Anak yang Tak Dikehendaki
Kartono Mohamad ; Mantan
Ketua PB IDI
|
KOMPAS, 19 Juni 2015
Engeline yang diduga
kuat dibunuh orang terdekatnya di Bali adalah kisah seorang anak yang tidak
dikehendaki. Unwanted child. Bahkan
mungkin sejak ia dikonsepsi.
Mungkin orangtua
biologis Engeline sebenarnya tidak ingin mempunyai anak lagi, tetapi tidak
tahu bagaimana cara mencegahnya. Mungkin tidak ada yang memberi tahu untuk
menggunakan kontrasepsi, atau bahkan orang sekitarnya menabukan penggunaan kontrasepsi.
Ke mana petugas
kesehatan atau keluarga berencana? Pemerintah memang sudah lama tidak hadir
di tengah orang miskin. Bahkan selama 10 tahun pemerintahan SBY, program KB
nyaris tidak disentuh. Maka, ketika sudah lahir, mereka tinggalkan Engeline
di rumah sakit karena tidak mampu membayar biaya kelahiran Engeline.
Padahal, keadaan tidak
mampu itu mungkin terjadi sejak sebelum Engeline dikonsepsi, dan kehadiran
janin Engeline dianggap semacam "kecelakaan" atau
"takdir". Kehadiran Engeline
dari semula tidak dikehendaki bahkan oleh orangtua kandungnya.
Kemudian rumah sakit
menahan Engeline hanya karena alasan belum dibayar. Bukan karena sayang
kepada Engeline, apalagi berkehendak untuk mengasuhnya. Mirip seorang
penculik yang menyandera seseorang untuk meminta uang tebusan. Bedanya, kalau
penculik terkena sanksi hukum, perilaku rumah sakit seperti itu dianggap
wajar dan bebas dari tuntutan.
Karena tidak ada
tebusan dan juga tidak ingin mengasuh Engeline, maka Engeline pun
"dijual" kepada siapa pun yang bersedia membayar. Bagi rumah sakit
yang penting uang. Soal nasib bayi itu kemudian bukan urusan mereka. Uang
memang dapat membuat rasa empati kepada sesama jadi hilang.
Tidak ada ketentuan
Rumah sakit tidak
menghubungi dinas sosial karena tidak ada ketentuannya, atau karena tahu
bahwa dari dinas sosial mereka mungkin tidak akan memperoleh uang tebusan.
Sebagai penyandera tujuannya memang hanya mencari uang tebusan.
Tidak perlu memikirkan
bagaimana nasib Engeline sebagai anak manusia. Bahkan Engeline mungkin hanya
dianggap sebagai komoditas biasa. Sebaliknya dinas sosial atau dinas yang
berwenang melindungi anak tidak bertindak proaktif karena tidak ada SOP dan berdalih tidak ada dana. Kembali
pemerintah tidak hadir bagi anak-anak yang tidak dikehendaki seperti
Engeline.
Termasuk ketika
terjadi proses adopsi Engeline. Di negara lain, termasuk Malaysia, seseorang
yang ingin mengadopsi anak harus melalui semacam skrining bahwa keluarga itu
akan mampu mengasuh dan membesarkan anak secara sungguh-sungguh, bukan hanya
secara ekonomi, tetapi juga psikologis, serta dikukuhkan melalui putusan
pengadilan.
Engeline kemudian
ternyata juga tidak dikehendaki oleh keluarga yang "membelinya". Ia
mengalami kekerasan fisik dan psikologis karena keluarga itu tidak lagi
melihat Engeline sebagai komoditas yang sesuai dengan keinginannya. Bahkan
guru yang melihat ada tanda-tanda kekerasan pada Engeline tidak mencoba
mendekati orangtua angkatnya atau pejabat yang berwenang melindungi anak.
Mungkin karena
berpikir bahwa tugas guru hanyalah mengajar di sekolah. Atau kembali karena
tidak ada SOP dan anggaran untuk memperhatikan hal-hal di luar kewajiban yang
ditetapkan dalam kurikulum. Sekali lagi, pemerintah tidak hadir untuk
melindungi anak.
Engeline hanyalah satu
dari sekian banyak anak yang kehadirannya tidak diinginkan. Yang lain ada
yang bernasib dibuang di tempat sampah, atau selokan, begitu dilahirkan. Atau
digugurkan ketika belum lahir. Bukan hanya orangtua kandungnya yang tidak
menginginkan kehadiran mereka, tetapi juga masyarakat, termasuk LSM dan
pemerintah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar