,
usulan tersebut tidak diakomodasi lebih lanjut. "Bisa dibilang Liem Koen
Hian itu bapak kebebasan pers," ujar Didi.
Pada edisi selanjutnya
buku sejarah nasional Indonesia pasca 1998, empat tokoh Tionghoa dalam BPUPKI
itu masih hilang.
Sejarawan Daradjadi asal Pura Mangkunegaran, Surakarta,
yang menulis buku Geger Pacinan, menuturkan, keberadaan laskar Koalisi
Jawa-Tionghoa melawan VOC pada 1740-1743 juga hilang dari buku sejarah
nasional yang terbit pada masa Orde Baru. Padahal, kisah perjuangan bersama
masyarakat Jawa dan Tionghoa itu masih ada di buku sejarah nasional yang
terbit pada 1963. "Panglima Tionghoa Kapitan Sepanjang yang memimpin
pasukan Koalisi Jawa-Tionghoa hilang dari sejarah. Padahal, teman
seperjuangannya, yaitu Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said alias Pangeran
Sambernyowo, jadi pahlawan Indonesia," kata Daradjadi.
Dikaburkan
Tidak hanya ingatan
terkait kebersamaan dan keberagaman dalam perjalanan sejarah Nusantara hingga
masa awal Republik Indonesia, kiprah dan sumbangsih Soekarno juga sempat
dikaburkan.
"Bahkan, sempat ada upaya menggantikan peran
Soekarno sebagai penggali Pancasila dengan menyebut Muhammad Yamin sebagai
sosok yang pertama kali mengemukakan konsep Pancasila. Itu merupakan upaya
pemutarbalikan fakta yang vulgar," ujar sejarawan Bonnie Triyana.
Sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi
Warman Adam, mencatat, pada masa Orde Baru juga sempat muncul dua alinea
tambahan di buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy
Adams.
Dua alinea yang ada di buku Bung Karno, Penyambung Lidah
Rakyat Indonesia yang dicetak berkali-kali semasa Orde Baru itu diduga ingin
bermaksud membenturkan Soekarno dengan Hatta dan Sjahrir.
Alinea tersebut adalah
"Tidak ada yang berteriak 'kami
menghendaki Bung Hatta'. Aku tidak memerlukannya. Sama seperti aku tidak
memerlukan Sjahrir yang menolak untuk memperlihatkan diri di saat pembacaan
Proklamasi. Sebenarnya aku dapat melakukannya seorang diri, dan memang aku
melakukannya sendirian. Di dalam dua hari yang memecahkan urat syaraf itu
maka peranan Hatta dalam sejarah tidak ada."
Alinea sisipan
berikutnya adalah "Peranannya yang
tersendiri selama masa perjuangan kami tidak ada. Hanya Sukarnolah yang tetap
mendorongnya ke depan. Aku memerlukan orang yang dinamakan 'pemimpin' ini karena
satu pertimbangan. Aku memerlukannya oleh karena aku orang Jawa dan dia orang
Sumatra dan di hari-hari yang demikian itu aku memerlukan setiap orang
denganku. Demi persatuan aku memerlukan seseorang dari Sumatra. Dia adalah
jalan yang paling baik untuk menjamin sokongan dari rakyat pulau yang nomor
dua terbesar di Indonesia."
Menurut Asvi, dua
alinea di atas tidak ada dalam naskah asli buku Bung Karno, Penyambung Lidah
Rakyat Indonesia yang terbit dalam bahasa Inggris.
Terkait perawatan
kesehatan yang dinikmati Presiden Soekarno, Asvi Warman mencatat, salah
seorang dokter yang merawat Soekarno di hari-hari terakhirnya sebagai
"tahanan rumah" adalah seorang dokter hewan. Urine Soekarno
ditengarai juga diperiksa di laboratorium Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor.
"Ada surat
Pangdam Siliwangi Mayjen HR Darsono yang melarang semua warga Jawa Barat
untuk mengunjungi atau dikunjungi Soekarno," ujar Asvi.
Hal tragis lainnya,
Soekarno ternyata tidak sanggup membayar biaya perawatan gigi di hari-hari terakhir
hidupnya. Dokter gigi Oei Hong Kian berulang kali merawat gigi Soekarno
secara sukarela. Terkadang, saat dirawat Oei Hong Kian, putra-putri Soekarno
secara sembunyi-sembunyi mengunjungi ayah mereka.
Bonnie Triyana
mengingatkan, Orde Baru cenderung punya kepentingan untuk menuliskan sejarah
berdasarkan penafsiran sendiri, terlebih menyangkut masa transisi dari Orde
Lama ke Orde Baru.
Kini, hal seperti itu
jangan terulang lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar